Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang asing?
Suara ceria yang membelah keheningan yang mematikan itu menggantung di udara koridor, terasa lebih tajam dan menusuk daripada alarm code blue mana pun. Keheningan yang menyusul setelahnya begitu sempurna, begitu pekat, hingga Angkasa bisa mendengar deru darahnya sendiri di telinga, sebuah simfoni yang diburu kegelisahan mengiringi akhir dunianya.
Waktu meregang, menipis, lalu pecah berkeping-keping.
Di hadapan Angkasa, wajah Laras adalah sebuah kanvas bencana. Senyum keibuan yang tadi merekah untuk Mia kini luruh, digantikan oleh topeng pucat pasi dari kengerian yang pekat.
Matanya yang berbingkai polesan make up itu membelalak, pupilnya melebar, menangkap bayangan Angkasa seolah melihat hantu yang bangkit dari kubur masa lalunya.
Bukan sekadar keterkejutan, melainkan teror—teror purba seekor hewan yang terpojok, yang melihat anak-anaknya terancam oleh predator dari masa lalu yang seharusnya sudah mati.
Lila, yang sedari tadi berjalan dalam diam, merasakan otot-otot di lengan Angkasa menegang kaku seperti ada kawat baja yang menyusup diantara bongkahan daging tipis.
Ia mengikuti arah pandang pria itu, dari wajahnya yang pias ke wanita anggun yang membeku, lalu ke gadis ceria yang masih tersenyum bingung di antara mereka. Sebuah firasat buruk yang dingin merayap di punggungnya. Ada sesuatu di sini, sesuatu kelam, luka yang belum kering.
Mia, satu-satunya orang yang tidak merasakan badai sunyi itu, mengerutkan kening.
“Ibu? Kok diam? Ini Kak Angkasa, yang aku ceritain…”
“Mia.”
Satu kata itu keluar dari bibir Laras. Bukan panggilan sayang, melainkan perintah yang tajam dan dingin. Tangan Laras, yang dihiasi cincin berlian, melesat dan mencengkeram pergelangan tangan Mia dengan kasar.
“Aduh! Ibu, kenapa sih?” pekik Mia, terkejut oleh cengkeraman ibunya yang menyakitkan.
“Kita pulang,” desis Laras, matanya tidak pernah lepas dari Angkasa. Tatapannya adalah campuran antara kebencian dan ketakutan yang begitu telanjang.
“Sekarang!”
Ia mulai menarik Mia menjauh, gerakannya panik dan tergesa-gesa. Mia, yang kebingungan, mencoba menahan.
“Tunggu, Bu! Aku belum pamit sama Kak Angkasa. Ibu kenapa, sih? Kok kasar banget?” Mia memberontak kecil tapi cengkraman sang Ibu begitu kuat.
“Jangan banyak tanya!” bentak Laras, suaranya bergetar hebat. Ia menarik Mia lebih kuat, memaksanya berbalik.
Angkasa hanya berdiri di sana, kakinya seolah terpaku di lantai linoleum yang dingin. Tiang infus di sampingnya terasa seperti satu-satunya penopang yang menahannya agar tidak runtuh. Ia melihat punggung ibunya, punggung yang sama yang ia lihat delapan belas tahun lalu saat meninggalkannya di gerbang panti. Punggung yang menjauh tanpa pernah menoleh.
Saat mereka hampir mencapai tikungan, Mia berhasil menoleh ke belakang, wajahnya penuh dengan permintaan maaf dan kebingungan.
“Maaf ya, Kak! Nggak tahu kenapa Ibuku aneh banget hari ini!”
Angkasa ingin menjawab, ingin mengatakan sesuatu apa pun tetapi lidahnya terasa kelu. Seperti ada ribuan kawat berduri yng melilit tenggorokannya.
Sebelum Laras dan Mia menghilang di tikungan, Laras berhenti sejenak. Ia tidak menoleh sepenuhnya, hanya kepalanya yang berputar sedikit, cukup untuk melontarkan satu kalimat terakhir pada Angkasa. Kalimat yang diucapkannya dengan suara rendah, tetapi bergema di koridor yang sepi itu seperti ledakan.
“Jauhi putriku. Jangan pernah dekat dia lagi.” Laras berhenti sejenak, matanya yang panik menatap Angkasa dari ujung kepala hingga ujung kaki, berhenti pada selang infus yang menjuntai dari tangannya.
“Kamu… Tidak pantas, kamu hanya orang asing yang penyakitan”
Dan kemudian, mereka lenyap.
Orang asing, penyakitan.
Kata-kata itu bukan sekadar belati, itu adalah asam yang melarutkan sisa-sisa identitasnya sebagai seorang anak. Dalam satu kalimat, Laras telah menghapus delapan belas tahun penantian, kerinduan, dan pertanyaan. Ia bukan lagi putranya yang hilang, ia adalah ancaman, penyakit menular yang harus dijauhkan dari kehidupan sempurna yang telah dibangun ibunya.
“Mas?”
Angkasa tak menyahut, ia masih membeku.
"Mas Angkasa?"
Perlahan pemuda kurus itu menoleh. Suara lembut Lila menariknya dari jurang kehampaan. Tangan wanita itu kini menggenggam lengannya lebih erat, seolah takut Angkasa akan ikut lenyap.
“Mas Angkasa, kamu nggak apa-apa?”
Angkasa tersenyum tipis, tetapi tatapannya kosong. Ia melihat wajah Lila, tetapi yang terbayang adalah ketakutan di mata ibunya. Ironis.
Selama ini ia pikir ibunya meninggalkannya karena tidak peduli. Ternyata lebih buruk. Ibunya takut padanya. Takut keberadaannya akan meruntuhkan istana pasir yang telah ia bangun dengan susah payah di atas pengorbanannya.
“Aku…,” ia memulai, tetapi suaranya pecah. Ia menelan ludah, mencoba lagi.
“Aku mau balik ke kamar.”
“Iya, ayo. Kita kembali ke kamar, ya,” bujuk Lila lembut, memandunya berbalik seolah Angkasa adalah orang buta.
Perjalanan kembali ke kamar 702 terasa seperti melintasi padang gurun. Setiap langkah terasa berat. Derit roda tiang infus menjadi satu-satunya suara di dunianya.
Gilang, yang sedang menonton televisi, langsung menoleh saat mereka masuk.
“Lho, cepet amat? Katanya mau ke taman? Cewek tadi mana, Kak?”
Angkasa tidak menjawab. Ia berjalan lurus ke ranjangnya, duduk di tepinya, dan menatap dinding putih di hadapannya dengan pandangan kosong.
Lila memberi isyarat pada Gilang untuk diam. Remaja itu, yang cukup peka untuk merasakan atmosfer yang berubah drastis, hanya mengangkat bahu dan kembali fokus pada televisinya, meskipun matanya sesekali melirik cemas ke arah Angkasa.
Lila mendekati Angkasa.
“Mas butuh sesuatu? Minum?”
Angkasa menggeleng pelan.
“Aku cuma… butuh sendiri sebentar.”
Lila mengangguk mengerti. Ia tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya menarik tirai pemisah di antara ranjang Angkasa dan Gilang, memberikan Angkasa privasi semu di dalam ruang bersama itu.
Di balik tirai, Angkasa duduk dalam keheningan. Rasa sakit fisik dari penyakitnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sayatan emosional yang baru saja ia terima. Namun, di bawah lapisan rasa sakit itu, sebuah benih lain mulai tumbuh rasa penasaran yang dingin dan tajam.
Ketakutan di mata Laras tadi… itu bukan sekadar rasa takut . Itu adalah ketakutan yang sangat dalam. Ketakutan bahwa dunianya akan terbongkar.
Tangannya yang sedikit gemetar merogoh saku, mengeluarkan ponselnya. Layarnya menyala, menampilkan foto latar belakang pemandangan senja yang sepi.
Selama beberapa menit ia hanya menatap layar itu, berperang dengan dirinya sendiri. Haruskah ia mencari tahu? Haruskah ia mengorek luka yang sudah menganga ini hingga ke tulangnya?
Ya. Ia harus. Ia tidak lagi mencari pengakuan atau permintaan maaf. Ia hanya butuh kebenaran. Kebenaran utuh yang akan membakar habis sisa harapan palsu yang mungkin masih bersembunyi di sudut tergelap hatinya.
Jarinya bergerak dengan kaku di atas layar. Ia membuka aplikasi media sosial, mengetikkan nama yang ia tahu dari percakapan mereka di kafe: Mia Adhistira. Profil gadis itu langsung muncul di urutan teratas, tidak dikunci. Foto profilnya adalah wajah ceria yang sama, dengan senyum yang kini terasa seperti ejekan takdir.
Angkasa menarik napas dalam-dalam sebelum menekan profil itu.
Halaman itu adalah sebuah diorama kehidupan yang sempurna. Foto-foto Mia bersama teman-temannya di kampus, di kafe, di acara-acara sosial. Tawa mereka seolah melompat keluar dari layar. Angkasa terus menggulir ke bawah, melewati potret-potret kebahagiaan yang terasa begitu asing. Jantungnya berdebar semakin kencang, sebuah firasat yang mengerikan mencengkeramnya.
Lalu, ia menemukannya.
Sebuah foto yang diunggah sekitar enam bulan lalu. Foto keluarga. Di sana, berdiri di depan sebuah rumah megah dengan taman yang terawat sempurna, ada tiga sosok. Mia di tengah, merangkul seorang pria paruh baya yang tampak berwibawa. Di sisi lain pria itu, berdiri Laras. Ibunya. Mengenakan gaun sutra berwarna zamrud, tersenyum ke arah kamera dengan senyum sosialita yang terlatih. Senyum bahagia. Senyum seorang wanita yang memiliki segalanya.
Dunia Angkasa miring. Udara di paru-parunya terasa menipis. Inilah dia. Bukti dari kehidupan yang dipilih ibunya. Keluarga baru. Suami baru. Rumah baru. Kebahagiaan baru.
Tangannya gemetar hebat saat ia mencoba memperbesar foto itu, seolah mencari cacat dalam gambar yang sempurna itu. Matanya terpaku pada latar belakang foto pada rumah megah itu. Ada sesuatu yang familier pada lengkungan jendela di lantai dua, pada desain pilar di teras depan. Sesuatu yang tergores dalam ingatannya yang paling dalam.
Ia terus menggulir, jarinya bergerak seperti kesetanan, mencari lebih banyak. Ia menemukan sebuah album lama berjudul “Rumah Baru Kami”. Ia membukanya. Foto pertama menampilkan Mia yang jauh lebih muda, mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, sedang duduk di tangga besar di dalam rumah itu.
Angkasa membeku.
Tangga itu. Tangga kayu melingkar dengan ukiran yang rumit di pegangannya. Ia mengenali tangga itu. Itu adalah tangga yang sama persis dengan yang ia lihat delapan belas tahun lalu, saat ia mengintip dari balik pintu mobil, melihat Laras berjalan memasuki rumah itu untuk pertama kalinya, meninggalkannya sendirian di dalam mobil sebelum membawanya ke panti asuhan.
Ponsel itu hampir jatuh dari genggamannya. Napasnya tercekat. Jadi, ini bukan sekadar kehidupan baru. Ini adalah kehidupan yang sudah direncanakan sejak awal. Mia bukan hanya seorang anak yang lahir setelahnya; ia adalah alasan mengapa ia dibuang.
Kemudian, matanya menangkap sesuatu yang lain di foto Mia kecil itu. Di pangkuan gadis itu, tergolek sebuah boneka beruang berwarna cokelat dengan pita merah di lehernya.
Boneka yang sama persis dengan yang Laras berikan padanya. Kunjungan pertama dan terakhir sang Ibu ke panti, sebelum kabar tentang Laras menghilang selamanya. Boneka yang ia simpan di dalam kotak di bawah ranjangnya hingga hari ini.
Kepingan-kepingan teka-teki itu tidak lagi menyatu. Mereka meledak di dalam kepalanya, menghancurkan segalanya. Rasa manis dari kopi buatan Mia, tawanya yang lepas, perhatian tulusnya… semua itu kini terasa seperti racun.
Gadis yang mulai menyembuhkan hatinya ternyata adalah simbol dari kehancurannya. Adik tirinya. Anak dari pria yang membuat ibunya membuangnya. Buah dari pengkhianatan yang paling dalam.
Ia memperbesar foto itu lagi, kali ini bukan pada rumah atau boneka itu, melainkan pada tulisan di bawah foto yang diunggah oleh Laras bertahun-tahun yang lalu. Sebuah kalimat pendek, ditulis dengan cinta keibuan yang meluap-luap.
Malaikat kecilku, Mia. Akhirnya keluarga kita utuh.
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras