NovelToon NovelToon
Ranjang Kosong Memanggil Istri Kedua

Ranjang Kosong Memanggil Istri Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Kaya Raya / Beda Usia / Selingkuh / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Beberapa minggu yang berlalu dihabiskan oleh Rizal untuk memperketat keamanan rumah dan memanjakan Hayu.

Rumah itu kini terasa seperti benteng, tetapi juga dipenuhi cinta dan tawa, seolah berusaha menekan bayangan ancaman Tiyas.

Rutinitas mereka kembali normal, dihiasi dengan masakan lezat Hayu dan kegiatan menata rumah bersama.

Pagi itu, Hayu bangkit dari tempat tidurnya, sinar matahari masuk menembus tirai kamar.

Namun, saat ia mencoba meregangkan tubuh, ia merasakan sesuatu yang aneh.

“Kenapa sakit semua badanku?” gumam Hayu lirih.

Ia merasa badannya pegal-pegal dan sedikit pusing.

Ia mengira mungkin hanya kelelahan biasa karena terlalu bersemangat menata rumah dan memasak beberapa hari terakhir.

Hayu berjalan menuju dapur. Ia berencana membuatkan Rizal kopi dan sarapan favoritnya.

Ia membuka kulkas untuk mengambil bahan, dan seketika itu juga, aroma amis dari seafood yang dibeli Rizal tempo hari langsung menusuk hidungnya.

Wajah Hayu mendadak pucat. Perutnya bergejolak hebat.

Ia langsung mual. Tanpa membuang waktu, ia berlari ke kamar mandi yang terhubung dengan kamar utama dan memuntahkan semua isi perutnya yang kosong.

Rizal yang mendengar suara muntahan di kamar mandi segera membuka matanya.

Ia langsung panik dan melonjak dari tempat tidur.

Ia bergegas menghampiri Hayu yang kini sedang bersandar lemas di kloset, keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Sayang, kamu kenapa?” tanya Rizal panik, berlutut di samping Hayu.

Hayu hanya bisa menggelengkan kepalanya, mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

Pandangannya mulai memburam. Kelelahan dan rasa mual yang hebat membuatnya tidak sanggup lagi menahan beban tubuhnya.

Tiba-tiba, tubuh Hayu merosot. Ia langsung pingsan di pelukan suaminya.

“Sayang!” teriak Rizal, wajahnya langsung pucat pasi.

Ia menyandarkan Hayu ke dadanya, menepuk-nepuk pipi istrinya dengan cemas.

Tanpa berpikir panjang, Rizal mengangkat tubuh Hayu.

Dengan cepat, Rizal membopong tubuh istrinya keluar dari kamar dan menuruni tangga.

Ia menerobos pintu depan, meneriakkan nama sopir.

Sopir yang sigap, ditemani dua pengawal, segera membuka pintu mobil.

Rizal mendudukkan Hayu di kursi belakang, dan ia duduk di sampingnya, memangku kepala Hayu.

Sopir melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit terdekat dengan kecepatan tinggi, didampingi mobil pengawal di belakang mereka.

Sepanjang perjalanan, Rizal terus memanggil nama Hayu, mencium keningnya, dan mengusap tangannya yang dingin.

Ketakutan akan insiden Bali kembali menyeruak, tetapi Rizal berusaha tetap tenang.

Sesampainya di sana, Hayu langsung dibawa masuk ke Unit Gawat Darurat (UGD).

Rizal dilarang masuk dan hanya bisa berjalan mondar-mandir di luar ruang UGD, matanya terpaku pada pintu kaca, menunggu kabar.

Rasa cemas dan takut melilit hatinya. Ia berdoa, memohon agar Hayu baik-baik saja.

Tak berselang lama meski bagi Rizal waktu terasa berjalan sangat lambat pintu ruang UGD terbuka.

Seorang dokter wanita paruh baya, dengan senyum ramah di wajahnya, keluar dan menghampiri Rizal.

Rizal segera beranjak dari kursinya, mendekati dokter itu dengan langkah tergesa-gesa.

“Bagaimana keadaan istri saya, Dok? Apakah dia baik-baik saja? Apakah pingsannya ada hubungannya dengan insiden di Bali kemarin?” tanya Rizal bertubi-tubi, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran.

Dokter itu tersenyum hangat, menggelengkan kepalanya pelan untuk menenangkan Rizal.

“Ibu Hayu baik-baik saja, Bapak Rizal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait insiden sebelumnya. Justru, saya punya kabar yang sangat baik untuk Anda,” ucap Dokter itu.

Rizal kebingungan saat mendengar perkataan dari dokter.

“Kabar baik apa, Dok? Apa istri saya hanya kelelahan?” tanya Rizal, mencoba mencerna perkataan dokter.

Dokter itu mengulurkan tangan, wajahnya berseri-seri.

“Selamat, Pak Rizal,” ucap Dokter itu, menjabat tangan Rizal. “Istri Anda hamil.”

Tubuh Rizal mematung. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Hamil?

“Hamil?” ulang Rizal, matanya membelalak, tidak percaya.

Dokter itu mengangguk. “Ya, usia kandungannya sudah menginjak sekitar tujuh minggu. Morning sickness dan rasa mual yang hebat itu wajar terjadi di trimester pertama. Bapak harus lebih bersabar, karena sepertinya Ibu Hayu mengalami hyperemesis gravidarum ringan, itulah sebabnya ia sampai pingsan.”

Rizal terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Di tengah semua kekacauan, di tengah ancaman dan trauma, Tuhan memberikan mereka karunia yang luar biasa. Buah cinta mereka, yang tercipta di awal pernikahan mereka.

“Saya akan jadi Ayah?” bisik Rizal, suaranya tercekat karena haru.

“Ya, Pak Rizal. Dan Ibu Hayu sekarang sudah siuman. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat sebentar untuk observasi dan memberikan vitamin. Bapak sudah boleh masuk menemuinya.”

Rizal mengangguk, rasa syukur dan kebahagiaan luar biasa meluap dalam dirinya, menyingkirkan semua ketakutan yang ia rasakan sebelumnya.

“Terima kasih, Dokter. Terima kasih banyak,” ucap Rizal, menjabat tangan dokter sekali lagi sebelum bergegas menuju ruang UGD, tidak sabar untuk memeluk istrinya dan membagikan kabar bahagia ini.

Rizal berdiri di lorong UGD, menyaksikan saat Hayu dipindahkan ke ranjang dorong menuju ruang rawat inap.

Wajah Hayu tampak lebih segar, meskipun masih ada sisa pucat di pipinya.

Ia terlihat bingung dan sedikit malu saat melihat suaminya.

Rizal segera berjalan cepat mengikuti para perawat, matanya tak lepas dari wajah istrinya.

Begitu Hayu dipindahkan dengan hati-hati ke ranjang ruang rawat, Rizal mendekat.

Ia meraih tangan Hayu, menggenggamnya erat, dan menundukkan badannya.

Rizal mencium kening istrinya dengan kelembutan yang luar biasa, ciuman yang dipenuhi cinta, rasa syukur, dan janji.

“Sayang, selamat,” bisik Rizal, suaranya dipenuhi haru.

Ia tidak bisa menahan senyumnya yang lebar.

“Kita akan jadi orang tua.”

Hayu menatap mata suaminya, yang kini berkaca-kaca.

Ia sudah diberitahu oleh perawat di UGD. Kabar itu terlalu indah dan mengejutkan, seolah mimpi di tengah kekacauan hidup mereka.

Air mata Hayu langsung menetes. Ia tidak bisa berkata-kata, hanya menangis dan menganggukkan kepalanya pelan.

Ia tidak menyangka akan secepat ini diberikan momongan.

“Aku masih tidak percaya, Mas,” bisik Hayu, suaranya bergetar.

“Secepat ini? Di tengah semua masalah kita...”

Rizal duduk di tepi ranjang, merangkul bahu Hayu dengan hati-hati.

“Justru ini adalah anugerah terbesar kita, Sayang. Tuhan tahu kita butuh kebahagiaan dan harapan Nya mengirimkan malaikat kecil untuk kita,” ujar Rizal, menyeka air mata Hayu dengan ibu jarinya.

“Anak ini adalah tanda bahwa kita benar-benar memulai dari awal, Sayang. Dia akan menjadi alasan terbesar kita untuk terus berjuang melawan Tiyas dan semua masalah lainnya. Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah melengkapi hidup Mas.”

Hayu tersenyum di tengah tangisnya. Ia memeluk Rizal, membiarkan kebahagiaan dan kelegaan membanjiri dirinya.

Mereka akan menjadi Ayah dan Ibu. Kebahagiaan ini adalah benteng terkuat yang mereka miliki.

Setelah menenangkan Hayu dan memastikan istrinya beristirahat dengan nyaman, Rizal melangkah keluar sebentar untuk membuat panggilan penting.

Ia tahu Riska, kepala keamanannya dan orang kepercayaan terdekatnya, pasti cemas menunggu kabar.

Rizal menekan tombol panggil. Di seberang telepon, Riska langsung mengangkat dengan suara panik.

“Pak Rizal? Bagaimana kondisi Bu Hayu? Apa Dokter bilang dia baik-baik saja?” tanya Riska.

Rizal tersenyum lebar. Senyum yang tidak pernah hilang sejak ia mendengar kabar dari dokter.

“Dia baik-baik saja, Riska. Bahkan, lebih dari baik-baik saja. Dia hamil,” jawab Rizal, suaranya dipenuhi kegembiraan yang meluap.

Ada keheningan singkat di ujung telepon, sebelum Riska berteriak pelan karena terkejut.

“Selamat, Pak Rizal! Ya ampun! Ini benar-benar kabar paling bahagia! Saya ikut senang sekali, Pak!” seru Riska penuh haru.

“Terima kasih, Riska. Sekarang, aku butuh kamu melakukan sesuatu. Ingat nazar yang pernah aku bilang padamu?”

“Tentu, Pak! Yang Bapak bilang jika Bu Hayu benar-benar kembali dan sembuh?”

“Bukan, Riska. Itu sudah kita lakukan. Ini nazar yang lain. Nazar yang aku buat diam-diam. Aku minta kamu segera laksanakan nazarku sekarang juga. Segera salurkan santunan ke panti asuhan yang sudah kita data, dengan jumlah sesuai yang sudah aku tentukan. Sampaikan pada mereka bahwa ini adalah rasa syukur kami karena dikaruniai seorang anak.”

“Siap, Pak Rizal! Saya akan laksanakan segera. Selamat sekali lagi, Pak Rizal,” tutup Riska, suaranya masih bersemangat.

Rizal kembali ke ruangan rawat dengan wajah yang berseri-seri.

Hayu menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

Hayu mengernyitkan keningnya. Ia mendengar samar-samar percakapan telepon itu, terutama ucapan selamat dari Riska.

“Nazar apa, Mas?” tanya Hayu.

“Nazar karena aku sudah sembuh?”

Rizal tersenyum, duduk kembali di sisi ranjang dan menggenggam tangan Hayu.

“Bukan hanya karena kamu sembuh, Sayang. Itu juga, tapi ini yang berbeda. Nazar yang aku buat saat kamu koma,” bisik Rizal, mencium tangan Hayu.

“Aku sudah bernazar,” lanjut Rizal, tatapannya lembut.

“Jika kamu hamil, aku akan menyantuni anak yatim di beberapa panti asuhan besar, dan aku akan memberikan sumbangan untuk pembangunan satu yayasan. Aku minta pada Tuhan, jika memang kamu ditakdirkan untuk kembali bersamaku dan menjadi istriku selamanya, berikan kami seorang anak secepatnya.”

Hayu terdiam, matanya kembali berkaca-kaca. Ia menyadari seberapa besar harapan dan cinta Rizal padanya, sampai-sampai membuat nazar sedalam itu.

“Mas…” Hayu memeluk suaminya dengan hati yang penuh.

“Terima kasih. Semoga semua kebaikanmu ini dibalas berlipat ganda, dan anak kita nanti tumbuh menjadi anak yang shaleh dan penyayang seperti kamu.”

“Amin, Sayang. Itu sudah lebih dari cukup,” balas Rizal, memeluk erat harta paling berharga dalam hidupnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!