NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 — Ancaman Umbral Makin Nyata

PESANAN mereka datang. Mereka menyantap hidangan masing-masing dengan lahap. Fokus Davin terjeda sebentar untuk menikmati beef burger dan jus sirsaknya. Iseng, dia mengecek layar notifikasi kalau-kalau ada pesan atau telepon dari rumah. Kosong. Hanya ada dua pesan yang tampak mencolok—puluhan chat di grup dan pesan Sasha. Dia sengaja hanya mengintip di layar notifikasi agar Sasha tak mengetahui kalau pesan-pesannya sudah dibaca.

Persis seperti tebakannya, Sasha mendesak dia untuk menyusul ke mall. Sekitar dua jam yang lalu. Mungkin beberapa saat sebelum mereka tiba di kolam renang. Pesan Sasha sering membuat dia serbasalah. Dibalas salah. Tidak dibalas juga salah.

Davin meletakkan ponselnya di meja, lalu membuka laptopnya. Dia menggigit makanannya seperti tanpa sadar sambil memelototi layar laptop. Dia penasaran karena belum menemukan data baru—atau coretan yang tersembunyi—dalam catatan rahasia ayahnya tentang anomali Umbral yang menyebabkan sekaratnya katak tadi.

Ada banyak kemungkinan—terlalu banyak. Dia nanti harus menganalisanya satu per satu dengan tenang. Bisa jadi efek tersebut hanya terjadi pada hewan-hewan kecil—dan tidak pada manusia.

Dalam cacatan kaki Adrian dengan jelas tertulis: “Efek energi Umbral tidak membunuh secara langsung. Tapi distorsi persepsi buatannya bisa menyebabkan kematian.”

Davin sudah berkali-kali membaca halaman itu. Dia sudah tahu tentang berbagai dampak negatif dari efek energi Umbral. Tapi dia tidak menemukan catatan kaki lainnya. Hanya sebuah simbol lingkaran dengan garis-garis gelombang yang berbeda dari simbol-simbol lainnya—coretan-coretan angka yang membingungkan—dan tulisan kecil yang tak terbaca.

Davin mengangkat wajahnya ketika sudut matanya menangkap dua sosok gadis masuk kafe—dan dia langsung pura-pura lebih fokus pada laptopnya begitu melihat siluet Sasha. Oh, shit!

Dia merasa kesal sendiri karena kehadiran Sasha terasa lebih menakutkan ketimbang penampakan Umbral.

Dia terpaksa mengangkat wajahnya karena tak mungkin berpura-pura tak menyadari kehadiran Sasha dan Elisa—dan dia nyaris menahan napas ketika matanya bertemu dengan tatapan tajam Sasha. Elisa juga menatapnya dengan sikap seperti menyalahkan.

“What?”

“Coba baca WA Sasha,” desis Elisa setengah sebal. “Kalau barusan Sasha mau diculik gerombolan preman Sency, dia sekarang pasti udah hilang entah di mana.”

“Sori.” Davin kembali menatap layar laptop—tidak sanggup membalas tatapan lekat Sasha. “Aku… nggak sempat balas tadi.”

“Sampai sekarang juga belum dibaca,” gerutu Sasha.

“Hmm, rencananya habis makan burger aku baru baca WA.”

“Lo harus berubah, Prof,” timbrung Rayan sok bijaksana. “Lo bisa baca WA sambil makan burger—atau makan burger sambil baca WA. Atau sampai tua lo nggak akan dapat jodoh.”

Sasha menggertakkan giginya karena tahu kalau Rayan hanya pura-pura prihatin, lalu duduk di kursi kosong di samping Rayan dengan gerakan yang cukup keras untuk membuat gelas-gelas di meja bergetar.

Elisa ikut duduk, tapi ekspresinya lebih tenang—meskipun jelas-jelas matanya memancarkan rasa kesal yang sama.

“Prof,” tegur Rayan lagi dengan sikap serius.

“What?”

“Masak Sasha dan Elisa nggak ditawarin minuman? Mereka datang jauh-jauh dari Sency, lho.”

“Thanks, Bro,” geram Davin makin salting. “Kebaikan gue lo bales pake racun.”

Mereka tertawa. Sasha juga sulit menahan senyum.

“Aku bisa pesan sendiri,” gumamnya masih dengan nada setengah menggerutu. “Kalau nungguin Davin mesenin minuman, mungkin aku keburu dehidrasi.”

Tawa mereka kembali pecah. Seperti biasa, di luar hal-hal serius yang dibahas Davin, suasana di antara mereka begitu cair dan ceria. Gadis pelayan mendekat. Sasha dan Elisa hanya memesan jus jeruk karena mereka barusan sudah makan siang di kafe mall.

Davin kembali memfokuskan pandangannya ke layar laptop, sementara Rayan mulai asyik menceritakan ulang tentang kejadian aneh di kolam renang—sekedar untuk menciutkan hati Elisa.

Dia tak bisa mengalihkan perhatiannya pada hal-hal lain—termasuk pada Sasha. Tidak sekarang. Ancaman bencana yang dapat ditimbulkan Umbral bukan hal sepele. Tapi entitas nonfisik tersebut begitu nyata dan mematikan.

Diam-diam dia menghela napas panjang karena “kebisingan” teman-temannya membuat dia tak bisa sepenuhnya fokus. Kepalanya masih penuh dengan bermacam pertanyaan baru—tentang kemungkinan efek energi Umbral terhadap makhluk hidup, tentang kemungkinan lokasi portalnya, dan tentang bagaimana cara mengacak gelombang suaranya.

Tari ikut menatap ke layar. Dia tidak mengerti apa yang dilakukan Davin, tapi dia tahu cowok itu sedang merangkai algoritma dalam gelombang suara Umbral. Dia kagum pada kemahiran Davin dalam bidang IT—dan dia tahu semua digali Davin hanya secara otodidak.

Davin memindahkan jendela program ke tab lain. Grafik gelombang kini berubah menjadi peta spektrum penuh warna—bergerak lincah seperti pelangi digital yang terus bergolak.

Dia mengetik serangkaian perintah untuk menciptakan distorsi resonansi. Algoritma yang dia kembangkan sendiri akan mengubah sebagian pola frekuensi menjadi sinyal acak—dan memantulkannya kembali ke sumber.

“Gue coba bikin semacam senjata untuk ngelawan Umbral,” jelasnya singkat pada Tari.

Mendengar kalimat “senjata ngelawan Umbral,” Rayan mendadak berhenti bersuara. Dia berpindah ke balik punggung Davin. Sasha dan Elisa ikut beranjak dari kursi masing-masing. Sekilas mereka seperti sedang menonton atraksi seorang gamer handal.

Beberapa detik kemudian, Davin menjalankan tahap kedua: resonansi reversal. Metode ini membalikkan fase gelombang asli—seperti memberi “cermin” akustik kepada si pengirim sinyal. Efeknya, kalau berhasil, akan membuat sumber sinyal menerima pantulan dirinya sendiri yang terdistorsi, bisa memicu kebingungan atau bahkan memutus komunikasi.

Di layar, indikator transmisi berkedip. Garis grafik yang tadinya berulang rapi mulai bergerigi tak teratur seperti rekaman yang diganggu interferensi.

Davin menahan napas. Dia menatap gelombang indikator kekuatan sinyal mulai menurun. Tapi, di sudut spektrum, dia melihat sesuatu yang membuatnya tegang.

Ada muncul gelombang baru, lebih kuat, muncul bersamaan—seolah Umbral sadar dirinya diganggu… dan membalas.

Davin tertegun. Tangannya yang bergerak lincah di atas keyboard mendadak terhenti di udara.

Oh, shit!

“Kenapa, Bro?” tanya Rayan heran.

“Gue coba ngirim resonansi suara yang terdistorsi ke sinyal Umbral. Tapi dia kayak bereaksi. Ini beneran nggak masuk akal. Padahal semua file di laptop gue berupa rekaman. Tapi kayaknya sinyal aktif. Sebentar—gue coba sekali lagi.”

Dengan cepat dia mengetik serangkaian perintah—dan menekan tombol Enter.

Dia menatap grafik spektrum di layar laptopnya. Gelombang suara Umbral tidak statis; ada pola burst signal yang hanya aktif dalam interval tertentu. Seperti ponsel yang baru dapat dilacak ketika menyala, sinyal Umbral hanya bisa menautkan koordinatnya ke jaringan saat sedang beresonansi.

Untuk memastikan, Davin menjalankan uji coba kecil: dia mengirimkan sinyal pengacak berfrekuensi rendah ke arah sumber. Hasilnya persis seperti dugaan—pada detik dia melepaskan jamming, gelombang Umbral kembali aktif dan langsung menyesuaikan diri, seakan tahu posisi Davin. Itu berarti sinyal Umbral bekerja seperti handshake dua arah; selama resonansi aktif, dia membuka saluran komunikasi yang juga berfungsi sebagai GPS tracker. Dengan kata lain, setiap kali dia berusaha melawan, dia sendiri sedang menyalakan suar yang memberitahu Umbral di mana dia berada.

“Dia bukan sekedar berbicara lewat suara,” ujarnya dengan mata sedikit membelalak. “Dia memetakan ruangan ini. Dan… dia tahu gue ada di sini.”

Mereka semua spontan melirik ke kaca kafe. Sinar matahari siang terasa lebih redup dari sebelumnya, seakan awan gelap lewat begitu saja.

“Ya Allah,” bisik Elisa ngeri.

Davin menutup laptopnya dengan keras, seolah takut gelombang itu akan merambat balik lewat perangkatnya.

“Setiap kali gue coba gangguin pola frekuensinya, respons baliknya selalu real-time. Itu kayak sinyal aktif, mirip jaringan selular—bukan gelombang pasif kayak pantulan radar. Artinya, Umbral selalu tahu kapan gue “nyentuh” sinyal itu, dan otomatis nge-lock posisi gue.”

Tari merinding. “Apa itu artinya… dia sebetulnya ada di luar portalnya? Bukan kayak teori Prof A, bahwa Umbral masih terkurung?”

Davin menghela napas panjang. “Gue nggak tahu, Ri. Parahnya lagi, gue nggak bisa ngapa-ngapain lagi tanpa sepengetahuan dia.”

Elisa menelan ludah. “Apa… dia bisa muncul di sini?”

“Mungkin nggak, Lis,” sahut Rayan datar. “Dia bukan kayak Casper yang bisa nongol di mana-mana seenaknya.”

Davin mengambil earphone di ranselnya. Dia mendengarkan dengan seksama.

Dia makin tegang. “Oh, shit! Dia ngerangkai ulang algoritma gue—dan ngembaliin frekuensi suaranya seperti gelombang aslinya.”

“Apa itu artinya buruk?” desak Sasha dengan nada tak sabaran. “Sikap kamu aneh banget. Kata-kata kamu juga bikin bingung!”

Mereka mendadak terdiam. Semburan kata-kata Sasha seperti bukan sekedar rasa ingin tahu. Tapi juga terdengar menyimpan sisa-sisa kedongkolannya barusan.

“Nah, urusan pribadi mendingan diberesin di kamar tidur—bukan di ruang tamu,” celetuk Rayan seperti asal bunyi.

Sasha melotot kesal padanya. “Kamu ngomong apaan?”

“Kita lagi serius, Ray,” desis Tari sedikit tajam.

“Gue juga serius. Oke, jelasin dengan bahasa sederhana, Prof.”

Davin mengusap wajahnya pelan, lalu menatap layar laptop yang sudah dimatikan.

“Umbral nggak bisa dilawan—apalagi dibunuh,” ujarnya gamblang.

Rayan menatap sahabatnya dengan lemas. “Well, berarti yang ada dalam kandang T-rex palsu? Sementara yang asli udah lepas?”

“Gue harap lo salah.”

Keheningan merayap di meja mereka. Selama beberapa saat tak seorang pun angkat suara. Untuk pertama kalinya, Davin merasa ciut. Bagaimana mungkin mereka mampu menghadapi kekuatan supranatural Umbral yang tak mengenal bentuk pertahanan manusia?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!