Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Sayang beribu-ribu sayang, rencana berlibur ke Bali―sesuai dengan kesepakatan mereka―ternyata tak mendapatkan izin dari Romi Ekadanta.
Daisy dilarang bepergian ke luar kota. Dan, kalau pun terpaksa bepergian keluar harus ada yang menemani. Bukan Sofie atau Gendis, melainkan Rolan―yang digadang-gadang oleh Romi akan menjadi calon menantu.
Mobil yang dikemudikan Rolan berhenti di depan pagar rumah Daisy.
"Besok kita nonton," kata Rolan.
Daisy melepas sabuk pengaman. "Hmp," sahutnya ringkas. Lalu, melompat turun dari mobil.
Mobil yang tadi membawa Daisy dari restoran pasta, kini melaju pergi dan menghilang dari pandangannya. Napasnya mengembus lega lepas dari Rolan yang sudah membelenggu kebebasannya. Kebebasannya akan semakin terbelenggu saat kakinya memasuki pagar rumah.
Pak Kus, satpam rumah, membukakan pintu pagar yang setinggi dua meter.
Kaki Daisy bergeming di tempat. Taksi kosong melintas di depannya. Entah apa yang ada dipikirannya.
"Non Daisy." Pak Kus memanggil Daisy yang tampak melamun.
Lagi, Daisy seperti sedang memikirkan sesuatu saat taksi kosong lainnya―melintasi jalanan depan rumahnya. Lebih tepatnya, sedang merencanakan sesuatu.
"Non Daisy nggak masuk?" Pak Kus masih memanggil.
Sebuah taksi kosong dari kejauhan tengah menuju ke arahnya. Ketika taksi itu hampir mendekat, sebelah tangan Daisy melambai menyetop taksi itu.
'Non Daisy?"
"Dalam sekali gerakan cepat, Daisy membuka pintu mobil―padahal taksi belum berhenti dengan sempurna―dan melompat naik ke taksi.
"Jalan saja, Pak!" buru Daisy pada pak sopir.
"Non Daisy!" Pak Kus mengejar di belakang.
Daisy menurunkan kaca jendela mobil, kepalanya terjulur keluar sambil berseru nyaring pada Pak Kus, "Bilang ke papa, aku mau liburan. Jangan cari aku! Daaah."
Daisy memasukkan kepala ke mobil. Bersandar pada punggung jok mobil dengan ulasan senyum lega. Lalu, ia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari tas tangan dan mematikan seketika. Ia tak mau keberadaannya dilacak. Yah, sepertinya saat ini ia sedang melakukan pemberontakan―kabur dari rumah.
Lalu, ke mana tujuannya sekarang?
Tak ada tempat untuk melarikan diri. Namun, ada satu hal yang sangat ingin dilakukannya, yaitu: pergi menemui Singgih. Entah mengapa ia begitu merindukan laki-laki itu. Ia ingin berlari menuju apartemennya dan segera menemui Singgih. Rasanya... Singgih tak mungkin berada di sana setelah ia memecatnya sepekan lalu.
Daisy pun urung menuju ke apartemennya, karena papa pasti akan sangat mudah menemukannya. Oh, ia tak ingin cepat ditemukan. Pergi ke tempat Gendis pun tak memungkinkan. Karena mamanya Gendis berteman baik dengan mamanya. Lagi pula Gendis bukan tipe yang mau berbohong―apalagi di hadapan orang tua. Tempat terakhir yang bisa dituju adalah tempat Sofie. Yaah, walau pada akhirnya akan ketahuan juga.
Tak ada salahnya menyambangi tempat Sofie. Karena hanya tempat Sofie yang bisa didatanginya sekarang.
Setibanya di depan pintu unit apartemen Sofie, jari Daisy ragu menekan kode akses pintu. Mereka berbagi kode akses agar tak perlu lagi menekan bel layaknya tamu. Daisy takut kalau-kalau Sofie membawa teman laki-laki menginap dan lebih amannya ia menekan bel saja.
Senyum Daisy langsung memasang kala pintu itu terbuka dan sosok Sofie yang tengah bermasker wajah muncul.
"Boleh nginap di sini nggak?"
"Tentu aja," sahut Sofie dengan wajah kaku.
Daisy melangkah masuk. Tubuhnya langsung mengempas di sofa ruang tengah.
"Gue cuci muka dulu." Sofie tampak kesusahan bicara dengan wajah bermasker.
Sementara, Sofie mencuci muka, Daisy memejam mata sejenak sembari melepas napas kebebasan. Tak peduli berapa lama ia bisa bertahan tanpa tujuan. Sebisa mungkin jangan sampai tertangkap. Jika ia tertangkap, maka dipastikan ia akan langsung dinikahkan dengan Rolan. Mana sudi ia menghabiskan waktunya bersama laki-laki penipu itu!
"Rolan ada di bawah?" Sofie duduk di kursi gantung yang bersebelahan dengan sofa yang sedang ditiduri Daisy.
"Nggak ada."
"Kok bisa ke sini?"
"Naik taksi."
"Bukan itu maksud gue." Sofie menggeram gemas. "Lo kan, nggak boleh ke mana-mana tanpa didampingi Rolan."
"Kabur."
Tercekat Sofie. "Apa yang terjadi sama sahabat-sahabat gue, nih? Yang satu batalin pernikahannya. Yang satu kabur dari rumah. Jelas ini bukan kalian banget. Kalian melakukan pemberontakan massal, ya?"
"Mungkin karena kita terlalu lelah." Daisy beranjak bangun. "Liburan, yuk? Ke mana aja. Ke ujung dunia juga kujabanin."
"Gila," umpat Sofie. Lalu ia mengamati Daisy dengan prihatin. Masalah yang dihadapi Daisy sekarang tampaknya tak sebatas pada kabur karena perjodohan dengan Rolan. Tampaknya lebih dari sekadar itu.
*
Sofie terbangun kaget saat tahu-tahu sebuah tangan melingkari dadanya, dan mendekapnya erat.
"Dai." Sofie coba menyingkirkan lengan Daisy yang membelenggu dirinya.
"Mas Singgiiiiiih..." igau Daisy, makin mendekap erat Sofie.
"Ampuuun, deh." Sofie merinding mendengar igauan Daisy yang memanggil nama pengawalnya itu dengan penuh manja. "Ini anak malah mimpi porno. Dai, bangun!"
"Bentar lagi, ya..." ucap Daisy tersipu malu-malu.
Sofie menjerit histeris di antara geli yang membuat sekujur tubuhnya merinding. "Daisy!" ia melonjak bangun.
Teriakan Sofie tersebut cukup membangunkan Daisy. Seketika kedua mata Daisy membuka lebar. Mimpinya barusan―apa pun itu tentang Mas Singgih―buyar sudah.
"Sofie!" Daisy memukul lengan Sofie kesal. "Apaan, sih? Orang lagi enak-enakan tidur."
"Enak, ya?" Sofie mengembangkan senyum jenaka. "Mimpi apaan tadi sama Mas Singgih?"
Tercekat Daisy. "Si―siapa yang mimpiin Mas Singgih? Ngarang, nih." Mendadak mukanya bersemu merah.
"Udahlah, Dai." Sofie mengibaskan sebelah tangan. "Lo nggak bisa bohong lagi. Fix banget. Lo udah jatuh cinta sama Mas Singgih."
Terdiam Daisy. Menyangkal pun percuma, karena ia tak pandai berakting dalam menyembunyikan perasaan.
"Huh―" Sofie mendesah pahit. "Gue nggak masalah lo mau suka sama siapa. Tapi masalahnya," jedanya saat melihat raut murung Daisy. "Kenapa harus dia sih, Dai?" justru ia yang terlihat lebih frustrasi.
"Kalau aku bisa membuktikannya nggak bersalah, semuanya akan beres, kan?"
"Nggak semudah itu, Dai. Dia yang nggak bersalah aja dipersalahkan, berarti ada orang yang berkuasa di belakangnya."
Tersentak diam Daisy. "Apa nggak ada jalan?"
"Tauk, Dai." Sofie mengedik kedua bahunya. "Coba kita tanya Gendis. Mungkin dia punya solusinya."
Yaah, setidaknya hanya Gendis di situasi ini yang bisa diharapkan solusinya, walaupun―kemungkinan solusi yang diberikan tak terlalu banyak membantu. Ini sama saja seperti yang punya masalah memberikan solusi untuk orang lain, padahal dirinya sendiri pun butuh solusi juga.
---
"Nekat kamu, Dai." Itulah komentar pertama yang dilontarkan Gendis usai mendengarkan curhatan Daisy, saat menyambangi apartemen Sofie di jam makan siang kantor.
"Lo yang parah," tuding Sofie menyerang balik Gendis.
"Namanya juga hidup. Pasti ada masalah." Gendis mulai terbiasa dengan Sofie yang menyerangnya mengenai batalnya pernikahannya. "Dan kebetulannya kita berdua punya masalah di waktu yang bersamaan. Kita juga nggak mau punya masalah begini. Daisy mungkin lebih mending, karena masalahnya masih berada di lingkungannya. Sedangkan aku?" ia menekap dadanya, seakan mendramatisasi keadaannya. "Semua orang tahu aku batal nikah. Suasana di kantor pun jadi nggak nyaman lagi. Jadi, solusi satu-satunya adalah ayo kita liburan!" senyumnya mengembang.
"Itu sih bukan solusi." Sofie menggigit donat. "Solusi itu jalan keluar."
"Jalan itu selalu ada. Cuma aku lagi nggak bisa mikir. Pikiranku jenuh. Kamu juga gitu kan, Dai?"
Daisy mengangguk setuju. Sebenarnya, daripada disebut dengan jenuh, mungkin saat ini pikirannya sedang buntu.
Ketiga kepala itu lalu menoleh bersamaan ke arah pintu saat bel berbunyi.
"Ada tamu." Gendis mengambil ponsel dari atas meja untuk memeriksa notif chat yang masuk.
"Siapa, ya?" Sofie bertanya pada dirinya sendiri, beranjak berdiri menuju pintu.
Sofie mengintip sebelah mata dari lubang kecil yang berada di tengah pintu. Terperanjat kaget saat melihat papanya Daisy beserta empat orang pengawal yang bertubuh tegap dan besar berdiri di depan unit pintu apartemennya.
"Daaaiii." Sofie melipir kembali ke meja makan, suaranya seakan tercekat di pintu. "Papa lo―" ia menunjuk ke arah pintu masuk.
"Dai, kamu harus ngumpet." Gendis meletakkan ponselnya kembali di atas meja.
"Ngumpet di mana?" panik Sofie. "Aduuh, seandainya aja ada jubah ajaibnya Harry Potter," tandasnya Matanya berkeliaran mencari celah―sekecil apa pun―yang memungkinkan untuk tempat bersembunyi Daisy.
Kepanikan yang dihadapi Gendis dan Sofie malah tak terlihat pada Daisy. Justru Daisy tampak tenang atau kemungkinan juga panik di dalam hati. Berusaha mencari celah bersembunyi atau rencana melarikan diri, lagi.
"Teman-temanku tersayang." Daisy beranjak dari duduk. "Tenang." Ia mengayunkan tangan agar Sofie dan Gendis menenangkan diri.
Sofie dan Gendis berhenti panik.
"Kalian berdua siap-siap dapat undangan pernikahanku, ya." Daisy mengulum senyum hambar seraya berjalan menuju ruang tengah untuk mengambil tas tangannya.
"Lo mau nyerah gitu aja?" Sofie prihatin.
"Ke mana pun aku pergi pasti akan ketahuan." Daisy pasrah pada kenyataan.
"Karena lo sembunyinya kurang jauh. Ke hutan sekalian." Sofie menyarankan dengan ide ngawur.
"Hahaha..." Daisy tertawa kaku. "Jangan hadiahi aku lingerie. Karena udah pasti aku nggak akan memakainya. Ugh. Mana sudi aku memakainya di hadapan dia. Cuih."
"Dai." Gendis menggenggam kedua tangan Daisy. "Kamu bisa bicarain ini baik-baik sama papamu. Selalu ada jalan keluarnya kok."
Daisy menggeleng tak yakin. Tepatnya, tak ada harapan. "Aku akan makasih banget kalau kalian mau mengacaukan pernikahanku. Menculikku? Mungkin."
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨