NovelToon NovelToon
Dari Dunia Lain Untuk Anda

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin
Popularitas:276
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.

Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.

Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 - Michikko - Bagian Kesepuluh

Dari kelompok Ki Prana yang berdiri di belakang melangkah maju lalu berkata, “Kedung Bawuk... Jangan kau kira kami tidak tahu latar belakangmu. Karena kami sangat menghormatimu, tak seharusnya beban masa lalumu kami sebar luaskan. Jika kalian tak segera meninggalkan tempat ini, kami akan membongkar kedok Kedung Bawuk ini,”

Massa sepertinya tidak peduli dengan kata-kata tersebut, di pihak Kedung Bawuk, dirinya merasa sama sekali tidak berbuat kesalahan. Maka dari itu, ia diikuti dengan massa pendukungnya maju dan hendak menerobos rombongan Ki Prana. Ki Prana mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, dari belakang 50 orang itu muncul massa yang lebih besar daripada massa milik Kedung Bawuk dan membuat mereka ragu-ragu.

Seorang laki-laki setengah baya sebagian wajahnya ada bekas luka bakar yang cukup parah, maju dan berdiri di dekat Ki Prana.

“Kedung Bawuk,” katanya, “Setengah tahun yang lalu, kau berkunjung ke sebuah perkampungan kumuh. Kau melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang sepertimu. Dengan iming-iming memberi penghidupan yang layak kepada hampir semua keluarga disana, kau meminta kepada semua penduduk disana untuk memberikan anak gadis mereka kepadamu. Kau berjanji untuk memberinya pekerjaan yang layak pada mereka, tapi, ternyata kau malah membuat mereka semua harus menyerahkan segala-galanya kepadamu, termasuk kehormatannya. Beberapa dari mereka hamil, kau malah tidak mengakuinya bahkan membuang mereka di jalanan. Karena tidak terima dengan perlakuanmu itu, mereka meminta pertanggungan jawabmu. Kau tolak. Kau menghimpun massa dengan jumlah yang cukup besar untuk kemudian meratakan perkampungan itu dengan tanah. Kau bakar semua yang ada disana hingga tak ada seorangpun yang dibiarkan hidup. KAMPUNG PARA PENYIHIR, itulah yang kaukatakan pada massa. Kau ingin memanfaatkan orang-orang itu untuk menanggung dosa yang kaubuat. Jelaskan pada massa yang sekarang berada di belakangmu ... mengapa kau melakukan hal itu ?”

Sepasang mata Kedung Bawuk terbelalak, ia mundur beberapa tindak, “Dusta !!” serunya, “Jangan asal bicara, jika tidak ada bukti yang kuat, aku bisa menuntutmu ke pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik sekarang juga,”

Laki-laki itu maju mendekat, “Namaku DAHA REKSA. Akulah bukti atas perbuatan terkutukmu itu dan aku adalah salah satu penduduk dari perkampungan tersebut. Dan, salah seorang dari wanita yang kau hamili itu adalah adikku. Kau sama sekali tak menyangka bukan bahwa dari sekian banyak penduduk kampung kumuh itu, beberapa diantaranya masih hidup dan kebetulan ada disini,” katanya sambil memberi isyarat kepada orang-orang yang berkumpul di belakangnya maju, sebagian wajah mereka buruk dan sebagian lagi ada yang kehilangan kaki dan tangannya, “Mereka adalah korban-korban kemunafikanmu ! Kini apalagi yang harus dibuktikan,” sambungnya.

“Kau juga pernah datang ke SMA Tidar I. Bukan ?” tanya Ki Prana begitu melihat Kedung Bawuk tak bisa berkata apa-apa lagi,

“Ada seorang siswi pindahan dari Okinawa – Jepang. Apa kau masih ingat dengan perbuatanmu kepadanya ? Jika kau lupa aku akan membantumu mengingatkannya kembali,” sambung Ki Prana.

“Sejak pertama kali kau datang ke sekolah tersebut dan bertemu dengannya ... kau tidak bisa melupakannya, bukan ? Kau sering datang ke sekolah tersebut dengan berbagai alasan padahal sebenarnya kau ingin menjumpai gadis tersebut. Kau menyatakan perasaanmu kepadanya, tapi, gadis itu menolak. Kau tidak bisa menutupi rasa malumu, usiamu 50 tahun sementara gadis itu belum genap berusia 17 tahun.Cintamu tak terbalas. Lalu, entah bagaimana caramu hingga mampu membuat beberapa siswa di sekolah itu menuruti segala perintahmu hingga terjadilah peristiwa tersebut. Kau menggerakkan massa untuk mencelakakan gadis itu bahkan membuatnya mati mengenaskan. Gadis itu bernama Michikko. Apa perkataanku ini salah ?” Ki Prana menatap tajam ke arah Kedung Bawuk yang saat itu sudah tidak bisa menutupi rasa malunya, ia tidak bisa membela diri lagi. Massa yang berada di belakangnya tidak lagi bersuara hingga suasana di tempat itu menjadi sunyi.

“Dduuaarr !!”

Sebuah ledakan keras memecahkan kesunyian dan membuat semua orang terkejut. Tak jauh dari tempat itu tampak langit di sebelah Timur memerah dan asap hitam mengepul di udara.

Ki Prana segera menyadari bahwa asap itu berasal dari tempat tinggal Arimbi. Baru saja hendak berbicara, matanya terbelalak manakala sesosok wanita berbaju hitam, berambut hitam panjang berdiri dengan kepala tertunduk sesekali kepalanya menyentak dua tiga kali ke kiri. Dia adalah Michikko.

Michikko kini sudah berdiri diantara Ki Prana dan Kedung Bawuk. Semua orang merasakan adanya hawa jahat memancar keluar dari tubuhnya. Hawa Pembunuh yang cukup besar dan bisa mencelakakan siapapun yang ada di dekatnya. “Selamatkan diri kalian jika masih ingin hidup !!” seru Ki Prana.

_____

Siang itu, awan hitam berarak perlahan dari arah Lereng Pegunungan Arjuna menutupi langit yang semula cerah. Tanah lapang yang cukup luas berjarak sekitar 500 meter dari rumah Arimbi terjadi pembantaian besar-besaran. Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah dan bentuknya sudah tidak utuh lagi. Tanah yang tadinya berwarna hijau karena rumput dan tanaman, memerah basah oleh darah. Kata-kata kejam tidak manusiawi juga teriakan-teriakan ‘Bunuh penyihir’, ‘usir mereka dari sini’, ‘bakar mereka’, dan lain sebagainya dalam sekejab berubah menjadi jeritan memilukan dan menyayat hati.

Michikko mengamuk tak terkendali, membunuh siapa saja yang ada di dekatnya, Kedung Bawuk yang semula menjadi sasaran utama amukan Michikko berlindung di balik kerumunan massa, ia berniat melarikan diri selagi ada kesempatan, tapi, rasanya sulit sekali.

Ki Prana dan yang lain mencoba menghentikan ulah brutal Michikko dengan segala kekuatan yang ada tapi, harus rela terluka parah demi melindungi orang. Kekuatan Michikko benar-benar tak bisa dibendung, Ki Prana pun harus bertekuk lutut, sekujur tubuhnya lemas tak berdaya.

Sementara itu, wajah Kedung Bawuk pucat pasi, tak ada lagi tempat untuk berlindung, seumur hidupnya baru kali ini merasa ketakutan seperti itu. Dalam setiap aksinya, ia hanya mengandalkan massa. Kini massa yang menjadi perisainya, kocar-kacir. Kedung Bawuk jatuh terduduk manakala melihat pemandangan yang mengerikan itu.

Michikko berdiri sambil memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya sementara di belakangnya Kedung Bawuk berjingkat-jingkat hendak meninggalkan tempat itu. Sambil menyentakkan kepalanya ke kiri dua-tiga kali, ia menuding lurus-lurus ke wajah Kedung Bawuk, “Kau, kemarilah. Berlututlah di hadapanku !” katanya dingin.

Kedung Bawuk membalikkan badannya, ia berkacak pinggang tapi, sama sekali tak mampu menutupi rasa takut dan gelisahnya, “Aku, Kedung Bawuk pantang berlutut di hadapan penyihir sepertimu !!” tantangnya.

Gemerantak jari-jemari tangan kanan Michikko bergerak menegang membentuk cakar dan diarahkan ke leher Kedung Bawuk.

Pria itu terkejut manakala merasakan lehernya seperti dicekik dan tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Air mukanya membiru, ia mencoba menahan rasa sakit yang kini menjalari sekujur badannya. Michikko mendegus keras, “Aku ingin tahu apa dagu yang menyatu dengan leher di balik jenggotmu itu sekeras kepalamu ?!”

Saat Michikko hendak mematahkan leher Kedung Bawuk, terdengar seruan dari belakang, “Michikko, hentikan ! Mengapa kau harus mengotori tanganmu dengan darah pria rendah dan munafik seperti dia !” seruan itu menyadarkannya. Setelah ia mencampakkan tubuh Kedung Bawuk ke tanah keras-keras, ia membalikkan badannya dan tampak Miwako diikuti dengan Arimbi dan teman-temannya tengah berjalan terseok-seok menghampiri.

Miwako, Arimbi, Cindy dan Maribeth muncul, tubuh mereka penuh dengan luka-luka yang boleh dibilang cukup parah. Tampaknya pertarungan yang terjadi di rumah Arimbi telah menempatkan Michikko sebagai pemenangnya. “Sekalipun aku mati, tidak akan kubiarkan kau membunuh orang lagi,” kata Miwako seraya membungkukkan badannya ke tanah dan mengambil sekepal tanah. Bibirnya komat-kamit membaca mantera dan menebarkan tanah itu keempat penjuru mata angin.

“Harunai eiki sharu-tai. Harunai Kashi-gawa Nomo Hikaru. Watashi wa Ai Ki-geru”

Bersamaan dengan itu, dari dalam tanah menyembul keluar sebuah benda menyerupai kepala manusia disusul dengan munculnya makhluk-makhluk kerdil yang aneh dan menyeramkan berwarna merah bagaikan bara api. Tempat itu seperti diguncang oleh gempa bumi yang hebat, tanah terbelah menjadi dua menarik masuk siapa saja yang ada di dekatnya.

Dalam sekejab, Miwako, Michikko, Cindy dan yang lain mendadak sudah berada di sebuah tempat asing. Di sekeliling mereka tampak lautan lahar panas, gelembung udara memercik kesana-kemari, membakar apapun yang ada di dekatnya.

“Aku sengaja membawamu ke tempat ini. Mungkin ini adalah tempat yang cocok untuk menyucikan jiwamu yang penuh dengan amarah, dendam, kebencian serta nafsu membunuhmu yang kelewat batas itu,” kata Miwako.

Michikko tak berkata apa-apa selain melemparkan bonekanya ke tanah. Pada saat itulah lahar panas yang berada di sekelilingnya bergerak bagaikan pusaran air dan saat Michikko merentangkan kedua tangannya, cairan panas itu berpencar ke segala penjuru mata angin dan mengelilingi tubuhnya. Miwako dan yang lain membelalakkan mata. Putaran lahar panas bagaikan badan angin puting beliung. Saat Michikko menudingkan telunjuk kanannya lurus-lurus ke wajah Miwako, lahar panas itu melesat bagaikan ribuan anak panah terlepas dari busurnya ke arah Miwako.

Jarak antara lahar panas dengan wajah Miwako tinggal beberapa senti saja, tapi, mendadak tubuh Miwako berubah menjadi bayangan-bayangan merah dan terbakar. Sekalipun menyadari serangannya gagal, Michikko tetap diam tak bergeming, lagi-lagi kepalanya menyentak ke kiri dua tiga kali sementara lahar panas sudah kembali ke tempatnya semula, seakan menanti apa yang akan dilakukan oleh Michikko.

“Nona Miwako,” panggil Maribeth, “Dia benar-benar ingin membunuhmu,”

“Dia takkan bisa membunuhku,” sahut Miwako.

“Bagaimana kau bisa berkata demikian ? Beberapa saat yang lalu di halaman rumah Arimbi, dia membuat kita terluka. Kini dia membuat lahar panas itu sebagai alat untuk membunuh,” kata Maribeth.

“Maafkan aku karena telah menempatkan kalian pada situasi seperti ini. Tak kusangka, kejadian ini malah berada di luar kendaliku. Aku harus bertanggung jawab,” ujar Miwako sedih.

“Kau tidak harus bertindak sendiri, kami akan membantumu,” sahut Ki Prana, “Kau dan teman – temanmu adalah orang-orang istimewa. Dengar Michikko yang sekarang ... bukanlah Michikko yang kau kenal dulu, Nona Miwako,” Husein Bin Mahfud menambahkan.

“Kami akan membantumu. Kekuatan Michikko memang besar, tapi, kalau kita bersatu ... dia bukanlah apa-apa. Biar bagaimana pun kalian adalah keluargaku. Aku tidak akan berpangku tangan,” Arimbi angkat bicara.

Arimbi memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, saat menghembuskan nafas, mendadak, dari arah belakang terdengar suara bergemuruh. Itu adalah suara air dalam volume yang cukup besar. Air itu bergerak menerobos pusaran lahar panas milik Michikko. Untuk sesaat di antara Arimbi dan Michikko berdiri bagaikan terbentang sebuah tembok raksasa berwarna jingga. Sesekali tembok itu bergerak menekan Arimbi, sesekali bergerak menekan Michikko. Wajah dua wanita itu menegang cukup lama, Arimbi tampak kewalahan hingga darah keluar dari hidung kanannya.

Menyadari pertahanan Arimbi takkan mampu membendung serangan Michikko ... Miwako, Ki Prana, Husein Bin Mahfud dan yang lain segera berdiri di belakang Arimbi.

“Duar !” ledakan keras terjadi, tubuh Michikko terpental ke belakang beberapa tindak dan jatuh terduduk, gelombang air terus berdatangan tiada henti bagaikan terjangan air bah. Michikko tak mampu lagi berbuat apa-apa selain membiarkan air tersebut menyirami tubuhnya.

Sosok-sosok merah itu berlompatan menerjang ke arah Michikko. Ia merasakan tubuhnya bagaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum dan panas menyengat saat sosok-sosok merah menyala itu menyambar. Warna merah di tubuhnya berubah menjadi kobaran-kobaran api, ia berteriak kesakitan.

Api terus membakarnya hingga akhirnya teriakan itu kian melemah. Miwako mengambil sebuah guci kecil dan menaruhnya di atas abu Michikko dan menutupnya erat-erat. Perlahan-lahan, keadaan di sekitar berubah, lahar-lahar panas yang sejak tadi seakan membakar tempat itu hilang dan digantikan dengan rimbunan pepohonan berdaun lebat. Miwako dan yang lain sudah kembali ke tempat yang sesungguhnya, tempat dimana Kedung Bawuk tergeletak tak berdaya si antara gelimpangan mayat tak tentu arah.

“Akhirnya tugasku selesai,” kata Miwako, “Dia harus segera dibawa ke Jepang dan dimakamkan secara baik-baik,” sambungnya.

“Nona Miwako,” sapa Ki Prana, “Kelak jika kau membutuhkan bantuan kami, kami pasti akan datang membantu,” sambungnya.

“Terima kasih, Ki Prana. Setelah membawa abu Michikko ke hadapan ibu dan memakamkannya, saya akan kembali menemui saudara-saudaraku,” kata Miwako.

Perlahan-lahan Miwako membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu, sementara Arimbi dan yang lain hanya memandanginya hingga tubuh wanita itu menghilang di tikungan jalan.

“Bagaimana dengan Kedung Bawuk, Ki ?” tanya Arimbi.

“Biar kami yang mengurusnya. Kedung Bawuk, bisa dipastikan takkan bisa lagi berbuat onar. Tapi, waspadalah, kelak akan muncul Kedung Bawuk yang lain. Selama kami masih ada di dunia ini, mereka takkan bisa berbuat apa-apa lagi,” ujar Husein Bin Mahfud.

Ki Prana dan yang lain satu per satu meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Kedung Bawuk yang masih tak sadarkan diri.

“Kini kita bisa beristirahat dengan tenang. Kak Arimbi, bolehkah kami tinggal beberapa hari lagi di rumah kakak ?” tanya Cindy.

Arimbi menoleh ke arah Cindy, “Kalian tidak boleh kemana-mana. Semenjak kejadian Michikko, sepertinya kita dihadapkan sesuatu yang menegangkan sehingga tak ada lagi waktu bersantai. Kini semuanya sudah selesai, jadi, aku akan menemani kalian piknik kemana pun kalian suka. Lagipula aku masih merindukan kalian semua,” Cindy dan Maribeth tersenyum, kejadian menegangkan beberapa jam yang lalu bagaikan hilang entah kemana.

_____

Epilog

Dengan sepotong tongkat kayu yang usang, laki-laki paruh baya itu berjalan menyusuri jalanan terjal berbatu. Lusuh pada wajahnya, selusuh pakaian dan sorban putih kecoklatan, compang-camping yang dikenakannya. Sesekali ia berhenti untuk menyeka keringat yang mengalir dari dahinya dan menarik nafas panjang. Sepasang matanyanya sayu dan berkantung menatap ke sekeliling. Di depan hanya ada jalanan gersang, tandus, kering dan terbakar sengatan terik matahari tepat di atas kepala. Jalanan itu sepertinya tak berujung, di sebelah kanan kirinya hanyalah deretan batu nisan yang sebagian sudah rusak disana-sini. “Ah, sekalipun lama rasanya aku berjalan, selalu dihadapkan pada pemandangan yang sama,” katanya seorang diri untuk kemudian melanjutkan langkah-langkahnya yang terseok-seok. Ia ingin secepatnya meninggalkan tempat itu.

Setelah agak lama berjalan, ia kembali berhenti dan pemandangan yang ada di sekelilingnya selalu sama. Ia pun jatuh terduduk dan menangis, tangis penuh keputus asaan. Di sela-sela tangisnya, terdengar suara aneh dan cukup mengganggu dari arah depan.

Lebih kurang 200 meter di depan, tampak orang banyak berkerumun. Laki-laki itu menghentikan tangis dan rasa penasaran yang menggelitik membuat langkah-langkahnya terasa ringan dan dalam sekejab sampailah di tempat yang dituju.

Sepasang matanya terbelalak lebar manakala melihat orang-orang tersebut ternyata mengerumuni sesosok tubuh laki-laki tua tergeletak di tengah jalan dalam keadaan sudah tak bernyawa. Ia mengenali laki-laki tersebut. Kedung Bawuk. “Mana mungkin itu aku ?” ia bertanya pada salah seorang dari kerumunan tersebut, tapi, sepertinya orang itu tak mendengarnya. Sekali, dua kali, tiga kali hingga kesekian kalinya ia bertanya pada orang lain, tapi, tak ada yang mendengarnya, “Tidak mungkin !!” ia berteriak sekeras mungkin namun, itu hanyalah teriakan yang semakin lama semakin jauh dan menghilang terbawa angin ke berbagai penjuru.

Angin tersebut berhembus perlahan, membelai badan perbukitan dan lereng-lereng Pegunungan Arjuna. Menerbangkan apa saja termasuk debu-debu yang ada pada jalanan sunyi dan sepi. Debu-debu tersebut berkumpul menjadi satu membentuk sebuah benda. Boneka gadis cilik yang lucu dengan rambut berkepang dua. Sepasang matanya tampak hidup, bergerak naik turun, senyum manis pada bibirnya yang imut membuat boneka itu tampak cantik sekalipun dihiasi debu. Senyuman yang mengandung kekuatan magis, membuat siapapun ingin memilikinya.

Nun jauh disana ... di dalam sebuah gua, sebuah bayangan wanita duduk bersila sementara wajahnya tertunduk, sepasang matanya terpejam rapat. Ia duduk dikelilingi oleh lebih kurang 20 batang lilin.

Angin berhembus perlahan, menggoyang nyala api pada lilin – lilin tersebut. Asap putih tipis meliuk – liuk mengikuti arah angin melenggak – lenggok bagaikan penari – penari jelita, membentuk siluet – siluet aneh. Detik berikut, wanita itu mengangkat wajahnya, sepasang matanya terbuka dan menyorot tajam manakala bayangan lain muncul di hadapannya.

“ANRE ATINUY, saatnya sudah tiba, orang suruhanku itu gagal melakukan tugasnya dan harus menukar dengan jiwanya. Kini giliranmu melaksanakan janji yang telah kita sepakati bersama. Janganlah mengecewakanku....” terdengar suara serak menyakitkan telinga para pendengarnya.

Wanita itu tersenyum dingin, “Terima kasih, guru... kali ini semua orang yang berhubungan dengan dia harus mati. Ha... ha... ha... ha...” tawanya menggelegar, memantul ke semua dinding gua, untuk kemudian terbawa oleh angin malam di tempat itu ke sebuah Villa Gunung Tidar Kota Malang... Membuat Arimbi dan teman – temannya yang tengah duduk setengah terbaring di ruang tengah melompat berdiri, “Apa kalian tak merasakannya ?” tanya Arimbi.

Tamat

( 30 – Mei – 2019 )

_____

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!