Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: Ketegangan diantara mereka
Sementara mereka membicarakan rencana, di luar gudang suara motor dan mobil sesekali lewat di kejauhan. Setiap suara membuat semua orang di dalam ruangan itu refleks memandang ke arah pintu.
“Bos,” kata Tomo dengan suara bergetar, “gimana kalau mereka sudah tahu kita di sini?”
Surya menatapnya tajam. “Kalau mereka sudah tahu, kita semua nggak akan sempat ngobrol sepanjang ini.”
Raka mencoba menenangkan keadaan. “Bos, mungkin kita bisa pecah jadi dua tim. Biar nggak ketahuan semua jalan bareng.”
“Boleh,” jawab Surya sambil berpikir keras. “Raka sama Iman ikut gue. Tomo, lu berangkat duluan bawa uang sama paspor. Kita ketemu di pelabuhan timur jam tiga pagi.”
Tomo mengangguk, meski wajahnya tetap pucat.
Tanpa mereka ketahui, di sisi lain kota, Boris sudah mengumpulkan beberapa orang kepercayaannya. Pria itu terkenal tak banyak bicara. Sekali diberi perintah, ia akan menyelesaikan pekerjaannya dengan rapi—tanpa suara, tanpa saksi, tanpa ampun.
“Target di gudang pinggir kota,” kata salah satu informan Boris.
Boris hanya mengangguk pelan, lalu memeriksa pistol di tangannya. Malam ini akan ada darah.
Di gudang, Surya berjalan mondar-mandir. Dalam kepalanya berkecamuk rasa takut sekaligus amarah.
“Gue nggak percaya sama Arman,” gumamnya pelan, tapi cukup keras terdengar oleh yang lain. “Gue bangun semua ini bareng dia. Dan sekarang dia mau habisin gue cuma gara-gara duit?!”
Raka mencoba menenangkan. “Bos, sekarang bukan waktunya mikir dendam. Kita harus selamat dulu.”
Surya berhenti melangkah, memandang Raka lama-lama, lalu mengangguk. “Lu benar. Selamat dulu… baru nanti kita lihat siapa yang ketawa terakhir.”
Waktu terus bergerak mendekati tengah malam. Di dalam gudang, Surya dan anak buahnya sudah menyiapkan koper berisi uang tunai, beberapa paspor palsu, dan peta jalur pelarian. Suasana hening kecuali suara langkah kaki mereka yang mondar-mandir dan detak jam tua di dinding.
“Jam berapa sekarang?” tanya Surya, suaranya serak menahan cemas.
“Sudah lewat jam satu, Bos,” jawab Raka sambil melirik arlojinya.
Surya menarik napas panjang. “Tomo sudah berangkat?”
“Sudah, Bos. Setengah jam lalu,” sahut Iman. “Dia bawa semua paspor sama uang. Katanya langsung ke pelabuhan timur.”
Surya mengangguk, meski raut wajahnya tetap tegang. Dalam hati, ia tahu waktu mereka semakin sempit. Boris bukan orang yang suka menunda pekerjaan. Kalau malam ini ada perintah dari Pak Arman, maka malam ini juga darah akan tertumpah.
Di kejauhan, sebuah mobil hitam melaju tanpa suara. Di dalamnya duduk Boris bersama empat orang anak buahnya yang berpengalaman. Mereka semua bersenjata lengkap, wajah mereka tanpa emosi.
“Target di gudang timur. Bos perintahkan malam ini selesai,” ujar salah satu orang Boris.
Boris hanya mengangguk tanpa menoleh. Kedua matanya menatap lurus ke depan. Dalam pikirannya, hanya ada satu hal: menyelesaikan perintah Pak Arman secepat dan setenang mungkin.
Sementara itu di gudang, Surya mulai tak bisa duduk diam. Ia berjalan mondar-mandir, memandang pintu seolah sewaktu-waktu akan ada pasukan bersenjata masuk dari sana.
“Bos,” kata Iman pelan, “kita nggak bisa tunggu di sini terlalu lama. Semakin lama di sini, semakin gampang mereka cari kita.”
Surya berhenti melangkah. “Lu pikir gue nggak tahu? Tapi kalau kita berangkat sekarang juga, kita bisa ketemu mereka di jalan.”
“Justru itu, Bos,” timpal Raka. “Kalau ketemu di jalan, kita masih bisa kabur. Kalau mereka kepung di sini, kita tamat.”
Surya memejamkan mata, menimbang ucapan anak buahnya. Dalam hati, ia tahu Raka benar. Gudang ini seperti perangkap tikus—sekali dikepung, tak ada jalan keluar.
“Siapin mobil,” akhirnya Surya memutuskan. “Kita berangkat sekarang.”
Namun keputusan itu terlambat.
Di luar gudang, suara ban mobil berhenti mendadak. Lampu-lampu sorot menyinari dinding gudang. Surya dan anak buahnya terdiam. Jantung mereka seakan berhenti berdetak.
“Bos… mereka sudah datang,” bisik Iman dengan wajah pucat.
Surya menggenggam pistol di pinggangnya. “Cari pintu belakang! Cepat!”
Raka dan Iman berlari mencari jalan keluar, tapi suara langkah kaki berat sudah terdengar mendekat dari segala arah.
Boris masuk dengan tenang, pistol di tangan, wajah tanpa ekspresi. “Surya,” suaranya berat dan dingin, “Bos Arman titip salam.”
Detik itu juga, dunia seolah berhenti berputar. Ketika Boris mengangkat tangannya dan memberi isyarat, suara letusan pertama memecahkan keheningan malam.
DORRR!
Peluru pertama menghantam dinding logam gudang, memercikkan serpihan karat ke udara. Suaranya bergema di ruang sempit itu, membuat telinga Surya dan anak buahnya berdenging.
“Baku tembak! Berlindung! Cepat!” teriak Raka panik sambil mendorong Surya jatuh ke balik peti kayu besar.
Iman merunduk di belakang drum minyak tua, napasnya terengah-engah. “Mereka datang dari semua arah, Bos! Kita terjebak!”
Surya menarik pistol dari pinggangnya, wajahnya penuh keringat. “Tembak balik! Jangan kasih mereka masuk!”
DORRR! DORRRR!
Balas menembak, Surya memuntahkan tiga peluru ke arah pintu depan tempat Boris dan anak buahnya mencoba masuk. Kayu pintu berderak, debu beterbangan, tapi Boris tetap bergerak maju dengan tenang seperti hantu malam.
Boris menunduk di balik dinding, memberi kode ke dua orang anak buahnya. “Ambil sisi kiri. Paksa mereka keluar dari persembunyian.”
Dua pria itu langsung bergerak cepat, menyelinap lewat jendela pecah di sisi gudang. Sementara itu dua lainnya menutup pintu depan, menembakkan peluru tanpa henti ke arah Surya dan anak buahnya.
“Bos, kita nggak bisa lama-lama di sini!” teriak Iman yang kini berjongkok di balik peti lain, peluru nyaris mengenai kepalanya. “Mereka sudah mengepung dari dua arah!”
Raka menembak sekali lagi, lalu berteriak, “Gue lihat dua orang di kiri! Mereka mau masuk lewat jendela!”
Surya menggertakkan gigi, keringatnya menetes deras. “Jangan biarin mereka masuk! Kalau mereka bisa dekat, kita tamat!”
BRAKK!
Tiba-tiba salah satu drum minyak di dekat Iman terkena peluru. Minyak tumpah, menggenang di lantai, menambah suasana makin kacau. Bau menyengat memenuhi udara.
“Bos! Kalau ada percikan api, kita semua bakal meledak!” seru Iman panik.
Surya menembak membabi buta ke arah jendela, memaksa dua orang suruhan Boris mundur sesaat.
Boris sendiri tetap maju perlahan dari pintu depan. Ia berbeda dengan anak buahnya—gerakannya tenang, pelurunya selalu terarah. Setiap kali ia menembak, suara peluru memecahkan udara dengan presisi mengerikan.
DORR! Sebuah peluru menghantam peti kayu tempat Surya bersembunyi, hanya beberapa inci dari kepalanya.
“Dia gila!” teriak Surya sambil merunduk lebih dalam.
Raka berusaha menembak balik, tapi senjatanya macet. “Bos! Senjata gue macet!”
“Ambil cadangan gue di tas!” teriak Surya sambil melemparkan pistol kecil ke arahnya.
Iman, yang sejak tadi mencoba membuka pintu belakang, berteriak lagi, “Bos, gemboknya hampir lepas! Tahan mereka sedikit lagi!”
Suara tembakan semakin riuh. Dentuman peluru memantul di dinding logam, memekakkan telinga semua orang di dalam gudang. Asap mesiu mulai memenuhi udara, membuat pandangan mata kabur.
Raka yang kini memegang pistol cadangan Surya menembak ke arah jendela. DORRR! DORRR! Dua orang anak buah Boris yang mencoba menyelinap dari kiri terpaksa mundur kembali ke luar.
“Bos! Pintu belakang sudah kebuka!” teriak Iman akhirnya.
Surya menoleh cepat ke arah pintu belakang yang kini terbuka sedikit. Matanya penuh tekad. “Kita keluar sekarang! Raka, tutupin dari belakang! Iman, bawa koper uang itu!”
Boris melihat gerakan mereka dan langsung memberi isyarat, “Jangan biarin mereka keluar!”
DORRR! DORRR! Peluru menghantam dinding di dekat pintu belakang, memaksa Surya dan Raka merunduk.
“Ayo Bos! Sekarang atau kita mati di sini!” teriak Raka, keringat membanjiri wajahnya.
Surya mengangguk cepat. Mereka bertiga berlari ke pintu belakang sambil menembak membabi buta ke arah Boris dan anak buahnya. Suara peluru dan teriakan bercampur jadi satu, seperti simfoni maut di tengah malam.
“Ke mobil! Cepat!” Surya berteriak begitu mereka berhasil keluar dari gudang, meninggalkan Boris yang masih menembaki dari dalam.
Namun Boris tidak mengejar gegabah. Ia berhenti di pintu belakang, menatap mereka dengan mata dingin. Bibirnya hanya bergerak sedikit, suaranya pelan tapi penuh ancaman:
“Surya… ini belum selesai.”