Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Claudia berdiri di sudut bandara dengan koper mewah di samping kakinya. Rambutnya yang tergerai indah sudah sedikit berantakan karena emosi. Berkali-kali ia menekan layar ponselnya, mencoba menghubungi Kenzo. Tapi nihil. Tak ada nada sambung, hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif.
"Kenzo... di mana kamu?" gumam Claudia dengan wajah kesal.
Ia mendesah panjang, lalu membuka aplikasi pesan suara. Jari-jarinya gemetar menahan amarah.
“Kenzo, aku sudah sampai di bandara! Tolong jemput aku, ini sudah setengah jam aku nunggu. Kamu kemana sih? Nomor kamu nggak bisa dihubungi dari tadi! Aku capek, tau nggak?!”
Tak puas, Claudia menambahkan lagi dengan nada yang lebih tajam.
“Atau... jangan bilang kamu lagi sama perempuan itu? Perempuan hamil yang sekarang berhasil merebut perhatianmu! Apa kamu mulai lupa sama aku, Kenzo? Hah?!”
Ia menghapus pesan itu, namun kemudian mengirim ulang dengan versi yang lebih dingin:
“Aku tunggu di pintu kedatangan. Kalau kamu memang masih peduli... datanglah.”
Claudia menegakkan bahunya, memasang kacamata hitam, dan berdiri angkuh di antara kerumunan orang. Tapi di balik kacamata itu, matanya menyimpan luka, cemburu, dan ketakutan yang selama ini ia tutupi dengan topeng kesempurnaan.
“Kalau perempuan itu yang membuatmu berubah, Kenzo….aku akan .melakukan sesuatu yang sangat tidak akan disangka.
Claudia berdiri mematung di sisi koridor kedatangan internasional, hanya ditemani koper Louis Vuitton beroda dan tas jinjing hitam mengkilap. Sinar matahari yang menembus dinding kaca memantulkan bayangannya di lantai marmer, seolah menegaskan sosoknya yang dingin sekaligus anggun.
Di tangannya, ponsel masih mem-flash notifikasi panggilan gagal. Enam kali ia menekan nomor Kenzo—enam kali gagal tersambung. Amarah yang tadi membakar dadanya mulai bergeser; berganti kalkulasi dingin dalam otaknya.
“Marah takkan menyelamatkanku,” bisiknya di dalam hati.
“Aku butuh bayi itu—dan untuk mendapatkannya, aku butuh Kenzo tetap dalam genggamanku.”
Ia menegakkan bahu, merapikan blazer krem yang membalut gaun midi sutra, lalu menyeringai tipis di balik lipstik nude. Rambut pirang keemasannya sudah di-blow rapi oleh stylist hotel tadi subuh—tak ada satu helai pun luput. Ia menekan tombol voice-note, kali ini dengan nada lembut mengambang, jauh berbeda dari pesan panas beberapa menit lalu.
“Ken… ponselmu sepertinya mati. Aku sudah sampai, sayang. Penerbangannya melelahkan sekali. Aku pulang karena kangen kamu. Aku naik taksi saja, ya… sampai nanti di rumah. Love you.”
Ia menekan send, lalu menghapus pesan suaranya yang bernada marah tadi—jejak digital harus bersih. Tak ada yang boleh menodai citra istri setia yang akan “mengandung” pewaris keluarga.
Claudia menarik gagang koper, tumit stiletto mengklik lantai marmer berirama mantap. Kerumunan penjemput yang berdesak menawarkan jasa ojek bandara diabaikannya begitu saja. Ia melangkah menuju antrian taksi resmi yang berjajar rapi di tepi trotoar terminal 3.
Sopir taksi berseragam biru muda membukakan pintu dengan sopan. Aroma pendingin udara yang baru dinyalakan menyambutnya saat ia duduk di kursi belakang.
“Ke mana, Bu?” tanya sopir.
Claudia membuka kacamata hitamnya, menatap pantulan wajah sendiri di kaca depan. “Ke Wiratama Hills Residence, Pak—gerbang selatan. Pelan-pelan saja, ya. Saya mau ganti sepatu di dalam mobil.”
“Baik, Bu.”
Saat taksi melaju keluar area bandara, Claudia merogoh tas, mengeluarkan ponsel kedua—nomor rahasianya yang hanya diketahui segelintir orang.
Ia mengetik pesan ke David:
Claudia: Sudah di Jakarta. Mainkan naskah “hamil dua bulan” begitu media mulai menanyakan jadwal pemotretan. Aku akan istirahat total beberapa bulan ke depan Semuanya harus terlihat alami.
Pesan terkirim, tanda centang biru muncul seketika.
Claudia bersandar, menutup mata. Dalam ingatannya terbayang wajah Liana yang polos—dan bayinya yang tumbuh di rahim gadis itu.
“Liana, simpan baik-baik anakku… anak aku dan kenzo,” gumamnya nyaris tanpa suara.
“Begitu dia lahir, dunia akan percaya dialah keturunan Claudia Wiratama.”
Taksi melewati gerbang tol, deru mesin stabil membawa Claudia mendekat ke kediaman keluarga. Ia menyimpan ponsel, melepaskan stiletto tinggi, menggantinya dengan flat shoes putih—penampilan “calon ibu” harus nyaman, lembut, tak terkesan glamor berlebihan.
Setengah jam kemudian, gerbang selatan Wiratama Hills Residence terlihat. Claudia kembali mengenakan senyum terkendali. Ia merogoh tas, mengambil sebotol vitamin prenatal palsu—prop seperti ini akan memperkuat skenario hamilnya di depan keluarga wiratama.
Sembari taksi melambat, Claudia menegakkan punggung, merapikan helai rambut terakhir yang terlepas, lalu merapalkan naskah manis di kepalanya.
“Kakek ,aku akan memberikan kabar bahagia … saya hamil pewaris wiratama .”
Topeng manis terpasang sempurna.
Game berikutnya siap dimulai—dan Claudia bertekad, kali ini ia akan memenangkan seluruh kekayaan Wiratama, apa pun harga yang harus dibayar.
*
*
*
Pagi itu, suasana di villa begitu tenang. Angin semilir dari taman belakang menyusup lembut melalui celah jendela yang terbuka, membelai wajah Liana yang tertidur pulas di atas sofa panjang. Kepalanya bertumpu di pangkuan Kenzo, tubuh mungilnya terbungkus selimut tipis. Wajahnya yang biasanya pucat karena mual kini tampak lebih tenang, meski tetap menyimpan gurat lelah dari gejala kehamilan yang tak henti-henti menyerangnya.
Kenzo hanya bisa memandangi wanita di pangkuannya dengan tatapan campur aduk. Ada kebingungan, kepasrahan, tapi juga ketulusan yang tak bisa ia tolak. Jari-jarinya secara refleks membelai lembut rambut Liana, sementara pikiran berkecamuk tak karuan.
Sudah beberapa hari ini Liana tak bisa lepas darinya. Setiap kali Kenzo mencoba menjauh, walau hanya ke ruang kerja, Liana akan muntah hebat hingga tubuhnya lemas tak berdaya. Dokter memang bilang itu bisa jadi efek psikologis pada kehamilan tertentu. Tapi sejujurnya, Kenzo tak menyangka akan sampai seperti ini. Seolah-olah tubuh Liana terikat padanya secara naluriah.
Handphone-nya sejak tadi sudah dimatikan. Ia tak ingin diganggu. Ia tahu Claudia sedang pulang dari luar negeri, dan sudah mengirim pesan berkali-kali. Tapi kali ini, ia memilih untuk tidak peduli. Yang penting baginya sekarang hanyalah Liana dan calon anak mereka yang sedang bertumbuh di dalam rahimnya.
Di meja depan sofa, nampan berisi mangkuk sup dan segelas air putih dibiarkan hampir tak tersentuh. Liana hanya mampu makan dua sendok sebelum akhirnya menyerah dan tertidur dalam dekapan Kenzo. Makanan mungkin tak masuk, tapi rasa aman—itulah yang kini paling ia butuhkan.
Kenzo menghela nafas panjang. Ia tahu tak akan mudah menjalani semua ini. Sebuah pernikahan rahasia, kehamilan yang tak direncanakan, dan hubungan rumit dengan Claudia yang belum bisa diselesaikan. Tapi semua itu tak bisa membendung rasa bahagianya ketika menyadari… ia akan menjadi ayah.
“Berjuanglah, sayang...” bisiknya lembut sambil memandangi wajah Liana. “Kita akan melewati ini bersama. Aku janji.”
Tangannya kembali membelai lembut rambut Liana. Ia tidak tahu sampai kapan kondisi ini akan bertahan, tapi satu hal yang ia tahu, untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa tulus berkorban ... dan itu untuk calon anak nya.
masah ga tau dn ga curiga dgn istrinya, keluar masuk luar negri, dgn bebas🤣😅🤭😁😂
kalau yg lain beruntung sih so lihat apakah kamu akan sama yg lain Vika