Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dilema Alif
Huh…
kupikir aku bisa menyimpan rahasia hatiku sendiri. Rapi. Terkunci. Aman.
Ternyata paman menyadarinya.
Iya. Aku Alif.
Aku jatuh cinta pada sepupuku sendiri sejak kami masih SMA.
Bukan cinta yang meledak-ledak.
Bukan juga yang penuh harap.
Lebih seperti sesuatu yang tumbuh diam-diam—tanpa izin, tanpa rencana.
Aku tahu batas. Selalu tahu.
Karena itu aku tidak pernah berniat mengungkapkannya.
Saat Anna menikah…
duniaku hancur.
Aku tersenyum di depan semua orang, ikut tertawa di pesta, berdiri tegak seperti laki-laki yang baik-baik saja. Padahal malam-malam setelahnya, aku belajar tidur dengan dada sesak. Dan sejak hari itu… aku memilih sendiri.
Jomblo sampai sekarang.
Bukan karena tak ada perempuan lain. Ada.
Tapi tak ada yang benar-benar masuk.
Aku pernah dengar kalimat ini—entah dari siapa:
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, kalau terlalu dekat, pasti ada salah satunya yang jatuh cinta.
Dan itu aku.
Selalu aku.
Aku tidak pernah berpikir hari ini akan datang.
Hari di mana kesempatan—yang dulu kupikir mustahil—berdiri tepat di depan mataku.
Bukan sebagai hadiah.
Lebih seperti ujian.
Tapi pertanyaannya bukan lagi soal aku.
Apakah Anna akan setuju?
Aku tahu betul sepupuku itu.
Dia keras kepala. Teguh.
Kalau sudah memutuskan sesuatu, dunia boleh runtuh—dia tetap berdiri.
Dan sekarang…
dia sedang hancur, tapi tidak goyah.
Aku tidak ingin menjadi pelarian.
Tidak ingin hadir karena kekosongan.
Aku ingin berdiri di sisinya karena pilihan, bukan luka.
Kalau pun takdir memberi celah,
aku ingin masuk dengan kepala dingin, niat bersih, dan tangan yang siap melindungi—bukan menuntut.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku,
aku takut bukan karena ditolak…
tapi karena aku ingin ini benar.
Kita sudah sampai sini tadi
POV end
***
Aku berdiri mematung di belakang paman, seakan dunia berhenti sejenak. Kata-kata beliau—bahwa aku boleh menjaga Anna lebih dari sekadar seorang saudara—menyeret ku ke dalam dilema yang dalam. Bagaimana bisa takdir mempermainkan ku sedemikian rupa?
“Lif, kenapa kau berhenti?” suara paman memecah lamunanku. Ia menatapku dengan mata yang tajam tapi lembut. “Paman hanya mengatakannya, nak. Kau tidak perlu berpikir macam-macam. Biar paman yang mengurus semuanya. Yang terpenting bagi paman adalah hati kamu.”
Paman melangkah mendekat, menepuk pundakku ringan. Ada ketenangan yang menenangkan sekaligus menegangkan. Aku hanya bisa menelan ludah, mencoba memahami semua yang baru saja ia ucapkan.
Malam itu kami pulang bersama. Anna berdiri di depan pintu, menatap kami dengan mata yang sulit ku baca. Tapi hatiku terlalu kalut; aku memilih langsung masuk ke dalam dengan alasan gerah.
Di ruang tamu, Anna dan paman duduk di sofa, tampak mengobrol ringan. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, dan sejujurnya aku tak ingin tahu saat itu. Segera aku melangkah ke kamar tamu yang sudah menjadi tempatku tinggal selama di sini, menutup pintu perlahan, dan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari semua perasaan yang bercampur aduk.
dan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari semua perasaan yang bercampur aduk.
Di kamar, aku duduk di tepi tempat tidur, menatap lantai. Gelisah menyelimuti setiap sudut pikiranku. Kata-kata paman tentang boleh menjaga Anna—lebih dari sekadar saudara—terngiang-ngiang di kepalaku, membuat dada sesak sekaligus berdebar tak menentu.
Takdir seolah mempermainkan ku. Rasanya terlalu cepat, terlalu dalam, terlalu nyata. Bagaimana aku bisa menyeimbangkan rasa ini? Antara rasa sayang yang selalu ada, rasa tanggung jawab sebagai sepupu, dan sesuatu yang lebih dari itu… sesuatu yang selama ini ku benci sekaligus kuakui diam-diam.
Aku menunduk, menatap tanganku sendiri. Haruskah aku menahan diri? Atau melangkah maju dengan hati yang rawan?
Aku gelisah, bukan hanya karena takut salah langkah, tapi juga karena sadar: apa pun yang kulakukan sekarang, hidup Anna bisa ikut berubah. Dan aku… aku ingin menjadi sesuatu yang benar untuknya, bukan sekadar bayang-bayang atau pengganti.
Namun entah kenapa, jantungku tetap berdebar setiap kali membayangkan senyum Anna, atau cara dia menatapku, bahkan saat ia tak sadar.
Aku gelisah, tapi untuk pertama kalinya, kegelisahan ini bukan hanya rasa takut—ini juga harapan. Harapan yang selama ini ku sembunyikan.
semangat thor