“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 20
"Mari saya antar pulang, tapi kita singgah dulu di kandang ayam, mau tidak? Kebetulan juga cuaca sedang mendung, takutnya kehujanan ditengah jalan.” Pendi mencoba menyunggingkan senyum manis, tapi dimata Lastri seperti Kuda meringkik.
“Boleh, tapi apa tak merepotkan?” Lastri menurunkan roknya, yang langsung menarik atensi pemuda pincang mata keranjang.
“Kalau merepotkan, mana mungkin saya menawarkan. Sini duduk!” Ia tepuk-tepuk busa jok belakang.
“Maaf ya, Kang. Saya sentuh pundaknya, abisnya rok ini sedikit ketat.” Ia remas kulit bahu dibalik kaos longgar.
“Ti_dak apa-apa, senyamannya Lastri saja.” Pendi terlihat gugup, jantungnya berdegup kencang, bagian bawahnya mulai menegang. Aroma wanita dibelakangnya sangat memabukkan.
Pemuda bertopi loreng bertali di bawah leher itu sangat lambat melajukan motornya, supaya lebih lama berduaan dengan gadis paling cantik yang pernah ia temui.
Lastri tetap bermain sopan, tak mau dicap murahan, demi kelancaran balas dendam nya yang masih panjang. Ia duduk pada ujung tepi, ditengah masih ada tempat kosong, dikarenakan jok motor ini lumayan luas.
Sepanjang perjalanan, mereka tidak bertemu warga maupun pengendara lainnya. Jalanan menuju kandang Ayam juragan Bahri sangatlah sunyi, melewati rumput ilalang menjulang tinggi.
Selama perjalanan, Pendi mencoba membuka obrolan.
“Lebih enak dimana, kehidupan kota atau desa?” Ia menoleh, saat matanya bertemu tatap dengan manik mempesona, langsung saja wajahnya sumringah.
“Sepertinya di desa. Penduduknya ramah-ramah, suka menolong. Namun, aku sedikit gelisah, soalnya ditolak kerja dirumah Nyonya Samini, Kang,” nada suaranya ia buat sendu dengan mimik sedih.
“Jangan cemas, nanti saya coba merayu Tuan Hardi. Dia biasanya mudah iba, kebetulan juga sebentar lagi mau menikah, pasti mereka membutuhkan lebih banyak tenaga, agar acara akbar itu berjalan lancar.”
“Terima kasih. Kakang baik sekali!” Lastri berucap antusias, membuat dada Pendi mengembang bangga.
Mereka pun tiba dibangunan panjang beratap daun rumbia, yang mana halamannya banyak Ayam terkurung didalam songkok.
Tempat itu sepi, hanya ada Lastri dan juga Pendi.
Saat Lastri turun dari motor, langsung saja salah satu Ayam jago berkokok panjang, melengking.
‘Diam!’ tanpa sepengetahuan Pendi yang masih mengelap keringat di wajahnya menggunakan baju. Lastri berkata dalam hati, meminta si Jalu untuk diam.
Titah itu bagaikan mantra, Ayam jago berwarna hitam dengan punggung keemasan, seketika terdiam.
"Sepertinya mereka lapar, saya ambil jagung dan padi dulu di dalam ya. Setelahnya baru memasukkan mereka ke dalam kandang.” Dia melangkah, sedikit menyeret kaki cacatnya.
"Baik, Kang. Ini juga sudah mulai gerimis." Lastri mendongak menatap langit mendung.
Saat Pendi sudah masuk ke dalam gudang. Lastri mendekati salah satu Ayam yang berada di paling ujung, berjongkok menatap hampa pada Jalu, yang dulu sangat disayangi oleh mendiang ayahnya. 'Aku akan membebaskan mu!'
‘Kunti!’ panggilnya dalam hati.
Semilir angin menggesek ilalang sehingga menimbulkan bunyi bergemerisik. Lastri menatap satu titik tepat diantara tumbuhan rumput tajam di samping bangunan rumah berdinding papan. Sosok berambut panjang itu menyeringai, memperlihatkan gigi taringnya.
‘Buat cacat matanya, sama seperti dia menyiksa tuan mu!’ netranya menatap mata bulat hewan berkaki dua yang seakan mengerti, menanggapi dengan kokokan panjang.
Lastri berdiri, berjalan tenang kembali tempat semula, samping motor.
Bertepatan dengan itu Pendi keluar, tangannya membawa dua tempurung kelapa berisi jagung kering dan juga padi.
Niatnya ingin terlihat gagah, malah dia terancam celaka. Begitu yakin membuka songkok Ayam yang dulu dia curi dari kandang rumah mendiang pak Kasman.
Begitu kurungan ayam bambu itu di buka separuh, si Jalu langsung melompat dan bertengger di atas songkok. Kemudian mengepakkan sayap, melompat tinggi menyerang Pendi menggunakan taji yang sudah diraut sedemikian runcing.
Chrash!
Argghh!
Pendi menjerit, mengerang, pipinya terasa perih, darah segar mengalir deras.
“Ayam Setan!” perjaka tua itu kesulitan melihat, melupakan keberadaan gadis yang ingin ia buat terpesona.
Jalu terus berkokok, membusung dada, melebarkan sayap, kembali meloncat. Kali ini hinggap di bahu Pendi yang sempoyongan.
Slash!
Layaknya benda benda tajam menebas sesuatu, seperti itulah bunyi kulit leher tersayat hingga menganga.
Akh!
“Tolong!”
Gerakan Pendi begitu asal-asalan, tangan kanannya membabi buta memukul angin, sebelah lagi menekan kulit leher yang terluka.
“Tolong!”
Saat tak lagi mendengar Ayam jago berkokok, Pendi berhenti melangkah, mencoba melotot agar dapat melihat jelas.
Namun, hal mengerikan terjadi. Jalu melebarkan kaki dan menancapkan taji tajamnya tepat di kedua bola mata Pendi. “Argghh! Mataku!”
Bugh!
Tubuh berbobot hampir 80 kg itu ambruk, dia menggeliat bak Cacing kepanasan. Sela-sela jarinya dipenuhi darah segar.
Lastri tertawa puas, mendekati sosok menggelepar di tanah. “Kau mirip sekali dengan gadis yang dulu merintih, memohon, menangis, sekujur tubuhnya dipenuhi noda tanah. Dia tak ubahnya hewan di penjagalan, diperkosa sampai keguguran.”
Kaki Pendi menendang-nendang, bulu halusnya meremang, meskipun nada suara yang dia dengar ini begitu dingin, datar, tapi dirinya masih dapat mengenali. “Sawi_tri?”
“Ternyata ingatan mu tajam juga ya? Iya, aku wanita malang yang kalian perlakukan kejam. Kini aku telah kembali menuntut balas!” Lastri memijak kemaluan Pendi.
“Argghh! Lepaskan! Tolong lepaskan! Sakit!” Pria laknat itu seperti mengulang kalimat Sawitri dulu kala dia nodai. Pendi mencoba meraih kaki yang memijak burungnya, tetapi belum juga berhasil ….
Si Jalu kembali menyerang, taji tajamnya mencabik-cabik pipi Pendi.
“Kerja bagus Jalu! Sekarang pergilah kau yang jauh, bersembunyi di dalam hutan terlarang!” Sebelah kaki Lastri ikut naik, dia berdiri di benda keramat Pendi yang kini tidak sadarkan diri.
Si Jalu langsung menurut, terbang masuk ke semak-semak dan berlari kencang menuju hutan keramat.
Rimbunan ilalang tak lagi bergerak mengikuti arah angin, satu persatu tumbang seperti diterjang badai.
Kepala berwarna coklat kehitaman, hidung besar, moncong panjang, mulai menampakkan diri, kawanan Babi hutan berbadan besar itu seperti menunggu aba-aba.
Lastri menurunkan kakinya, menendang betis Pendi agar melebar, memijak bagian tulang pergelangan kaki yang bengkok sampai berbunyi ....
Kretek!
“Kini kau tak lagi pengkor. Di neraka nanti, jangan lupa berterima kasih kepadaku yang sudah berjasa meluruskan tulang bengkok mu.” Lastri menatap puas tubuh bagian atas Pendi yang bersimbah darah.
Wanita yang dulu lemah lembut, penuh kasih itu, kini menjelma menjadi Dewi kematian. Dia membungkuk, mengambil semangkuk butiran jagung yang belum sempat dimakan oleh Jalu, lalu menaburkan di sekujur tubuh Pendi.
Kemudian Lastri menoleh, menatap tajam kawanan Babi hutan yang berjumlah lebih dari tujuh ekor.
“Berpesta lah!” Ia menyingkir, menjauhi sosok raga yang masih bernapas, tapi tak berdaya.
Hewan yang memiliki kemampuan berlari cepat, berenang baik, dan mempunyai taring tajam itu, melesat bagaikan anak tombak.
Langsung saja kawanan Babi memporak porandakan tempat tersebut. Songkok-songkok ayam terbalik, dan para Ayam berterbangan rendah, melompat tinggi.
Sebagian binatang berkaki empat itu masuk ke dalam gudang, merobek karung berisi jagung, padi, singkong, menggunakan taring mereka.
Dua ekor Babi berbadan paling besar, mengendus-endus, memakan butiran jagung yang berserak di tanah, sampai tepat berada di belakang kepala dan sisi badan Pendi.
"Ayo lakukan! Patahkan semua tulang belulangnya! Tunggu apalagi? CEPATLAH!!"
"HENTIKAN!!"
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....