NovelToon NovelToon
Aji Toba

Aji Toba

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Misteri / Epik Petualangan / Horror Thriller-Horror / TimeTravel / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:232
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.

Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.

Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.

Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu dengan Gajah Mada

Tiba juga di Temasek. Aji langsung dikumpulkan di sebuah bangunan kosong. Didandani rapi. Seperti seorang prajurit yang mau maju berperang. Temannya, Slamet, tertawa terbahak-bahak.

"Ada yang lucu?" tanya Aji yang agak terganggu dengan tawanya Slamet.

Slamet menggeleng. "Ah, tidak. Kau terlihat gagah, Aji. Hanya saja, yang aku dengar, bukankah seorang pemburu dan nelayan? Ternyata seorang nelayan bisa terlihat gagah juga."

Aji tak menjawab. Hanya tertawa.

"Oh iya, Aji," kata Slamet merapikan cara pegang lembing Aji. "kudengar, Gajah Mada ikut dalam rombongan kali ini. Hanya berbeda kapal saja, dan rombongan pertama. Kita rombongan yang ke sekian."

Aji mengangkat alis. "Serius, Maha Patih ikut serta?"

Terdiam Aji sejenak setelah mendengar nama itu. Gajah Mada. Nama yang sejak lama hanya ia dengar dari bisik-bisik para prajurit, dari cerita para pujangga istana, dari gema Sumpah Palapa yang bahkan belum lama diikrarkan namun gaungnya sudah terasa hingga pelabuhan-pelabuhan jauh. Nama itu seperti batu besar yang dilempar ke danau tenang. Itu menimbulkan riak yang panjang.

“Serius,” Slamet mengangguk mantap. “Rombongan pertama sudah mendarat lebih dulu. Kata orang-orang pelabuhan, beliau sendiri yang memimpin penataan pasukan di Temasek. Ini bukan sekadar singgah. Ini sudah pernyataan perang.”

Aji menghela napas. Dadanya terasa sesak oleh perasaan yang tak ia pahami sepenuhnya. Ia hanyalah pemburu, nelayan, pengembara waktu yang bahkan tak pernah meminta anugerah aneh dalam dirinya. Namun kini ia berada di pusaran sejarah. Di tengah ambisi Majapahit yang sedang mengembang, di tanah seberang yang menjadi simpul perdagangan dan perebutan pengaruh.

Bangunan kosong tempat mereka dikumpulkan itu bekas gudang kayu. Tiang-tiangnya tinggi, atapnya menjulang, namun dindingnya penuh bekas garukan waktu. Di sana, puluhan lelaki berdiri berjejer. Ada yang tampak seperti prajurit tulen, ada pula yang jelas-jelas rakyat biasa. Seperti ada nelayan, kuli pelabuhan, hingga pemburu hutan, yang oleh keadaan diseret menjadi bagian dari pasukan.

Seorang perwira Majapahit masuk. Jubahnya sederhana, tapi sorot matanya tajam. Ia menatap satu per satu, seolah menimbang bukan hanya tubuh, tapi juga nyali.

“Kalian,” katanya lantang, “akan menjadi mata dan telinga Majapahit di Temasek. Tidak semua dari kalian akan bertempur dengan senjata. Sebagian akan bertempur dengan kesetiaan. Camkan itu.”

Aji merasakan kalimat itu seperti ditujukan langsung padanya.

*****

Selesai pengarahan, mereka dibubarkan sementara. Aji keluar bangunan dan menghirup udara pelabuhan. Temasek berbeda dengan pelabuhan-pelabuhan di Yawadwipa. Di sini, bahasa bercampur-campur. Terdengar bahasa Melayu, Tamil, Tionghoa, bahkan aksen yang belum pernah Aji dengar. Kapal-kapal asing berlabuh secara berdampingan. Bendera-bendera kecil berkibar di tiang, menandakan asal-usul yang beragam.

Namun justru di tengah keramaian itu, Aji merasa sepi.

Pikirannya kembali pada Sari. Pada wajah adiknya yang terakhir ia lihat dalam bayangan semedi. Pada Nawang Wulan yang entah kini berada di lapisan dunia mana. Pada Jaka Kerub yang sengaja membiarkannya belajar dengan cara paling menyakitkan. Yaitu, dengan mencari sendiri kebenaran.

“Aji,” Slamet memanggil pelan. “Kau kenapa? Sejak tadi melamun.”

“Aku merasa… tidak seharusnya di sini,” jawab Aji jujur.

Slamet tertawa kecil, kali ini tanpa ejekan. “Tak ada seorang pun yang merasa seharusnya berada di tengah arus besar. Tapi justru orang-orang seperti itulah yang biasanya dibutuhkan.”

*****

Selanjutnya, malam itu, Temasek menyala oleh obor dan lampu minyak. Aji bersama beberapa orang ditugaskan berjaga di pinggiran pelabuhan. Ia berdiri memandangi laut, gelap dan luas. Ombak kecil memecah di lambung kapal. Angin membawa bau garam dan rempah.

Tiba-tiba, kepalanya berdenyut. Getaran halus, nyaris tak terasa, merambat dari telapak kakinya ke ubun-ubun. Aji mengenal sensasi itu. Ia menahan napas, memejamkan mata, mencoba menambatkan dirinya pada satu titik. Seperti yang diajarkan Jaka Kerub.

“Ayolah, belum waktunya,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Jangan sekarang dulu.”

Bayangan berkelebat. Air terjun, danau, Sari. Wajah-wajah yang terhubung oleh benang tipis tak kasatmata. Namun lubang hitam itu tak datang sepenuhnya. Ia hanya menyentuh, mengingatkan.

Aji membuka mata. Di kejauhan, ia melihat sosok berkuda melintas diiringi beberapa pengawal. Semua orang di pelabuhan menunduk. Bahkan para perwira berdiri tegak memberi hormat.

“Beliau,” bisik Slamet. “Maha Patih.”

Aji menatap sosok itu dari jauh. Gajah Mada tidak tampak berlebihan. Pakaiannya sederhana, tubuhnya tegap, wajahnya keras oleh tekad. Namun ada sesuatu pada langkahnya. Seperti ada sebuah keyakinan yang membuat tanah seakan memberi jalan.

Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu.

Aji tak yakin apakah itu benar atau hanya perasaannya. Namun ia merasakan dadanya bergetar. Seolah Maha Patih itu melihat Aji lebih dari sekadar seorang prajurit tambahan. Seolah ia menembus lapisan-lapisan waktu yang membungkus Aji.

Malam semakin larut. Saat Aji kembali ke baraknya, seorang utusan menunggu.

“Aji,” kata utusan itu. “Kau dipanggil besok pagi. Ada tugas khusus.”

“Tugas apa?” tanya Aji.

Utusan itu menggeleng. “Aku tak tahu. Tapi namamu disebut langsung.”

Saat sendirian, Aji duduk bersila. Ia menutup mata, mencoba bersemedi di tengah kebisingan Temasek. Ia memusatkan pikiran pada satu niat. Ia masih terpikirkan untuk menemukan Sari. Apa pun jalan yang harus ia tempuh. Baik melalui Majapahit, Temasek, atau melalui lapisan dunia lain.

Di kejauhan, laut bergemuruh pelan. Sejarah bergerak, dan Aji, sekali lagi, berada tepat di tengah pusarannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!