Adinda tak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang ia jaga dengan sepenuh hati justru kandas di tengah jalan. Sejak mengalami insiden yang membuatnya harus menjalani perawatan panjang, ia kehilangan banyak hal—termasuk komunikasi dengan suaminya sendiri. Berbulan-bulan ia berjuang seorang diri, berharap ketika pulih, rumah tangganya masih bisa dipertahankan.
Namun harapan itu runtuh seketika. Saat suaminya akhirnya pulang dan berdiri di hadapannya, bukan pelukan hangat atau kabar baik yang datang… melainkan satu kalimat yang menghancurkan seluruh dunianya: ia diceraikan.
Adinda hanya bisa terpaku, tak pernah menyangka bahwa ketegarannya selama ini justru berakhir pada kehilangan yang lebih besar daripada rasa sakit yang pernah ia derita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28 Sebuah pesan singkat
Beberapa jam setelah kejadian itu, suasana rumah sakit berubah semakin mencekam.
Oma Hela yang tadinya jatuh pingsan dan dibawa ke ruang gawat darurat, kini tengah dirawat di ruang khusus. Dokter keluar dengan wajah tegang.
“Kadaannya stabil, tapi beliau mengalami serangan ringan. Bagian tangan kirinya melemah. Ini mengarah pada gejala stroke. Kami membutuhkan pemantauan ketat.”
Nyonya Wirna langsung menangis histeris.
“Semua ini gara-gara perempuan itu! Gara-gara Adinda!”
Riko langsung berdiri tegak mempertahankan Dinda.
“Cukup, Nyonya! Jangan salahkan dia terus! Kalau bukan karena tekanan Anda dan perjodohan itu, semua ini nggak akan terjadi!”
Nyonya Wirna terdiam, tersentak karena Riko yang bukan siapa-siapa lagi, berani membentaknya. Tapi ia tak bisa membalas, hanya menangis dan membenamkan wajahnya pada dada asisten yang memapahnya.
---------
Di Depan ICU
Dinda duduk membungkuk, wajahnya sembab, matanya memerah. Suara tangisnya hampir tak terdengar, tapi bahunya berguncang.
Riko menunduk, hatinya berperang dengan perasaannya sendiri.
Di satu sisi, ia masih mencintai Dinda.
Di sisi lain, ia tahu Vikto benar-benar mencintai wanita yang sama.
Konflik batinnya terasa berat, membuat dadanya sesak.
---
Oma Hela yang sebelumnya hanya pingsan, mendadak kondisinya menurun drastis. Dokter memanggil keluarga secepat mungkin. Tekanan darahnya anjlok, dan beberapa organ dalamnya mulai melemah. Suasana di ruang UGD berubah panik.
Nyonya Wirna terduduk lemas, wajahnya pucat. Sementara Riko hanya bisa memperhatikan dari jauh, merasa tidak pantas ikut campur, tapi juga tidak tega melihat Adinda yang berdiri lunglai, masih penuh air mata karena Vikto.
Tak lama kemudian, seorang perawat keluar memanggil,
“Keluarga pasien, kami mohon satu orang saja masuk. Nenek memanggil perempuan bernama… Adinda.”
Nama itu membuat semua orang menoleh.
Dinda menatap sekeliling, bingung dan takut. Tetapi langkah kakinya bergerak sendiri. Ia masuk pelan-pelan, jantungnya seakan menggedor dadanya.
Di dalam, Oma Hela terbaring lemah, oksigen terpasang, suara mesinnya memekakkan telinga. Namun tatapan beliau masih hangat, masih mengenali Dinda.
Tangan keriput itu terangkat perlahan.
“Dinda… kemari, Nak…”
Adinda langsung menggenggam tangan Oma, tubuhnya bergetar hebat. “O-Oma… maaf… semuanya gara-gara aku… Kak Vikto—”
“Diam…” bisik Oma lirih tapi tegas. “Jangan pernah salahkan dirimu.”
Air mata Dinda jatuh tak terbendung. “Tapi… Kak Vikto sampai koma… Oma sampai sakit begini… aku—”
Oma Hela tersenyum, walau lemah. “Cucu Oma… mencintaimu dengan cara yang tak bisa dia jelaskan. Dan sekarang… hanya kau yang bisa membuatnya hidup kembali.”
Dinda menahan tangis, menunduk.
Kemudian, suara Oma melemah, namun penuh ketegasan seorang wanita tua yang pernah memegang keluarga besar.
“Aku… mau menyampaikan wasiat, Dinda.”
Dinda mendongak cepat, panik.
“Jangan bilang begitu, Oma… Oma pasti sembuh, kan? Pasti!”
Oma Hela justru tersenyum sendu.
“Dinda… tolong dengarkan. Ini permintaan terakhir Oma…”
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara bergetar.
“Jangan pernah tinggalkan Vikto.”
“Jangan pernah bercerai.”
“Bertahanlah di sisinya… apa pun yang terjadi.”
Kata-kata itu menghantam dada Dinda seperti palu besar. Tangisnya pecah, sesenggukan tak terkendali. Ia memeluk tangan Oma erat-erat, takut kehilangan wanita tua itu.
“Din-Dinda janji, Oma…” suaranya pecah. “Dinda janji akan tetap di samping Kak Vikto… dan Dinda tidak akan pergi… Dinda tidak akan meninggalkannya…”
Oma tersenyum lega, air mata menetes dari sudut matanya.
“Terima kasih… Nak… Oma… percaya padamu…”
Tak lama setelah itu, monitor detak jantung memperlihatkan penurunan stabil. Dokter dan perawat segera masuk, meminta Dinda keluar.
Dinda keluar dengan tubuh limbung.
Di luar, Riko berdiri menatapnya cemas. “Dinda? Kamu kenapa? Bagaimana kondisi Oma?”
Namun sebelum Dinda sempat menjawab, suara mesin dari dalam ruangan mendadak berbunyi nyaring.
Nyonya Wirna menjerit.
Dinda menutup mulutnya dengan tangan — tubuhnya bergetar hebat.
Riko langsung memegang bahunya, “Dinda… tenang. Aku di sini. Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Namun tatapan Dinda kosong, seluruh dunia dalam dirinya runtuh bersamaan.
Dan di tengah kepanikan itu…
Dari ruang ICU Vikto, monitor detaknya perlahan berubah stabil. Jari-jarinya bergerak. Kelopak matanya bergetar.
Seolah mendengar janji yang baru saja Dinda ucapkan.
Vikto… mulai menunjukkan tanda-tanda sadar.