NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 16

Malam di Pondok Nurul Falah semakin pekat, meski cahaya bulan purnama menggantung tinggi di langit. Angin membawa suara gesekan dedaunan, diselingi suara jangkrik yang bersahut-sahutan dari arah sawah. Dari kejauhan, gemericik sungai kecil terdengar samar, seakan jadi pengingat bahwa pondok ini berdiri di tengah kesunyian alam yang damai. Tapi di dalam hati sebagian santri, kedamaian itu belum benar-benar pulih.

Dilara duduk di atas ranjang tipisnya, menutup buku harian yang baru saja ia isi dengan untaian doa dan keluh kesah. Ia menatap sekeliling kamar yang tenang, hanya ada suara napas Salsa dan Dewi yang sudah terlelap. Tapi Dilara masih belum bisa tidur. Ada sesuatu yang terus berputar di kepalanya—tatapan Wulan tadi sore, dingin dan penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.

"Kenapa aku masih takut? Bukankah kebenaran sudah terbuka? Bukankah Allah sudah menolongku?" bisik Dilara dalam hati. Tapi bayangan malam kain berdarah itu masih menghantuinya. Rasa was-was menempel seperti bayangan yang enggan pergi, membuatnya sulit benar-benar tenang.

Di sisi lain pondok, di kamar yang lebih gelap, Wulan menutup catatan kecil yang baru saja ia isi. Nama-nama santri tertera di situ dengan tanda-tanda tertentu. Ada garis, ada lingkaran, ada tanda seru di samping nama Dilara. Bibirnya tersungging tipis, tapi bukan senyum bahagia—melainkan senyum getir yang menyimpan kegetiran.

"Kalau semua orang sudah memilih untuk menjauhi aku… kenapa aku harus diam saja? Mereka pikir aku akan menyerah? Tidak… aku akan membuat Dilara jatuh lagi. Kalau aku jatuh, dia juga harus ikut."

Namun tak lama setelah itu, hatinya bergetar. Ia ingat tatapan gus Zizan sore tadi, begitu tajam seakan bisa menembus pikirannya. Ia juga tahu Ummi Latifah kini memberi perhatian khusus padanya. Setiap kesalahan kecil bisa menjadi bumerang besar. Rasa takut dan dendam bercampur, membuat dadanya sesak.

Wulan memeluk lututnya, air mata menetes diam-diam. "Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku nggak bisa kembali seperti dulu? Apa salahku sampai aku nggak bisa berhenti?" bisiknya lirih.

Pagi berikutnya, suasana pondok kembali dengan ritme yang biasa. Suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari masjid bergema, para santri bergantian mengaji dengan suara yang masih serak setelah bangun tidur. Udara pagi membawa aroma rumput basah, bercampur wangi kayu dari dapur pondok yang sudah menyiapkan sarapan.

Dilara duduk di serambi, mushaf terbuka di depannya. Ia mencoba fokus, tapi matanya berkali-kali mengarah ke barisan santri yang baru keluar dari masjid. Di antara wajah-wajah itu, ada Wulan—berjalan dengan tatapan kosong, seperti tak peduli dengan sekitarnya. Tidak ada lagi santri yang mendekat atau menyapanya. Bahkan Malika dan Siska, yang biasanya mengikuti di belakang, kini lebih memilih bergabung dengan kelompok lain.

Dilara menelan ludah. Ada rasa kasihan yang samar di hatinya. Tapi rasa takut lebih besar, apalagi setiap kali ia teringat catatan yang mungkin masih disembunyikan Wulan.

Salsa datang membawa dua gelas teh hangat. “Lar, jangan terlalu memperhatikan dia. Kalau kamu terus-terusan lihat, kamu bakal capek sendiri.”

Dilara tersenyum tipis. “Aku cuma… bingung, Sal. Kenapa dia nggak berhenti? Kenapa dia masih kelihatan… menyimpan sesuatu.”

Salsa duduk di sampingnya, menepuk bahunya. “Ada orang yang butuh waktu lama untuk berubah. Ada juga yang mungkin nggak mau berubah. Kita nggak bisa kendaliin hatinya, Lar. Yang bisa kita kendaliin cuma hati kita sendiri.”

Kata-kata itu menenangkan, tapi hanya sebentar. Karena siang harinya, saat mereka sedang membersihkan aula, Dilara menemukan secarik kertas terlipat di bawah sajadah. Dengan hati-hati, ia membuka lipatan itu. Tulisan tangan yang ia kenal jelas terbaca:

“Kebenaran tidak selalu milikmu. Waspadalah, karena bayangan selalu mengikuti cahaya.”

Dilara gemetar. Ia tahu tulisan itu milik Wulan. Ia segera meremas kertas itu, menyembunyikannya di sakunya. Nafasnya terengah, dan Salsa yang melihat wajahnya pucat langsung menghampiri.

“Lar, kenapa? Kamu kenapa pucat begitu?”

Dilara hanya menggeleng. “Nggak… nggak apa-apa.” Tapi hatinya bergetar hebat.

Sementara itu, Rani menjalani hari-harinya dengan penuh penyesalan. Ia lebih sering terlihat di dapur membantu Bik Sumi, atau membersihkan halaman tanpa disuruh. Santri lain masih sering berbisik ketika melihatnya, tapi ia mencoba bertahan.

Suatu sore, ketika Rani sedang menyapu dedaunan di halaman belakang, Dewi menghampirinya.

“Ran, boleh aku bilang sesuatu?”

Rani menoleh, wajahnya berkeringat dan rambutnya berantakan, tapi ia tetap menunduk sopan. “Apa, Dewi?”

“Aku tahu… kamu sudah minta maaf sama Dilara. Aku lihat sendiri. Dan aku juga tahu kamu sungguh-sungguh mau berubah. Tapi kamu harus kuat, Ran. Jangan biarin omongan orang bikin kamu berhenti.”

Rani menelan ludah, matanya berkaca-kaca. “Aku capek, Dewi. Kadang aku ngerasa… aku nggak pantas ada di sini lagi. Semua orang udah terlanjur lihat aku sebagai pengkhianat.”

Dewi menggeleng pelan. “Kalau kamu menyerah sekarang, berarti kamu cuma buktiin omongan mereka benar. Tapi kalau kamu terus berusaha, lama-lama mereka bakal lihat. Waktu yang bakal nunjukin.”

Ucapan itu menyalakan sedikit cahaya di hati Rani. Ia mengusap matanya, lalu mengangguk. “Terima kasih, Dewi. Aku… aku bakal coba terus. Aku nggak mau gagal lagi.”

Malam itu, pondok kembali dipenuhi suara angin dan gemericik hujan ringan yang turun tiba-tiba. Dilara duduk di kamar, menatap kertas ancaman dari Wulan. Ia bimbang, apakah harus melapor pada Ummi Latifah atau menyimpannya sendiri.

Salsa menatap kertas itu setelah dipaksa Dilara untuk menunjukkannya. “Lar, ini jelas-jelas ancaman. Kamu harus kasih tahu Ummi.”

Dilara menggeleng. “Kalau aku kasih tahu, Wulan bisa makin marah. Dia bisa makin nekat.”

“Kalau kamu diam, dia bisa makin berani. Kamu lupa apa yang sudah dia lakuin dulu? Kalau kamu nggak ngomong, kita semua bisa jadi korban lagi, Lar.”

Hati Dilara berperang. Ia tidak ingin memperkeruh suasana pondok yang baru saja tenang, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan firasat buruknya.

Akhirnya, ia menulis di buku hariannya: “Ya Allah, kalau aku harus kuat, kuatkanlah aku. Kalau aku harus bicara, tuntunlah lidahku. Jangan biarkan aku lagi-lagi terjatuh.”

Di kamar lain, Wulan menatap kosong ke arah jendela. Catatannya tergeletak di meja kecil. Ia menulis lagi:

“Satu demi satu, aku akan buat mereka ragu. Kalau mereka ragu, Dilara akan jatuh. Kalau Dilara jatuh, aku menang.”

Namun setelah menulis itu, tangannya gemetar. Ia memeluk dirinya sendiri, menahan rasa sepi yang tiba-tiba begitu menusuk. Tidak ada lagi teman, tidak ada lagi tawa. Yang ada hanya dirinya, dendamnya, dan rasa bersalah yang makin lama makin berat.

Air matanya jatuh, membasahi catatan itu. Tapi Wulan buru-buru mengusapnya. “Aku nggak boleh lemah. Aku nggak boleh kalah. Kalau aku berhenti sekarang, aku nggak punya apa-apa lagi.”

Suara adzan isya berkumandang dari masjid, membuat hatinya bergetar. Tapi ia hanya menutup telinga dengan bantal.

Hari-hari berikutnya, suasana pondok kembali tegang. Ada beberapa kejadian kecil yang membuat santri resah: mushaf yang tiba-tiba berpindah tempat, sandal hilang dari serambi, hingga pintu kamar terkunci dari luar ketika penghuninya masih di dalam. Tidak ada bukti siapa pelakunya, tapi sebagian besar santri mulai melirik ke arah Wulan.

Ummi Latifah akhirnya mengumpulkan semua santri di aula. Wajahnya tegas, sorot matanya penuh kewibawaan.

“Anak-anakku, pondok ini bukan tempat untuk menyimpan kebencian. Kalau ada yang masih bermain-main dengan hati dan kepercayaan orang lain, berhentilah sekarang juga. Allah Maha Melihat. Jangan sampai kita menjadi sebab orang lain terluka.”

Ucapan itu membuat semua santri terdiam. Dilara menunduk, Rani menggenggam tangannya erat-erat, dan Wulan hanya menatap kosong ke arah lantai.

Namun di dalam hatinya, Wulan berbisik, “Aku tidak akan berhenti. Bukan sekarang.”

Malam itu, Dilara terbangun oleh suara langkah di lorong. Ia mengintip lewat celah pintu, dan benar—Wulan berjalan tergesa dengan membawa sesuatu di tangannya. Hatinya berdebar keras.

“Sal… bangun, Sal,” bisiknya sambil mengguncang bahu Salsa.

Salsa terbangun setengah sadar. “Apa, Lar?”

“Wulan… dia keluar kamar lagi. Aku lihat sendiri.”

Salsa langsung terjaga. “Kita ikutin.”

Mereka berdua pelan-pelan keluar kamar, mengikuti jejak Wulan dari kejauhan. Lorong pondok yang sepi membuat langkah kaki terdengar jelas. Mereka menahan napas setiap kali Wulan menoleh, lalu cepat-cepat bersembunyi di balik tiang atau pintu.

Wulan berjalan menuju gudang—tempat semua kejadian dulu bermula. Ia membuka pintu dengan hati-hati, lalu masuk.

Dilara dan Salsa saling berpandangan, rasa takut bercampur dengan tekad.

“Lar… apa kita berani masuk?” bisik Salsa.

Dilara menggenggam tangannya erat. “Kita harus tahu apa yang dia lakukan.”

Dengan hati-hati, mereka melangkah mendekat. Dari dalam gudang, samar-samar terdengar suara Wulan. Suara bergetar antara marah dan menangis.

“Aku nggak akan kalah… aku nggak akan kalah… Aku yang mestinya ada di posisi Dilara. Gus Zizan hanya untuk aku.”

Dilara merasakan bulu kuduknya meremang. Ia tahu, ini baru permulaan dari badai yang lebih besar.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!