Rania Kirana seorang penjual cilok berprinsip dari kontrakan sederhana, terpaksa menerima tawaran pernikahan kontrak dari Abimana Sanjaya seorang CEO S.T.G. Group yang dingin dan sangat logis.
Syarat Rania hanya satu jaminan perawatan ibunya yang sakit.
Abimana, yang ingin menghindari pernikahan yang diatur keluarganya dan ancaman bisnis, menjadikan Rania 'istri kontrak' dengan batasan ketat, terutama Pasal 7 yaitu tidak ada hubungan fisik atau emosional.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!!
FOLLOW ME :
IG : Lala_Syalala13
FB : Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PKCD BAB 28_Kebocoran Dokumen
Abimana meraih tangan Rania, tetapi Rania menariknya dengan lembut.
"Jangan gunakan sentuhan untuk membujuk aku Abi, aku sudah bilang bahwa aku tidak butuh uang dan aku tidak butuh belas kasihan. Jika kamu ingin aku kembali ke kamar itu maka lakukanlah karena kamu butuh aku sebagai Rania, bukan sebagai Nyonya Sanjaya yang membantu citra kamu," tegas Rania.
Rania berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju kamar tamu.
Ia menutup pintu dengan pelan, meninggalkan Abimana yang berdiri sendirian di tengah kemewahan yang kini terasa seperti penjara baginya.
Di dalam kamar tamu, Rania bersandar di pintu, air matanya akhirnya luruh. Ia mencintai pria itu, ia mencintai setiap kerutan di dahi Abimana saat sedang serius, ia mencintai sisi rapuhnya yang sempat ia lihat. Namun, ia tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan oleh pria yang terlalu takut untuk mencintai kembali.
Di ruang tamu, Abimana mengambil selimut tenun Bali yang tertinggal di sofa semalam, ia memeluknya erat, menghirup aroma Rania yang masih tertinggal.
Ia sadar bahwa Pasal 7 yang ia buat untuk melindungi dirinya sendiri, kini justru menjadi senjata yang perlahan-lahan membunuh jiwanya.
Malam itu, gema keheningan di penthouse bercerita tentang dua orang yang saling mencintai, namun terpisah oleh dinding ego yang mereka bangun sendiri. Sandiwara ini belum berakhir, tapi rasa sakitnya kini sudah sangat nyata.
...****************...
Pagi itu, Jakarta diselimuti kabut tipis yang enggan beranjak, seolah mencerminkan suasana di dalam penthouse lantai lima puluh yang tetap mencekam.
Sudah tiga hari sejak pesta ulang tahun itu, dan tiga hari pula Rania menetap di kamar tamu, lorong panjang yang memisahkan kamar mereka kini terasa seperti parit pertahanan yang tak tertembus.
Tak ada lagi percakapan di meja makan, hanya denting sendok dan aroma kopi yang hambar.
Rania berdiri di depan jendela kamar tamunya, menatap jauh ke arah gedung-gedung pencakar langit yang mulai berkilau tertimpa cahaya matahari.
Tangannya menggenggam pena kayu pemberian Abimana, memutarnya perlahan di antara jemari.
Di dalam benaknya, ia terus mengulang kalimat Abimana “Cinta adalah variabel yang merusak.” Kalimat itu seperti duri yang tertanam di hatinya, semakin ia mencoba mencabutnya, semakin dalam luka yang ditinggalkan.
Ia mendengar pintu depan terbuka dan tertutup dengan suara yang lebih keras dari biasanya.
Itu bukan langkah kaki Abimana yang tenang dan teratur tapi itu adalah langkah kaki yang terburu-buru bahkan hampir seperti lari.
Rania membuka pintu kamar tamunya tepat saat Rendra muncul di lorong dengan wajah yang sepucat kertas.
Napas pria itu tersengal-sengal dan dasinya yang biasanya rapi kini tampak miring.
"Nyonya, syukurlah Anda sudah bangun," ucap Rendra dengan suara yang bergetar.
"Ada apa, Rendra? Kenapa kamu tampak begitu kacau?" tanya Rania, kecemasan mulai merayap di dadanya.
"Tuan Abimana... beliau sudah di kantor sejak subuh tadi. Ada masalah besar, Nyonya. Seseorang membocorkan dokumen internal ke media, bukan sembarang dokumen, tapi... draf awal perjanjian pernikahan Anda berdua." seru Rendra.
Jantung Rania seolah berhenti berdetak sesaat, rasanya dunia di sekelilingnya terasa berputar.
"Apa? Bagaimana bisa?"
"Kami belum tahu pelakunya, tapi dampaknya luar biasa. Saham S.T.G. Group anjlok tujuh persen dalam dua jam pertama pembukaan pasar. Dewan direksi menuntut rapat darurat sekarang juga. Mereka menuduh Tuan Abimana melakukan penipuan publik dan manipulasi kepercayaan pemegang saham demi memuluskan Proyek Bali," jelas Rendra cepat.
"Tuan sedang dikepung di ruang rapat lantai dua puluh delapan. Amelia Kusuma... dia ada di sana bersama ayahnya. Mereka membawa tim pengacara." lanjutnya.
Tanpa berpikir dua kali Rania berlari ke kamarnya, ia tidak lagi memikirkan ego, tidak lagi memikirkan rasa sakit hatinya karena penolakan Abimana semalam.
Yang ia pikirkan hanyalah pria itu, pria yang telah menjamin nyawa ibunya, pria yang di balik tembok dinginnya sebenarnya menyimpan kerapuhan yang besar.
"Rendra, siapkan mobil aku akan ke sana sekarang," tegas Rania.
"Tapi Nyonya, Tuan Abimana berpesan agar Anda tetap di sini. Beliau tidak ingin Anda terseret ke dalam kekacauan ini," cegat Rendra.
Rania menoleh, matanya berkilat dengan determinasi yang belum pernah dilihat Rendra sebelumnya.
"Ini bukan lagi soal sandiwara, Rendra. Ini soal harga diri kita berdua. Jika Abimana jatuh, aku juga jatuh. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan apa yang telah kami bangun dengan susah payah, meskipun awalnya hanya di atas kertas." tutur Rania.
Perjalanan menuju kantor pusat S.T.G. Group terasa seperti selamanya karena tak kunjung tiba juga.
Di luar, kemacetan Jakarta seolah sengaja menghambat mereka. Rania terus memantau portal berita di ponselnya, dan judul-judul beritanya sangat kejam mulai dari:
“Pernikahan Kontrak Sang CEO: Cinta Palsu Demi Proyek Jutaan Dolar?” atau “Skandal Sanjaya: Si Bunga Padi Hanyalah Pion Bisnis?”
Rania memejamkan mata, berusaha mengatur napas, ia tahu di ruang rapat itu Abimana pasti sedang berdiri sendirian menghadapi serigala-serigala yang siap menerkamnya.
Setibanya di lobi kantor, kerumunan wartawan sudah menyemut.
Rendra dan beberapa petugas keamanan harus membuat barisan paksa agar Rania bisa masuk.
Kamera-kamera berkilat, pertanyaan-pertanyaan tajam dilemparkan seperti anak panah, tetapi Rania tetap tegak.
Ia tidak menunduk, ia berjalan dengan martabat seorang Nyonya Sanjaya yang sesungguhnya.
Lift membawanya ke lantai dua puluh delapan, begitu pintu lift terbuka suasana berat langsung menyergap.
Di depan ruang rapat besar, beberapa asisten tampak berlarian panik, Rania melangkah menuju pintu kayu jati besar itu. Sebelum ia sempat membukanya, ia mendengar suara lantang dari dalam.
"Ini adalah penghinaan terhadap etika bisnis! Abimana, Anda menggunakan pernikahan sebuah institusi suci sebagai alat marketing! Bagaimana kami bisa mempercayai kepemimpinan Anda jika kehidupan pribadi Anda adalah sebuah kebohongan besar?" Itu adalah suara Tuan Kusuma.
Rania menarik napas dalam, memegang gagang pintu, lalu mendorongnya terbuka dengan mantap.
Seluruh mata di ruangan itu tertuju padanya, ruang rapat itu luas dengan meja oval besar di tengahnya.
Di ujung meja, Abimana berdiri sendirian, wajahnya datar tanpa emosi, namun tangannya yang mencengkeram tepi meja menunjukkan ketegangan yang luar biasa.
Di seberangnya, Amelia Kusuma duduk dengan senyum kemenangan yang tersirat di bibirnya.
"Maaf saya terlambat," suara Rania menggema di ruangan yang tadinya bising itu.
Abimana tampak terkejut. "Rania? Kenapa kamu di sini? Sudah aku katakan pada Rendra...."
"Aku di sini karena aku adalah istri kamu, Abi. Dan di mana suami ku berada dalam kesulitan, di situ aku harus berdiri," potong Rania sambil berjalan mendekat ke arah Abimana, mengabaikan tatapan tajam para direksi.
Amelia tertawa kecil, suara yang terdengar seperti gesekan logam.
"Wah, akting yang luar biasa, Rania. Tapi sayangnya panggungmu sudah runtuh, dokumen draf kontrak itu sudah tersebar. Di sana tertulis jelas: Pasal 7, larangan hubungan emosional, bagaimana kamu menjelaskan itu?" seru Amelia bukan sebuah pertanyaan namun lebih sebuah ejekan.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
ayak ayak wae...
di tunggu updatenya