Dinda memilih untuk menikah dengan seorang duda beranak satu setelah dirinya disakiti oleh kekasihnya berkali-kali. Siapa sangka, awalnya Dinda menerima pinangan dari keluarga suaminya agar ia berhenti di ganggu oleh mantan pacarnya, namun justru ia berusaha untuk mendapatkan cinta suami dari hasil perjodohannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasriani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 27
Dokter yang memeriksa keadaan Ayahnya Dinda keluar dari ruangan tersebut, dengan cepat Dinda menyingkir dari depan pintu dan menunggu Dokter keluar dari sana dengan perasaan yang was-was.
"Keluarga Pak Pratama?." Tanya perawat yang mengikuti Dokter tersebut.
"Saya anaknya." Jawab Dinda menatap Dokter dan perawat itu bergantian.
"Kondisi Ayah anda cukup serius, beliau mengalamani patah tulang dibagian kaki kiri dan cedera serius di kepalanya karena benturan, Ayah anda juga kehilangan banyak darah dan harus segera ditranfusikan pada saat operasi nanti." Dokter tersebut menjelaskan kondisi Ayahnya, Dinda yang mendengarnya serasa diiris hatinya oleh sebilah pisau tajam mendengar betapa menderitanya Ayahnya saat ini.
"Tolong segera tangani operasi Papa saya Dokter, lakukan semua yang terbaik untuk Papa." Pinta Dinda tanpa berpikir panjang.
"Silahkan ke kantor palang merah untuk mengurus stok darahnya, Ayah anda butuh satu kantong lagi darah B kebetulan stok dirumah sakit sedang kosong, operasinya tiga jam lagi." Kata Sang Dokter memberikan arahan pada Dinda.
"Baik Dokter." Jawab Dinda menganggukkan kepalanya mengerti.
"Aku saja yang urus, kamu temani Papa kamu." Ucap Rindu yang sedari tadi menggenggam tangan Dinda erat untuk menguatkannya.
"Tidak apa-apa Rindu?." Tanya Dinda merasa tidak enak harus merepotkan sahabatnya itu.
"Biar aku yang urus, kamu tenangkan diri kamu dulu." Jawab Rindu dengan yakinnya.
"Saya boleh masuk Dok?." Dinda bertanya pada Dokter berharap ia sudah bisa menemui Ayahnya.
"Boleh, satu orang saja yah." Kata Dokter tersebut mengizinkan.
"Terima kasih Dokter." Ucap Dinda pada Dokter yang menangani Ayahnya, Dokter tersebut mengangguk sembari tersenyum
"Saya permisi dulu." Katanya kemudian berlalu dari sana.
"Nanti kalau sudah dapat langsung ke bagian administrasi mbak untuk mendaftar operasinya." Perawat tersebut memberikan arahan pada Rindu terlebih dahulu sebelum pergi dari sana.
"Baik Suster, terima kasih." Jawab Rindu mengerti, tidak lupa mengucapkan terima kasih pada perawat tersebut.
Perawat tadi lalu menyusul Dokter yang lebih dulu pergi dari sana tadi.
"Aku minta tolong yah Rindu." Dinda menatap mata Rindu dalam, tatapannya mengatakan ia berharap Rindu dapat membantunya.
"Serahkan sama aku, kamu tidak perlu khawatir." Jawab Rindu menepuk punggung tangan Dinda seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
"Terima kasih Rindu." Ucap Dinda merasa sangat bersyukur ada Rindu disampingnya saat ini.
"Ingat, jangan nangis dekat Om Tama, nanti dia juga ikut sedih." Kata Rindu mengingatkan, Dinda pun mengangguk mengerti.
Setelah Dinda masuk ke ruangan Ayahnya, Rindu pun segera menuju ke kantor PMI yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah sakit.
***
Mata Dinda berkaca-kaca menatap Ayahnya yang masih terbaring lemah di atas tempat tidur pasien, banyak alat yang terpasang di badannya membuat Dinda tidak tega melihatnya.
Ia sekuat tenaga menahan tangisnya agar tidak pecah, kata-kata Rindu terus bergema ditelinganya, ia tidak boleh sedih, Ayahnya juga akan ikut sedih dan mempengaruhi kondisinya.
"Papa yang kuat yah, Dinda yakin Papa bisa sembuh." Ucap Dinda berusaha terlihat tegar, dalam getir ia berusaha tersenyum.
Handphone yang ia aktifkan dalam mode getar membuatnya segera mengeluarkannya dari kantong celananya, mungkin saja itu adalah Rindu, pikirnya.
Bukan Rindu tapi nama Ibunya Indra yang muncul dilayar pemanggil, Dinda pun segera menjauh dari tempat tidur Ayahnya dan menerima telepon dari Ibunya Indra.
"Halo Tante." Jawab Dinda sepelan mungkin agar tidak mengganggu Ayahnya.
"Kamu sudah sampai dirumah yah?, Tante mau bilang besok ketemunya di taman saja yah, soalnya kan besok akhir pekan." Suara Ibunya Indra terdengar begitu antusias.
"Maaf Tante, Dinda tidak bisa ketemu sama Tante besok." Ucap Dinda dengan suara bergetar.
"Kenapa sayang?." Tanya Ibunya Indra bingung dan juga menjadi khawatir mendengar suara Dinda yang terdengar seperti menahan tangisnya.
"Dinda lagi di rumah sakit tante." Air mata Dinda mulai membendung dipelupuk matanya .
"Siapa yang sakit sayang?." Tanya Ibunya Indra lagi makin khawatir.
"Papa Dinda Tante, tadi Papa kena tabrak di depan rumah." Dengan sekuat tenaganya Dinda menjawab pertanyaan Ibunya Indra, rasanya mengingat kejadian tadi saja sudah membuatnya tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Rumah sakit mana sayang, Tante kesana sekarang." Ucap Ibunya Indra yang turut prihatin dan ingin langsung menemui Dinda.
"Tidak usah tante, ini sudah malam." Kata Dinda menolak niat baik Ibunya Indra untuk menjenguk Ayahnya.
"Kamu kasih Tante yah alamatnya, nanti Tante kesana." Ucap Ibunya Indra tetap ingin menemui Dinda.
Ia mengingat Dinda pernah mengatakan hanya Papanya saja yang ia punya, Ibunya Indra membayangkan bagaimana sedih dan takutnya Dinda saat ini.
"Iya Tante, Dinda matikan teleponnya kalau begitu." Kata Dinda kemudian tidak ingin menolak niat baik Ibunya Indra lagi.
"Iya sayang." Jawab Ibunya Indra dan segera mematikan panggilannya.
***
Hanya berselang tiga puluh menit setelah menelpon Dinda, Indra dan Ibunya kini sudah berada di rumah sakit.
Dengan langkah terburu-buru mereka berjalan menuju ke ruang IGD.
Sesampainya mereka disana, Ibunya Indra mengetuk pelan pintu IGD, Dinda yang mendengarnya langsung berjalan keluar.
Wajah Dinda tampak lusuh dengan mata sembabnya, Indra yang melihatnya pun turut prihatin sedangkan Ibunya Indra langsung berhambur memeluknya.
Pelukan Ibu Indra terasa begitu hangat hingga membuat tangis Dinda pecah di pelukannya.
"Kamu yang sabar yah, Tante yakin Papa kamu kuat." Ucap Ibunya Indra mengusap punggung Dinda Untuk menguatkannya.
Dinda mengangguk didalam pelukan Ibunya Indra, tangisnya berangsur reda setelah lama didalam pelukannya, ia pun melepaskan pelukannya, sisa air matanya masih membasahi wajahnya.
"Kamu yang sabar yah." Indra pun turut menguatkan Dinda, ia menepuk nepuk pundak Dinda seakan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Dinda mengangguk mengiyakan, ia pun sadar ada sesuatu yang kurang.
"Ciaranya mana Kak?." Tanya Dinda dengan suara parau.
"Ciara di titip sama asisten pribadi Mama." Jawab Indra, Dinda pun merasa tidak enak.
Padahal Indra sangat tidak ingin menitipkan Ciara pada orang lain, tapi karena dirinya Indra harus menitipkan Ciara malam ini.
Rindu yang baru saja tiba disana terkejut melihat dua orang yang sudah tidak asing baginya.
"Bagaimana Rin?." Tanya Dinda penuh harap.
"Stoknya juga kosong Dinda, katanya besok baru gelas donor darah, itupun mereka tidak tau apa darah yang kita butuh ada, aku cuma dikasih kontak pendonor saja, beberapa sudah aku hubungi tapi semuanya tidak bisa." Jawab Rindu menjelaskan keadaannya, Dinda pun semakin was-was.
"Terus aku harus bagaimana Rin, operasinya satu jam lagi." Air mata Dinda kembali keluar, rasa takut dan panik seketika menguasainya.
"Memangnya golongan darah apa yang dibutuhkan Papa kamu?." Tanya Indra yang khawatir melihat Dinda menangis ketakutan.
"Darah B kak." yang menjawab pertanyaan Indra adalah Rindu.
"Kebetulan aku darah B, biar aku yang donorkan buat Papa kamu." Kata Indra kemudian.