NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:373
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 — Pengorbanan Baru

Hujan Arwah mereda menjelang fajar, meninggalkan ketenangan yang dingin di Desa Waringin. Penduduk desa, yang menyaksikan manifestasi arwah leluhur mereka, kini berada di bawah kendali spiritual Rendra yang mutlak. Mereka percaya bahwa Pembawa Tenang telah memberikan mereka kedamaian sejati.

Rendra menghabiskan malam itu di Balai Desa yang sunyi, di tengah aroma dupa dan persembahan yang kini diletakkan warga setiap hari. Kehausan spiritualnya mereda setelah hujan arwah, tetapi bisikan Laras tetap tinggal di benaknya, memberinya arahan yang samar namun mengerikan.

“Air harus diberi makan, Pembawaku. Mereka patuh. Biarkan mereka melayani kita.”

Pagi itu, Rendra memutuskan untuk kembali ke hutan. Ia harus mencari cara untuk mengakhiri siklus ini, mencari pengorbanan yang cukup besar untuk membebaskan dirinya dan arwah-arwah itu dari Waringin selamanya.

Ia meninggalkan desa, dan Rani dan Dimas tidak menghentikannya. Mereka tahu, Rendra kini bergerak atas kehendak yang lebih tinggi.

Rendra berjalan menuju sungai kecil yang mengalir jernih, airnya bersumber dari mata air di perbukitan. Ia berjalan di sepanjang tepian sungai, berharap menemukan kejernihan atau petunjuk.

Saat ia berjalan, ia melihat sesuatu yang aneh.

Di tengah sungai yang mengalir tenang, mengambang di antara ranting dan dedaunan, ada tiga sosok.

Rendra mendekat dengan langkah kaku. Matanya yang hitam memproses pemandangan itu tanpa emosi.

Tiga tubuh. Tubuh satu keluarga: Ayah, Ibu, dan seorang anak kecil. Mereka adalah keluarga petani yang hidup sederhana di pinggiran desa.

Mereka mengambang telentang, di dalam air yang hanya sedalam lutut, seolah-olah mereka tertidur di atas permukaan air. Pakaian mereka basah kuyup, wajah mereka damai, tetapi pucat kebiruan.

Yang paling mengerikan, tangan mereka terlipat rapi di dada, seperti sedang berdoa.

Rendra menyentuh air itu. Dingin. Airnya murni, tidak ada lumpur atau darah.

Ia meraih tubuh sang Ayah, membalikkannya dengan paksa.

Di dada pria itu, tertulis dengan darah, kata-kata yang kasar dan ditulis tergesa-gesa:

“Air harus diberi makan.”

Rendra membeku. Ia tidak memberikan perintah ini. Arwah yang haus itu tidak menuntut pengorbanan ini.

Penduduk desa sendiri yang melakukannya.

Rendra menyadari bahwa ketakutan dan penyembahan mereka telah menciptakan ideologi yang mengerikan. Mereka percaya bahwa untuk menjaga air tetap murni (tenang), mereka harus ‘memberi makan’ air dengan darah sebagai balasan atas panen yang melimpah dan hujan yang berhenti.

Mereka tidak lagi takut pada Laras. Mereka takut pada ketidakpastian. Dan Pembawa Tenang, Rendra, telah menjadi pembenaran untuk ritual gila ini.

Penyembahan itu menuntut korban.

Rendra melihat sekeliling. Ia tidak melihat jejak perlawanan. Keluarga itu pasti menyerahkan diri mereka dengan sukarela, mempercayai bahwa pengorbanan mereka akan membawa berkah dan kedamaian abadi dari Pembawa Tenang.

Rendra, yang kini menjadi manifestasi spiritual air, merasakan kengerian dan kepuasan yang dingin pada saat yang bersamaan.

Kengerian, karena manusia telah jatuh ke dalam kegilaan.

Kepuasan, karena arwah yang haus kini terpuaskan. Ratusan arwah yang mendiami dirinya kini tenang, gema suara mereka mereda menjadi bisikan yang damai.

Rendra kembali ke desa, berjalan dengan langkah kaku, meninggalkan tiga tubuh itu mengambang damai di sungai.

Ia tiba di Lapangan Desa. Para penduduk desa, yang kini hidup dalam kepatuhan spiritual, menyambutnya.

“Pembawa Tenang! Terima kasih! Airnya mengalir begitu deras!” seru seorang wanita, matanya bersinar fanatik.

“Kami sudah memberikan persembahan yang layak,” bisik pria lain, matanya menunjukkan percampuran antara ketakutan dan bangga.

Rendra tidak berbicara. Ia hanya menatap mereka dengan mata hitamnya. Ia tahu, kata-katanya tidak lagi diperlukan. Keheningannya kini adalah perintah.

Ia berjalan ke Sumur Tua. Ia menatap ke dalam air.

Di permukaan air yang jernih, ia melihat pantulan.

Bukan pantulan dirinya, Rendra.

Bukan pantulan Laras.

Ia melihat pantulan Rani.

Rani tersenyum, senyum yang sama yang ia lihat saat adiknya memeluknya di dunia bawah air, tetapi ada yang berbeda.

Di sekitar mata Rani di pantulan itu, ada garis-garis merah samar, seperti air mata darah yang telah mengering.

Rani di pantulan itu mengangguk padanya.

“Mas, kita udah tenang sekarang, kan?”

Rendra mencoba berbicara, tetapi suara yang keluar hanyalah gema air yang dalam.

Ia melihat pantulan itu lagi—Rani dengan air mata darah yang kering.

Dan kemudian, pantulan itu berubah.

Rendra tidak lagi melihat Rani. Ia melihat dirinya sendiri.

Dirinya sendiri, dengan mata hitam pekat, kulit pucat kebiruan. Tetapi di wajahnya, ada senyum tipis, senyum yang sama persis dengan senyum Laras yang penuh dendam.

Ia adalah Laras. Ia adalah Rani. Ia adalah Rendra. Ia adalah Pembawa Tenang, yang mewujudkan semua memori air.

Rendra memukul permukaan air Sumur Tua dengan tangannya.

PLASH!

Airnya bergolak, tetapi permukaan air itu tidak pecah. Sebaliknya, saat tangannya menyentuh air, air itu terasa seperti lumpur hisap.

Air itu menelan tangannya perlahan-lahan.

Rendra merasakan dingin yang mematikan di lengannya. Ia mencoba menariknya keluar, tetapi air itu mencengkeramnya, menariknya ke bawah, ke dalam kegelapan.

Ia melihat ke bawah. Tangannya sudah terendam hingga siku, dan air Sumur Tua itu kini memancarkan cahaya redup di kedalamannya, cahaya yang menariknya ke Kuburan Air.

Rendra berjuang, mengeluarkan tangannya dari air yang mencengkeramnya. Ia berhasil, tetapi air itu meninggalkan bekas merah melingkar di lengannya.

Ia menyadari, cermin itu tidak pecah. Air telah menjadi cermin yang menelan, dan ia adalah cermin itu sendiri.

Ia harus menyelesaikan ini. Ia tidak bisa membiarkan penyembahan ini berlanjut, dan ia tidak bisa menjadi dewa yang haus darah.

Rendra menoleh ke Lapangan Desa. Ia tahu, pengorbanan terakhir harus terjadi, pengorbanan yang akan mengakhiri siklus ini sepenuhnya, menelan desa ini ke dalam kedamaian abadi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!