Mereka sama-sama pendosa, namun Tuhan tampaknya ingin mereka dipertemukan untuk menjalani cinta yang tulus.
Raka dan Kara dipertemukan dalam suatu transaksi intim yang ganjil. Sampai akhirnya keduanya menyadari kalau keduanya bekerja di tempat yang sama.
Kara yang supel, ceria, dan pekerja keras. Berwatak blak-blakan, menghadapi teror dari mantan suaminya yang posesif. Sementara Raka sang Presdir sebenarnya menaruh hati pada Kara namun rintangan yang akan dihadapinya adalah kehilangan orang terpenting di hidupnya. Ia harus memilih antara cintanya, atau keluarganya. Semua keluarganya trauma dengan mantan-mantan istri Raka, sehingga mereka tidak mau lagi ada calon istri yang lain.
Raka dan Kara sama-sama menjalani hidupnya dengan dinamika yang genting. Sampai akhirnya mereka berdua kebingungan. Mengutamakan diri sendiri atau orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Twenty Eight
Puspa Aning, 23 tahun. Ia hanya setahun lebih tua dari Kara karena terlambat masuk sekolah. Sudah pasti karena keterbatasan biaya. Orang Dinsos harus menjemputnya untuk disekolahkan saat Puspa berjualan gorengan di pinggir jalan. Tentu saja setelah di bawah pengawasan Dinsos ia tetap berjualan gorengan, bedanya dia berjualan di lingkungan sekolah.
Puspa adalah cewek galak tahan banting yang sering overthinking. Belakangan ia sudah mulai bisa mengendalikan diri karena berteman dengan Kara dan Eris, terutama sejak Kara yang kaya raya mendadak bangkrut karena seluruh keluarganya meninggal kecelakaan, Puspa mendadak mensyukuri kehidupannya. Karena walau pun terlahir miskin dan generasi sandwich, setidaknya masih banyak tawa di keluarganya dan kedua orang tuanya masih hidup.
Apakah ia capek menghidupi keluarga? Jawabannya, capek tapi ia bangga dengan dirinya sendiri.
Sebagai anak sulung. Dari Usia 5 tahun ia berjualan, apa saja dia jual kecuali kehormatannya. Bikin gorengan, menjahit, keliling kampung, dagang di lampu merah, dagang di pinggir jalan, berkeliling dari rumah ke rumah. Dan adiknya ada 7.
Mereka 8 bersaudara. Bayangkan.
Tentu saja tadinya Puspa mengeluh.
Ia hanya seorang anak yang orang tuanya diberi Titipan OlehNya dalam jumlah banyak.
Di saat ia hampir protes menyalahkan kedua ortunya, muncullah kejadian itu.
Kara yang bangkrut, berhasil bangkit lagi sekuat tenaga.
Dan Puspa pun tersadar.
Kegigihan Kara... +1000000 aura. Anggaplah Aura ini disamakan dengan pahala. Karena Kara berjuang mengatasi cobaan dengan tegar untuk dirinya sendiri.
Bagaimana dengan Puspa?
Selama ini dia marah-marah karena terlahir miskin, apa gunanya?
Ada gunanya kah dia mengeluh?
Yang ada malah segala usahanya terasa seakan beban.
Padahal kalau ia menganggap semua ini kewajiban yang sudah seharusnya, bisa jadi dia sudah mengumpulkan lebih dari sejuta Aura lebih banyak dari Kara karena dia berjuang untuk keluarganya!
Ia jadi tergugah, bahwa manusia bisa jadi kaya, tidak tergantung di keluarga mana kamu dilahirkan. Dan manusia bisa jadi miskin walau pun terlahir di keluarga kaya.
Karena Puspa adalah golongan pertama, jadi dia memiliki solusi : Kerja.
Ia memilih adik-adiknya, mana yang capable untuk difungsikan membantu pekerjaannya, itulah yang akan ia bantu biayai untuk sekolah duluan.
Oke, Fadjri. Si anak kedua , laki-laki yang tampan dan tinggi.
Pulang jualan ia ajari Fadjri pelajaran sekolah, sambil memegang ikat pinggang pinjam tetangga. Kalau pe-ernya Fadjri salah, ia pecut. Kalau nilai Fadjri ada yang merah, ia tonjok.
Fadjri jadi takut sama kakaknya, akhirnya jadi peringkat 1 nasional semata-mata karena tidak ingin terkena bogeman kakaknya. Ia tidak bisa melawan balik takut diviralkan KDRT.
Akhirnya Fadjri dapat beasiswa di Kampus Negeri di Semarang, dia ambil Jurusan Hukum. Sambil kerja jadi OB di Bank. Tiap bulan dia rutin mengirimi keluarganya uang.
Setelah Fadjri, yang Puspa ‘tatar’ berikutnya adalah Arini, adiknya yang ketiga. Tidak begitu cantik, agak gemuk, tapi tenaganya lumayan besar. Anaknya pemalu dan penurut.
Puspa menilai suaranya Arini ini bagus, jadi dia didik baca Qur’an dipersiapkan untuk jadi guru di pesantren. Tajwid salah dikit, kena pecut ikat pinggang. Sampai tetangga akhirnya mengikhlaskan si ikat pinggang jadi Hak Milik Puspa karena udah bocal-bacel bentuknya.
Usahanya tak sia-sia, Arini jadi Guru Pesantren di Jawa Timur. Sudah bisa bantu keluarganya cari uang.
Usaha serupa juga ia lakukan untuk adik-adiknya yang lain.
Setiap hari, dia bilang ke Adik-adiknya ... bukan, bukan ngomong ‘kita bantu bapak-ibu’, bukan. Jelas tidak. Yel-yel kegemarannya adalah “Usaha pangkal Kaya! Jangan mau jadi orang susah melulu!!”
Begitulah.
Adik-adiknya hanya bisa mengangguk.
Kalau ada yang bilang ‘itu kan bukan kewajibanku’.
Ikat pinggang berbicara.
Kalau ada yang bilang ‘Rejeki udah ada yang mengatur’.
Ikat pinggang menggelepak paha.
Ya Rejeki sudah ada yang mengatur, tapi disertai embel-embel : kalau mau dapat rejeki, ya berusaha dong. Nggak semata-mata tidur-tiduran terus duit jatuh dari langit, kesehatan jatuh dari plafon, makanan muncul tiba-tiba dari lantai. Yang manusia lakukan adalah berusaha ‘menjemputnya’. Kalau nggak diambil, rejekinya bisa dipatuk ayam.
Waktu itu ikat pinggang Puspa disembunyikan oleh si anak ke empat.
Masih ada sepatu.
Puspa akhirnya menghukum adiknya yang keempat untuk bikin konten ‘cara membuat martabak dengan 3 bahan saja’.
Lah viral.
Adiknya jadi rajin masak soalnya sekarang udah punya chanel Yutub, anak kecil mahir memasak. Sampai Puspa kredit beli oven biar adiknya bisa bikin kue.
SI adik membalas didikan kakaknya dengan menghadiahi motor.
Puspa pakai motornya untuk... ngojek.
Dan inilah Puspa... dengan Mio-nya.
Jadi ojek online.
Pelanggannya sekarang... adalah Raidan.
Yang tiba-tiba pesanan ojeknya Puspa ambil karena pikirnya ada orderan dekat kantor di jam pulang, kebetulan sekali bukan?
Saat mereka bertemu, Puspa keheranan karena Raidan baru saja keluar dari Lobby gedung Kantor pusat, memakai seragam SMA.
Ya jadilah ia bertanya :
“Lagi main ke kantor ortu dek?" tanya Puspa.
"Lagi Magang aku kak." jawab Raidan.
"Magang? Di sana? Kok bisa masih SMA Magang? Pake Ordal?"
“Iya Kak. Bapak saya kerja di sini.”
“Ha? Bapak kamu kerja di sini? Di Topaz?”
“Iya.”
"Aku juga kerja di Topaz loh.”
“Masa sih Kak?”
“Iya. Di bagian Audit Kantor Cabang.” Puspa menunjukkan name tag nya yang terselip di balik jaket ojeknya.
"Oh, aku kerja di Kantor Pusat di area Direksi di lantai 35.” kata Raidan sambil memicingkan mata membaca id.card Puspa.
“Mana ada anak SMA kerja di bagian Direksi?! Bapakmu yang ordal itu sapa sih?”
“Bapakku namanya Yudhistira Raka. Kenal?”
“Heleh...” dengus Puspa sambil menyerahkan helmnya.
Obrolan di atas itu cerita singkat ya, aslinya pakai acara mikir dulu lama, loading dulu sesaat dan pakai acara buffer segala.
Makanya, pertemuan mereka tidak sampai di situ saja.
**
“Kelamaan lu rebahan di Rumah Sakeeeet! Tepar aja kagak malah ngajakin mabar Mobile Legend! Sakit cinta lu ya!” Puspa berseru sambil membuka pintu kamar Kara dengan kakinya, setengah menendang, sambil meletakkan mie ayam sebungkus di atas pangkuan Kara.
“Njiiirrr, lu emang sahabat sejateeeee!” teriak Kara kesenangan melihat bungkusan warna coklat dengan kuah diplastikin itu.
“Gue mau nanyak.” Puspa tiduran di samping Kara, pinggulnya mendorong-dorong pinggul Kara supaya memberikan space baginya.
“Makan dulu.” Protes Kara
“Sambil makan, pertanyaan urgent.”
“Urgent? Adek lo yang mana lagi yang malakin orang? Di polres mana dia ditangkep?!” mata Kara melotot menatap Puspa dengan khawatir.
Puspa menatap Kara sambil mencibir.
“Lo pernah mikir nggak sih Ra, adek gue sengaja ditangkap biar bisa dibeliin nasi padang sama AKP di sana?” Puspa balik tanya.
“Hah?! Adek lo yang mana yang segila itu?!”
“Ck, ah! Bukan itu yang mau gue tanyain.” Puspa mengibaskan tangannya.
“Jangan-jangan lu yang kayak gitu? Sengaja ditangkep biar bisa makan enak?”
“Ngapain, gue punya lo, punya Eris, Punya Bu Gita. Mau makan ayam goreng tinggal minta lo, kepingin makan kembang tinggal minta Eris. Gampang.” Puspa menoyor dahi Kara. “Cukup dengan spekulasi lo, gue mau tanya. Anaknya pacar lo namanya Yudhistira Raidan?”
“Hm? Yoik.” Kara menyuap mie ayamnya ke bibirnya yang tebal ala-ala cewek arab itu.
“Tinggi, sipit, tampang kayak Lee Soo hyuk? Angkuh tapi sering planga-plongo?”
“Cakepan Soo Hyuk kemana-mana. Raidan mah alisnya doang yang mirip.” Kara hampir tertawa saat mendengar pertanyaan Puspa.
“Oh...”
Dan Puspa pun terdiam.
Kara juga akhirnya diam, menunggu pertanyaan Puspa selanjutnya.
Tapi karena sudah habis setengah porsi si Puspa masih bengong juga, jadi lah si Kara bertanya. “Apa ada koneksi antara calon anak gue, sama keblo’onan lu sekarang?” tanya Kara.
“Gue suka sama dia.”
“Ah, elah...” gumam Kara sambil lanjut makan mie ayam. “Udah siang masih ngigo, salah orang kali lo.”
“Masa dia jadi penumpang gue, gue anter ke Decathlon, eeh pas dia turun, dia cium tangan gue.” Kata Puspa, dengan pandangan masih menerawang ke depan.
“Ganti judul aje, sahabatku menantuku.” Gumam Kara sambil lanjut makan mie ayam.
“Bantu gue.”
“Ngggaaaaakkkk!!” seru Kara.
“Ra, egois lo.”
“Enggga-GAK!” seru Kara lagi.
“Kualat lu ya!” sahut Puspa.
“BIAR! Nggaaaakkk!!” seru Kara.
“Apanya yang nggak?” dan Raka pun datang.
“Halah... lagi nego, malah si empunya dateng.” Gumam Puspa langsung turun dari ranjang Kara.