Aaric seorang CEO muda yang belum terpikir untuk menikah harus memenuhi keinginan terakhir neneknya yang ingin memiliki seorang cicit sebelum sang Nenek pergi untuk selama-lamanya.
Aaric dan ibunya akhirnya merencanakan sesuatu demi untuk mengabulkan keinginan nenek.
Apakah yang sebenarnya mereka rencanakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghilangkan Ketakutan.
Naina sedang menemani Nenek yang bersantai di taman belakang rumah, mereka tampak mengobrol dengan hangat, sambil mengupas buah-buahan Naina mendengar cerita Nenek tentang masa kecil cucunya, Aaric.
"Ketika dia lahir, putraku langsung memberinya nama Aaric. Aaric artinya pemimpin dan pelindung yang mempunyai kekuatan dan kasih sayang. Tentunya dengan harapan jika kelak nanti dia akan menjadi seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan, dia tidak akan menjadi pemimpin yang arogan, memimpin dengan belas kasih."
Naina mendengarkan dengan seksama.
"Rupanya harapan ayahnya terkabul, Aaric menjadi pemimpin perusahaan di usianya yang masih muda, namun itu tak menjadikannya memimpin dengan sewenang-wenang mengikuti gejolak jiwa mudanya saat itu. Aaric memimpin dengan sangat bijaksana, mendengar dan mengikuti saran dari orang lain untuk dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan penting di perusahaan."
"Kedermawanannya juga jangan dipertanyakan lagi, Aaric bahkan membangun sebuah yayasan sosial untuk membantu orang-orang yang membutuhkan."
Naina nampak takjub, dia tak menyangka jika suaminya itu memiliki hati yang lembut.
"Aaric adalah kebanggaan keluarga ini, juga menjadi satu-satunya penerus tunggal dari keturunan Widjaja. Nenek sempat khawatir ketika dia katakan belum ingin menikah di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, Nenek takut dia terlalu fokus pada pekerjaannya hingga melupakan untuk menikah dan mempunyai anak, tapi rupanya tidak seperti itu." Nenek melihat Naina.
"Nenek lega karena sekarang Aaric telah menikah, bahkan dengan wanita yang baik sepertimu, sekarang Nenek menjadi lebih tenang, nenek tinggal menunggu kalian memberikan nenek seorang cicit." Nenek memegang tangan Naina.
Mimik wajah Naina langsung berubah menjadi sedih.
"Maafkan aku Nek, aku mengecewakan Nenek," ucap Naina sambil memeluknya.
Nenek tersenyum, dia mengusap lembut pundak Naina.
"Tidak apa-apa, Nenek yakin jika sebentar lagi kamu akan kembali hamil lalu melahirkan penerus keluarga ini. Nenek berharap semoga saja Nenek masih diberikan kesempatan untuk menggendongnya, Tuhan belum memanggil nenek saat itu." Nenek tersenyum lembut.
Naina semakin mengeratkan pelukannya. Hatinya dibuat semakin sedih mendengar perkataan Nenek.
"Nenek harus semangat untuk sembuh, aku ingin ketika anakku lahir Nenek orang pertama yang menggendongnya." Naina melepaskan pelukannya, menatap wajah Nenek dengan lembut.
Nenek mengangguk sambil tersenyum.
"Aamiin..Semoga saja." Nenek mengusap rambut Naina.
***
"Kenapa ibu membelikan aku banyak baju?" Naina kaget melihat kantong belanjaan yang diberikan Winda padanya.
"Tidak apa-apa. Simpanlah semua baju dan sepatu itu di kamarmu."
"Tapi ini terlalu banyak, aku tidak enak menerimanya."
"Ambillah nak, anggap saja itu sebagai bentuk kasih sayang mertuamu kepadamu. Ambil dan simpanlah di kamarmu," ucap Nenek dengan senang.
Naina mengangguk sambil berjalan membawa banyaknya kantong belanjaan di tangannya.
"Oh iya Nak. Nanti kalau sudah menyimpan itu di kamarmu, tolong ambilkan kantong kecil di kamar ibu di dalam lemari, buka saja semua lemarinya nanti kamu akan lihat ada kantong putih yang kecil, tolong bawa kesini ya?"
Naina mengangguk lalu melanjutkan perjalanan untuk pergi ke kamarnya.
Setelah menyimpan semua kantong belanjaan di kamarnya, Naina bergegas pergi masuk ke kamar Winda, sebenarnya dia merasa tidak enak hati masuk ke dalam kamar itu sendirian, tapi karena Winda sendiri yang menyuruh maka Naina memberanikan diri untuk masuk.
Naina sudah berdiri di depan lemari, lalu satu-persatu dia membukanya untuk mencari kantong plastik yang dimaksud.
Hingga ketika dia membuka lemari tengah, Naina terbelalak melihat isi lemari itu, dia akhirnya menemukan plastik yang dicari namun bukan itu yang membuatnya kaget, hati Naina berdesir melihat seisi lemari yang penuh akan banyaknya baju bayi dan perlengkapannya.
Naina mengambil satu buah baju yang digantung tapi disana, dia lalu menatap lalu membelainya perlahan.
"Bahkan ibu sudah menyiapkan semuanya," lirih Naina dengan sedih, hingga tak terasa meneteskan air mata, merasa sangat bersalah menyadari betapa besarnya pengharapan Nenek dan Ibu Winda kepadanya untuk segera memberikan mereka seorang bayi.
Sepanjang perjalanan menuju kembali pada Winda untuk memberikan kantong plastik yang ada di tangannya, Naina tak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang tergambar jelas di raut wajahnya, dia berjalan dengan terus menundukkan kepalanya.
Naina sadar jika dirinya telah melalaikan kewajibannya untuk memenuhi kesepakatan antara dirinya dan Winda untuk segera hamil, padahal sebenarnya itu tujuan utama kenapa dia ada di rumah ini.
Seandainya dia sadar akan kewajibannya untuk memenuhi kesepakatan itu dan juga kewajibannya untuk melayani suaminya, maka seharusnya dia sudah siap untuk melayani Aaric bukan justru malah menghindarinya, ketakutannya harusnya bisa ia segera atasi demi untuk melaksanakan kewajibannya.
"Aku harus segera menghilangkan rasa takutku." Naina nampak bertekad.
***
"Bawa saja Naina liburan sekalian berbulan madu. Kamu bisa gunakan waktu kebersamaan kalian agar bisa lebih saling mengenal dan mendekatkan diri satu sama lain." Ryan memberikan saran.
"Ide bagus. Aku tidak pernah berpikiran sampai kesana." Aaric nampak menerima saran yang diberikan oleh sahabatnya.
"Tapi kira-kira kemana tempat yang cocok?"
"Tentu saja ke tempat yang udaranya dingin, agar kalian bisa saling menghangatkan." Ryan kembali memberi saran.
Aaric mengangguk senang,
***
Aaric membuka matanya lebar ketika dia baru saja memasuki kamarnya.
Aaric tampak salah tingkah melihat Naina berdiri di hadapannya dengan menggunakan baju tidur yang sangat minim, yang dengan jelas memperlihatkan belahan dada juga pahanya yang mulus dan putih.
Naina menghampiri Aaric untuk mengambil jas ditangannya.
Jantung Aaric berdebar kencang melihat Naina menghampirinya semakin dekat.
"Apa kamu sudah makan?" tanya Naina setelah jas itu telah ada di tangannya.
Aaric langsung mengangguk dengan reflek, dengan mata yang tidak berkedip melihat Naina berdiri di depannya.
"Baiklah kalau begitu," Naina memutar badannya, berjalan menuju kamar mandi untuk menyimpan jas kotor itu.
Aaric terus memperhatikan hingga Naina hilang di balik pintu, dia langsung memegang dadanya yang sedari tadi berdegup kencang.
"Apa dia sedang berusaha menggodaku?" tanya Aaric pada dirinya sendiri sambil membuka kancing kemejanya.
Tak lama Naina keluar dari kamar mandi.
"Aku tunggu di sana." Naina berjalan mendekati tempat tidur lalu duduk diatasnya sejenak kemudian merebahkan tubuhnya, dengan posisi miring membelakangi Aaric, Naina tidur tanpa mengenakan selimut, membuat suaminya itu menelan ludah beberapa kali.
Selain tampak kebingungan dengan ucapan Naina padanya barusan, Aaric kini merasa tak nyaman akan hasratnya yang seakan sudah menggebu-gebu, tentu saja itu karena melihat penampilan Naina yang mengundang birahinya.
Sementara Naina?
Jangan ditanya bagaimana jantungnya kini berdegup puluhan kali lebih cepat daripada biasanya.
Kini dia hanya menunggu reaksi Aaric, karena apapun yang akan dilakukan Aaric padanya sekarang, dia sudah sangat siap untuk menerima dan melayaninya.