Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 28 "Dion, Voni, dan Valeri Bermain ke Apartemen Reta"
Dion, Voni, dan Valeri Bermain ke Apartemen Reta
Pagi itu, matahari sudah menampakkan sinarnya, namun Dion baru saja membuka mata. Udara hangat menyelinap melalui jendela kamarnya, membuatnya sedikit malas untuk bangun. Namun, begitu ia mengingat bahwa hari ini adalah jadwal Reta ke rumah sakit, rasa kantuknya segera sirna. Ia meraih handphone yang tergeletak di meja samping tempat tidur, lalu dengan cepat mencari nama Reta di daftar kontaknya.
Jempolnya menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar beberapa kali, dan tak lama suara lembut dari seberang menyapanya.
“Halo, Ion? Kenapa?” suara Reta terdengar agak heran.
Dion, dengan suara serak khas orang baru bangun, langsung bertanya, “Kamu jadwalnya hari ini jam berapa, Sayang?”
Di seberang, Reta tak bisa menahan senyumnya. “Apakah seperti ini rasanya orang pacaran? Pagi-pagi dipanggil ‘Sayang’ hahaha,” gumamnya sambil tersenyum sendiri, suaranya nyaris tak terdengar.
“Reee?” Dion memanggil lagi, memastikan Reta tidak larut dalam pikirannya sendiri.
Reta yang sempat melamun buru-buru menjawab, “Eh iya, maaf Ion. Nanti aku jadwalnya jam satu.”
“Oke, kalau gitu aku ke sana nanti jam sepuluh pagi. Aman nggak? Pengen ketemu kamu lebih cepat,” ujar Dion, nadanya lembut tapi penuh gombalan.
Reta semakin senang mendengarnya. Di sudut lain, Voni yang kebetulan mendengar percakapan itu hanya bisa membatin, “Astaga, Dion. Kalau kayak gini aku bisa kena penyakit jantung. Nggak baik buat jantung aku, Dion.”
“Bisa aja gombalnya,” kata Reta sambil tersenyum malu-malu.
“Hahahaha, boleh nggak nih?” tanya Dion, masih menunggu jawaban pasti.
“Boleh dong, tapi aku mau kamu bawa Voni dan adik kamu, ya,” pinta Reta dengan nada manja.
Dion tersenyum tipis. “Hemmm, sepertinya kalian sudah akrab, ya?”
“Tentu dong.”
“Oke kalau gitu aku sarapan dulu, ya. Babay, Sayang,” tutup Dion sebelum memutuskan sambungan.
Setelah itu, Dion berjalan ke ruang makan. Hari ini rumah terasa lebih sepi karena mamanya sudah berangkat bekerja lebih pagi dari biasanya. Sambil duduk di kursi, Dion terlintas memikirkan keadaan ekonomi keluarga mereka. Ia merasa tidak ada yang berubah meskipun mamanya sering pulang lebih malam dan berangkat lebih pagi. Apa mungkin karena aku memang nggak boros, jadi nggak kerasa? pikirnya.
Langkah cepat terdengar dari arah dapur. “Hai, Kak Ion. Kamu baru bangun?” suara Valeri terdengar agak kesal.
Dion mengangkat kepalanya. Adiknya itu sudah rapi, rambutnya disisir, dan wajahnya terlihat segar. Padahal baru jam delapan pagi.
Valeri memang bangun sejak jam lima. Ia sempat berolahraga ringan di halaman, membantu bibi menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, lalu mandi. Sekarang, ia baru saja duduk untuk sarapan.
“Ya, kamu juga baru bangun kan, makanya sarapan?” balas Dion santai, belum tahu apa yang sudah dilakukan adiknya sejak subuh.
“Halo, aku tadi bangun cepat untuk olahraga, nyiapin makan, beresin semuanya bareng bibi, dan kamu nggak lihat adik kamu ini sudah mandi?” ujar Valeri panjang lebar.
“Iya, bawel. Maaf, ya, aku baru bangun. Disiplin banget deh adik aku sekarang,” kata Dion sambil tersenyum, mencoba memuji agar adiknya tidak ngomel lagi.
Mereka pun makan bersama. Dion menyendok nasi goreng di piringnya, aromanya wangi dengan sedikit irisan cabai yang memberi rasa pedas. Sambil makan, ia mulai membuka pembicaraan.
“Valeri, kamu mau main-main nggak ke apartemen Reta?” tanya Dion.
Valeri mengangguk sambil mengunyah. “Aku mau aja sih, asalkan Kak Voni juga ikut.”
“Oke, tapi kamu yang ajak Kak Voni, ya. Aku mau mandi,” kata Dion sambil berdiri dari kursinya.
“Okeee!” jawab Valeri semangat.
Dion berjalan ke kamar mandi. Air dingin membuatnya benar-benar segar. Setelah selesai, ia memilih kaos polos berwarna abu-abu dan celana kargo yang nyaman. Ia memasukkan dompet ke saku celana, mengambil kunci mobil, dan keluar dari kamarnya.
Di ruang tamu, Voni dan Valeri sudah duduk menunggu. Voni hanya menatap Dion sambil tersenyum tipis. Ada sesuatu di balik senyum itu—entah rasa penasaran, atau mungkin sedikit cemburu.
“Ayo berangkat,” ajak Dion. Mereka bertiga pun keluar rumah.
Di perjalanan, suasana mobil cukup santai. Sesekali Valeri mengobrol dengan Voni, membicarakan hal-hal kecil, sementara Dion fokus mengemudi. Voni sempat mampir ke sebuah toko buah untuk membeli beberapa buah tangan. “Biar ada oleh-oleh,” katanya singkat.
Tak lama kemudian, mereka sampai di apartemen Reta. Gedung itu menjulang dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya matahari. Mereka masuk melalui lobi, naik lift, dan berhenti di lantai tempat Reta tinggal.
Reta sudah menunggu di pintu. Wajahnya berbinar saat melihat mereka. “Astaga, Voni. Kamu nggak usah repot-repot,” ucapnya sambil menerima buah yang dibawa Voni.
“Nggak repot kok,” jawab Voni santai.
“Makasih ya sudah mau ke sini main-main,” kata Reta dengan nada terharu.
Setelah beberapa menit mengobrol santai, tiba-tiba Valeri bertanya, “Kak Rere sama Kak Dion awalnya kenalan di mana sih? Hal apa yang bikin romantis sampai kalian jadian?”
Pertanyaan itu membuat suasana sedikit tegang. Dion langsung berdeham, memberi tanda halus agar Valeri tidak banyak bertanya. Voni ikut terdiam, jelas terkejut dengan pertanyaan itu. Sementara Reta, meski berusaha tersenyum, terlihat agak tidak nyaman.
Bagi Reta, pertanyaan itu seakan menegaskan kesan bahwa hubungannya dengan Dion hanyalah karena momen manis sesaat, bukan karena perasaan yang tulus. Padahal, kemarin ia sudah mengatakan bahwa mereka pacaran hanya sebagai bagian dari “checklist” kehidupannya—sesuatu yang dilakukan bukan atas dasar cinta.
Iya, memang Dion nggak cinta sama aku. Berharap apa kamu, Re? batin Reta, hatinya terasa berat.