"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Mantu Rahasia
Ayu buru-buru nyamperin Rama, males banget ngedengerin ocehan Sandra lebih lama.
Begitu sampai rumah, Bu Heni langsung lebay cerita ke Pak Sidik dan Yuni soal gimana mereka nemuin Rama.
Yuni ngelirik kakaknya, Ayu, sambil nyengir nyinyir.
Pak Sidik langsung naik pitam. “Main hati, ya? Hari ini kamu bakal dapet pelajaran!”
“Lima puluh juta cuma buat dipukulin?” Rama ngelirik Pak Sidik tajam.
Pak Sidik langsung bengong, kaku kayak patung.
“Eh, Pak, sebenernya nggak ada yang gitu-gitu amat, kok. Sandra itu kan CEO perusahaan gede, mana mungkin dia ngelakuin yang aneh-aneh. Kita anggap nggak terjadi aja, ya.” Bu Heni langsung ubah nada suaranya jadi adem.
“Rama, ganti baju sana, terus ikut aku,” kata Ayu sambil ngedecak kesal.
“Kemana emangnya?”
“Udah, ganti dulu aja,” kata Ayu, nada suaranya nggak bisa ditawar.
“Ya udah, ya udah.”
Rama pun naik ke atas buat ganti baju. Nggak lama kemudian, dia sama Ayu udah cabut dari rumah bareng.
Mobil Ayu baru aja kelar dari bengkel, dan dia nyetir ngebut banget sampe Rama jadi agak panik di jok sebelah.
“Ayu, kita mau ke mana?” Rama akhirnya nanya juga, penasaran campur deg-degan.
“Nanti juga kamu tahu,” jawab Ayu datar, sama sekali nggak nyebut-nyebut soal Sandra lagi.
Dua puluh menit kemudian, mobil berhenti. Rama baru ngeh mereka lagi ada di Vila Grand rumah keluarga besar Ayu. Di sana tinggal Kakeknya sama Paman Kedua, Pak Sodik, bareng keluarganya.
“Lho, kita ke sini ngapain?”
Rama keliatan bingung.
“Katanya kamu mau nengokin Kakek? Atau sekarang udah nggak mau? Kalau nggak, ya udah, kita balik aja.”
“Mau, kok.”
“Kalau gitu, ikut aja.”
Ayu jalan duluan, dan Rama langsung nyusul dari belakang.
Mereka masuk ke vila itu, bangunannya gaya klasik dan elegan, kelihatan banget ini rumah leluhur keluarga besar Ayu.
“Paman!” Ayu ngeliat seseorang dan langsung nyamperin dengan ramah.
“Oh, Ayu, tumben ke sini?” Paman Sodik ngeliat Ayu sebentar, nadanya datar banget sebelum akhirnya diem.
Ayu bisa nebak, emang begitu biasanya sikap Pamannya.
“Paman, ini Rama. Masih inget, nggak?”
“Kayaknya nggak. Kalian masih belum cerai juga?” Paman Sodik pasang muka kaget pura-pura.
Ayu langsung kehilangan kata-kata, takut Rama malah keseret masalah sama pamannya.
Dia buru-buru ganti topik, “Paman, aku ngajak Rama nengok Kakek.”
“Kakekmu udah koma setengah tahun, mau nengok apaan? Mending pulang aja sana.”
Pak Sodik ngibasin tangannya, jelas-jelas nggak pengen ngurusin mereka.
Ayu mengernyit. “Paman, emang salah kalau aku mau nengokin Kakek?”
“Ya suka-suka kamu aja.”
Pak Sodik langsung muter badan dan pergi gitu aja, sikapnya bikin Rama agak kaget.
“Kayaknya hubungan keluarga kalian nggak terlalu akrab, ya?” Rama berkomentar pelan.
Ayu mendesah, matanya melirik ke samping. “Harusnya nggak usah kamu yang bilang,” jawabnya sambil senyum getir. “Sejak Ayah ngajak kami keluar dari rumah ini karena capek terus-terusan ditekan Paman, yang sekarang ngatur semua urusan keuangan keluarga. Kakek jadi koma, dan dia makin berkuasa. Dia nggak pernah setuju kalau kami datang ke sini lagi. Mungkin takut kami ambil kembali ‘hak waris’ lama.”
“Lupakan aja. Yuk, kita ketemu Kakek dulu,” ujar Rama pelan.
“Iya…”
Ayu pun mengajak Rama ke salah satu ruangan paling pojok di vila itu.
Begitu masuk, ruangan itu langsung terasa sepi dan muram. Seorang pria tua terbaring lemah di ranjang, jelas sedang koma. Nggak ada satu pun perawat di sana, semuanya sunyi.
Ayu jalan mendekat pelan, matanya berkaca-kaca.
Rama ikut duduk di sebelah ranjang, diam sebentar, lalu berkata, “Ayu, mending kamu keluar dulu sebentar, jalan-jalan. Biar aku yang periksa keadaan Kakek.”
Ayu menoleh, heran. “Sejak kapan kamu bisa hal beginian?” tanyanya tajam. “Aku ajak kamu ke sini bukan buat jadi dokter-dokteran, tapi buat kamu jujur soal hubunganmu sama Sandra!”
“Kita cuma temenan,” jawab Rama datar.
“Kalau gitu, janji. Jangan ketemu dia lagi,” kata Ayu, nadanya mulai keras.
Rama menghela napas, lalu berkata, “Kamu keluar dulu, ya. Kita omongin nanti.”
Ayu menatap tajam, lalu cemberut. “Terserah. Tapi kamu pikirin baik-baik kata-kataku tadi.”
Ia pun berbalik dan keluar dari ruangan sambil menutup pintu pelan.
Rama lalu duduk dan menggenggam tangan Kakek tua itu. Ia mulai memeriksa perlahan, menekankan jarinya pada titik-titik nadi, lalu menutup matanya sebentar.
Di saat yang sama, seberkas cahaya samar muncul di matanya. Dunia di sekitarnya seperti melambat, dan tubuh lelaki tua itu terlihat jelas seperti peta setiap kerusakan dan masalah di organ tubuhnya tampak nyata di benaknya.
Beberapa menit berlalu. Rama mulai mengerutkan dahi.
Kondisi Kakek memang serius. Tubuhnya penuh penyakit jantungnya lemah, paru-parunya menua, dan organ lain pun banyak yang mulai rusak. Tapi yang paling parah, ternyata ada gumpalan darah kecil di otaknya yang menekan saraf utama. Itu yang bikin Kakek nggak sadarkan diri sampai sekarang.
Rama bisa paham kenapa keluarga ini nggak berani bawa Kakek ke rumah sakit. Operasi di usia segitu risikonya besar banget, bisa-bisa nggak selamat. Makanya mereka cuma bisa rawat dia di rumah pakai bantuan dokter pribadi.
Tapi… dalam pandangan Rama, semua belum terlambat.
Ia sekarang punya ilmu pengobatan yang jauh melampaui dokter biasa. Kalau dia mempersiapkan semuanya dengan benar, masih ada peluang untuk nyelametin Kakek.
Setelah menimbang-nimbang, Rama berdiri, buka pintu, lalu memanggil Ayu yang masih nunggu di luar.
“Ayu,” katanya pelan, “Aku mau tinggal di sini sebentar. Kamu balik aja duluan.”
“Kenapa?” Ayu memandang Rama bingung.
“Aku cuma pengen nyoba… siapa tahu aku bisa bantu bangunin Kakek. Ada banyak hal yang pengen aku tanya langsung ke beliau,” kata Rama pelan.
“Enggak.” Ayu langsung geleng kepala. “Rama, ini bukan main-main. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Kakek, keluarga bisa kacau. Gimana coba kita ngejelasinnya?”
“Aku janji, aku nggak bakal bertindak sembarangan. Percayalah sama aku kali ini,” ucap Rama, serius.
“Enggak.” Ayu tetap kukuh. Mukanya jelas-jelas nggak setuju.
Rama cuma bisa senyum tipis, lalu berkata, “Aku juga nggak bakal jalan sendiri. Aku bakal minta bantuan guruku — dia orang yang sangat ahli, tapi aku nggak bisa bilang namanya.”
“Beneran?” Ayu mulai ragu.
“Kalau kamu masih nggak percaya, sini aku cek nadimu sekarang. Kalau tebakan aku bener, kamu percaya, ya?”
“…Oke, ayo coba.”
Ayu mengulurkan tangannya.
Rama memegang pergelangan tangannya sebentar. Nggak lama kemudian, dia lepasin dan berkata pelan, “Tadi malam kamu sakit perut, dan sekarang pun kamu lagi nahan pengen ke kamar mandi, kan?”
Ayu langsung bengong. “Lah….”
Wajahnya merah padam. “Kok kamu tahu sih?!”
Rama nyengir, “Udah tenang aja. Sekarang kamu balik dulu, serahin semua ini ke aku. Oh ya, kalau ketemu Paman, bilang aja aku bakal nemenin Kakek. Tapi jangan sebut-sebut soal ‘nyelametin’ dia, nanti malah ribet.”
Ayu masih kelihatan ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Ya udah… tapi kalau ada apa-apa, langsung hubungin aku.”
“Iya, iya. Santai aja.”
Begitu Ayu pergi, Rama juga keluar dari kamar Kakek. Dia butuh waktu buat persiapan.
Karena untuk bantu Kakek bangun dari koma, dia harus melatih ulang teknik pengobatan dari warisan medis yang dia pelajari.
Penyakit Kakek butuh teknik khusus: Totok di Titik Akupuntur - teknik langka yang bisa membantu menghancurkan gumpalan darah di otak tanpa operasi.
Tapi belum sempat Rama menjauh, dia melihat Pak Sodik datang bersama beberapa orang, wajah mereka nggak bersahabat.
“Paman,” sapa Rama sopan.
“Siapa yang kau sebut Paman? Cepat keluar dari Vila ini!” bentak Pak Sodik dingin.
“Paman, aku cuma pengen tinggal di sini beberapa hari buat jagain Kakek,” jawab Rama tenang.
“Emangnya Keluarga Ningrum udah kehabisan orang? Sampai-sampai perlu orang luar buat jagain Kakek?” Pak Sodik menyeringai, nadanya penuh ejekan. “Kalian! Usir dia sekarang juga!”
Begitu Pak Sodik memberi perintah, beberapa pemuda langsung maju mendekati Rama dengan wajah galak.