Dari sekian banyak yang hadir dalam hidupmu, apa aku yang paling mundah untuk kau buang? Dari sekian banyak yang datang, apa aku yang paling tidak bisa jadi milikmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYU 17
Gue membuka jendela saat adzan shubuh berkumandang. Menatap beberapa manusia yang melewati depan kos menuju masjid kompek. Terlebih Zidan dan Juna yang berjalan beriringan dengan sajadah di pundak.
Gue bisa lihat gimana Juna dengan santai mendengar lelucon yang keluar dari mulut Zidan. Mengingatkan gue sama Biyan dan Jihan waktu itu di Jakarta.
Gue memilih turun setelah sholat, untuk membuat segelas susu coklat panas, dan duduk di ayunan. Menikmati shubuh menjelang fajar dengan bermain media sosial sebelum kembali bertarung dengan kuliah siang nanti.
Ini salah satu hal yang gue suka hidup di Bandung. Bandung di pagi hari itu sejuk, menyenangkan untuk mengenang beberapa kisah masa lalu, dan mengharapkan khayalan masa depan yang indah akan terjadi.
Gue menoleh saat Juna melewati kembali jalan yang sama untuk balik ke kos, tapi tanpa Zidan.
"Jun, kok sendiri?"
Pria itu tersenyum, "Zidan tiba tiba join basket sama anak komplek"
"Ngga join juga?"
"Engga, ntar juga ada kelas agak pagian"
Gue beroh ria. Dia benar benar mirip Gibran, bahkan perawakannya yang kekar ditambah rambut gondrongnya.
"Yuk, udah sarapan?"
"Belum"
"Mau cari bareng?"
Gue mengiyakan ajakan pria itu tanpa alasan. Hanya ingin jalan pagi menikmati kota Bandung walau sebenarnya bisa dilakukan sendiri sih. Tapi sepertinya bersama teman tidak akan jadi kesepian. Lagian kalau mau mengajak Lia pun dia belum bangun.
Apa hal yang gue suka dari Juna? Pria itu murah senyum, bahkan selama lima bulan terakhir gue berteman rasanya jauh lebih nyaman bicara dengannya dari pada Lia. Bukan berarti Lia bukan sahabat yang baik, hanya saja Juna selalu punya banyak cara untuk bisa membuat si pencerita nyaman dengannya.
"Udah betah belum di Bandung?"
Gue mendongak, "lumayan, lebih ke kangen orang rumah aja"
"Kalau itu pasti, gue juga kangen balik Jakarta"
"Ada niatan mau balik kapan, Jun?"
Pria itu kali ini menatap, bersamaan manik kita sama sama saling pandang. Gue bisa lihat senyum gigi rapihnya sungguh menawan.
"Kenapa? Mau bareng?"
Tanpa berpikir panjang gue langsung mengiyakan. Selama enam bulan gue belum penah nyoba balik sendiri ke Jakarta, kecuali kalau Jihan yang jemput kesini gue bakal tetep balik sama dia. Lagian hal yang seru kalau harus pulang kampung naik kereta. Walau cuma Jakarta Bandung. Tapi sesekali harus dicoba.
"Iya, ntar kalo libur panjang gue ajak lo balik"
"Naik kereta kan?"
"Boleh"
Gue tersenyum senang. Sampai tibalah kita di warung Mang Asep, lagi. Dan harusnya tidak akan pernah bosan karena hanya ini satu satunya warung langganan mahasiswa terdekat disini. Sebenarnya banyak warung lain, tapi menurut gue warung Mang Asep jauh lebih bersih dan nyaman, terlebih murah jadi kunci utamanya.
Kali ini gue memilih memesan bubur ayam dan Juna memesan lontong sayur. Jangan lupa dua gelas teh hangat jumbo!
"Lo tuh punya kakak cowok ya?"
"Iya, Bang Jihan yang waktu itu jemput gue"
"Suka motor?"
Gue menatap Juna bingung, namun seketika mengiyakan karena senyuman tipis itu seakan mengisyaratkan sesuatu.
"Dulu SMA gue suka modif motor,"
"Emang sekarang udah engga?"
Juna menggeleng, meneruput teh hangat itu pelan sebelum kembali menatap ke arah gue.
"Kenapa gitu?"
"Semenjak nyokap masuk rumah sakit, uangnya lebih baik buat pengobatan"
"Sorry"
"Buat apa?" Juna terkekeh.
Banyak hal yang gue pelajari pagi ini. Tentang rasa syukur dan sekali lagi penerimaan.
Juna bilang, hidup terus berjalan dan berputar seperti roda. Kadang ada di atas dan juga di bawah, jadi buat apa menyesal? Tentang kehidupannya yang serba apa adanya harus di terjang beberapa badai. Tuhan selalu kasih cobaan sama orang yang emang pantas dapat itu. Dan Juna memang sanggup.
Saat SMA kehidupan yang seharusnya seperti anak sebayanya justru harus dia korbankan untuk pekerjaan pekerjaan yang melelahkan. Bagaimana bisa dia sekuat sekarang? Bahkan untuk makan saja terkadang sulit.
"Mogok setahun kali, Yuk, gue ngga main motor" Juna terkekeh, "sampe sekarang sih"
"Jadi keterusan ya?" Kali ini gue mencairkan suasana.
Walau semenjak lulus SMA keuangan keluarga Arjuna membaik, tapi pria itu tetap tidak ingin membebankan segala sesuatu pada Ibu dan Bapaknya lagi. Bahkan setelah Ibunya tak butuh lagi uang untuk berobat sesering saat SMA dulu. Juna memutuskan untuk gap year dan bekerja untuk kuliahnya tahun ini.
"Hebat banget, bahkan kalo gue jadi lo kaya ngga kuat aja" gue kembali terkekeh.
"Kalau terpaksa pasti akan jadi terbiasa, Yuk"
"Iya sih" gue menggaruk tengkuk yang tak gatal sambil mengigit gorengan yang ada di piring.
"Tumben Mang Asep lama"
Gue dan Juna sama sama berbalik untuk melihat, tepat saat itu juga Mang Asep datang dengan semangkuk bubur dan sepiring lontong sayur.
"Makasih, Mang"
"Iya, Neng"
Juna hanya tersenyum dengan mulut yang masih penuh gorengan.
"Bokap lo kerja apa, Jun?"
"Bengkel, nyokap gue sih baru aja buka warung"
Gue mangangguk sambil menyantap bubur yang masih hangat itu. Sesekali mendengar Juna yang tak berhenti bercerita tentang keluarganya.
Dari banyak hal yang Juna utarakan, hanya satu yang pantas di petik yaitu rasa syukur.