"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Langit sore perlahan berubah jingga, menyelimuti atap TK dengan cahaya lembut yang hangat. Burung-burung kecil beterbangan di kejauhan, suaranya bersahut-sahutan menambah kesan damai. Anak-anak berlarian ke arah gerbang sambil tertawa, sebagian dijemput orang tua, sebagian lainnya berjalan bersama teman-teman.
Asterion melangkah santai keluar, tas kecil bergambar naga tersampir di punggungnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi langkahnya langsung terhenti begitu melihat Kei dan Nolan berdiri menunggunya di dekat pagar dengan ekspresi yang—menurut Asterion—terlalu mencurigakan.
Keduanya saling pandang, lalu tersenyum nakal. Kei menyilangkan tangan di dada, sementara Nolan mengusap dagunya dengan gaya detektif gadungan.
“Jadi…” kata Kei membuka percakapan, nadanya penuh sindiran.
Nolan menimpali dengan nada dramatis, “Apa yang Soojin bicarakan denganmu, hm? Kelihatannya kau sangat senang bermain berdua dengannya?”
Asterion terperangah sejenak, kemudian menghela napas panjang. “Kalian ini… sebagai teman kita harus saling membantu, bukan? Lagipula Soojin tidak seburuk yang kalian pikirkan. Dia hanya… butuh teman.”
Belum sempat Nolan bereaksi, suara ketus terdengar dari belakang.
“Sepertinya kau mulai nyaman bermain dengannya… sampai membelanya segala.”
Asterion menoleh. Mira berdiri dengan wajah masam, pipinya menggembung seakan menahan sesuatu yang tidak ingin ia akui. Tatapannya menusuk, seolah Asterion baru saja melakukan pengkhianatan besar.
“Kalau begitu,” lanjut Mira dengan nada tinggi, “teruskan saja! Main sama dia terus. Tidak usah main sama kita lagi!”
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menarik tangan Kei dan Nolan.
“Hmph!”
Kei kaget bukan main. “Hei! Kenapa malah bawa-bawa aku juga?”
Nolan mengomel, “Aku bahkan belum mengomentari apa pun, Mira! Lepasin tangan kuuu!”
Namun Mira tidak peduli. Ia menyeret keduanya menjauh, meninggalkan Asterion yang berdiri kaku di tempat. Anak itu hanya bisa tersenyum miris.
“...Ada apa lagi dengannya?” gumam Asterion sambil menggaruk kepala.
Ia melangkah pelan ke arah bangku dekat pohon rindang di sisi pagar TK. Dari saku tasnya, ia mengeluarkan sebuah benda kecil—jepit rambut berbentuk wortel. Senyumnya melembut saat menatapnya.
“Itu dari Soojin…,” katanya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Balasan karena aku memberinya yogurt waktu itu.”
Pada saat bermain balok Soojin tiba-tiba memberikan jepit rambut itu dengan wajah memerah dan berkata pelan, "Ini...buat mu.."
Asterion menatap jepit itu cukup lama. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan, sesuatu yang berbeda dari sekadar benda kecil. Ia tersenyum tipis, menyelipkan jepit itu ke dalam saku.
Tiba-tiba, suara riang memecah lamunannya.
“Tuan Asterion!”
Asterion menoleh refleks. Nebula berlari cepat ke arahnya, wajahnya berseri-seri seperti matahari sore.
Nebula menghentikan langkah tepat di depannya, lalu dengan bangga mengeluarkan sebuah kotak besar dari belakang punggungnya.
“Tugas yang Anda berikan… sudah beres!” katanya penuh semangat.
Kotak itu diletakkan di bangku. Asterion membuka tutupnya, dan matanya langsung melotot.
“Eh?!! Ini… sekotak yogurt?!”
Nebula mengangguk mantap. “Benar, Tuan.”
Asterion menatapnya tak percaya. “Bagaimana kau mendapatkan ini? Kau kan… tidak punya uang? Jangan-jangan… jangan-jangan kau membuat keributan lagi?!”
Nebula meletakkan tangannya di dada dengan ekspresi serius. “Mana ada, Tuan. Saya tak mungkin menodai kehormatan Anda dengan cara itu.”
Asterion menyipitkan mata. “Jujur.”
Nebula terdiam sejenak. Lalu narasinya berpindah…
POV Nebula
Awalnya, ia memang masuk ke toko. Ia sudah memilih yogurt, menumpuknya hingga memenuhi pelukan. Tapi saat sampai di kasir… barulah ia menyadari sesuatu.
“Aku… tidak punya uang…” gumamnya pelan.
Kasir menatapnya aneh. Nebula segera meletakkan yogurt itu kembali ke rak.
Tidak. Ia tidak ingin membuat keributan. Ia tidak ingin mengecewakan Asterion.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti.
“…Tunggu dulu.”
Ia menatap tangannya.
“Kenapa aku harus mengikuti hukum manusia? Aku bukan manusia. Aku Nebula.”
Senyum tipis terukir di wajahnya.
Dalam sekejap tubuhnya menjadi tembus pandang, melebur dengan udara. Ia melangkah ringan, menembus dinding toko tanpa suara.
Di dalam gudang, tumpukan kardus berisi yogurt memenuhi ruangan. Cahaya lampu temaram memantul di permukaan plastik pembungkus.
“Ditemukan.”
Nebula membuka telapak tangannya. Satu per satu kardus yogurt itu lenyap, tersedot masuk ke dalam ruang penyimpan pribadinya. Tanpa jejak. Tanpa suara.
Ketika semua selesai, ia berdiri tegak, puas.
“Perintah mutlak Tuan Asterion telah terpenuhi.”
Dengan langkah ringan, ia keluar dari dinding lagi, kembali ke jalanan tanpa seorang pun menyadari.
Kembali ke Asterion
Asterion mendengar cerita itu sambil menutup wajah dengan tangan. “...Tak kusangka kau jenius juga, Nebula. Tapi tetap saja… ini namanya mencuri.”
Nebula mengangkat bahu santai. “Saya tidak melihatnya begitu, Tuan. Lagipula, perintah Anda mutlak.”
Asterion menghela napas, lalu tertawa kecil. “Kau memang bikin pusing.”
Ia meraih satu botol yogurt dari kotak. Baru saja hendak membukanya, matanya terpaku pada sebuah pemandangan di seberang jalan.
Sebuah mobil mewah berhenti. Dari pintunya, seorang pelayan turun, lalu membuka pintu belakang. Han Soojin diam sejenak.
Tapi kali ini… tidak ada wajah dingin penuh gengsi. Tidak ada tatapan menusuk yang biasa. Yang terlihat justru pandangan kosong, seolah jiwanya tidak berada di tubuh itu.
Pelayan membungkuk sopan. “Nona Soojin, Tuan Muda ingin bertemu.”
Soojin tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong, lalu melangkah masuk ke dalam mobil lagi tanpa sepatah kata pun. Pintu menutup pelan, dan mobil melaju pergi.
Asterion terpaku di tempat.
“…Soojin… punya kakak?”
Ia memiringkan kepala, matanya penuh keraguan. Wajah Soojin barusan… sama sekali berbeda dari biasanya. Bukan dingin, bukan judes, bukan penuh gengsi. Tapi kosong. Sepi.
Ada rasa tak nyaman menyelinap di hati Asterion. Namun ia segera menggeleng.
“Ah, lupakan. Tidak baik ikut campur urusan keluarga. Lagipula… memangnya aku siapa?”
Ia meneguk yogurt yang baru dibuka, mencoba mengalihkan pikirannya. Rasa manis-asam itu memenuhi mulut, sedikit mengurangi kegelisahan di dadanya.