"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Baik
Di ruang tamu, Bu Monik duduk di sofa utama, mengenakan gaun bernuansa hijau zamrud yang membuatnya tampak semakin berkelas. Wajahnya tenang tapi dingin, pandangan tajamnya menatap jam dinding yang berdetak pelan.
“Sudah jam segini,” gumamnya pelan. “Dia bilang siang ini mau datang. Lihat saja nanti, perempuan macam apa yang berani jadi istri Arsen tanpa restuku.”
Di seberangnya, duduk Zea dengan senyum congkak dan sikap angkuh khas orang yang terlalu percaya diri. Ia memainkan kuku yang baru saja dihias, sambil menatap ke arah pintu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Kalau aku sih yakin, Nek,” katanya ringan. “Om Arsen pasti cuma main-main. Paling juga ceweknya pura-pura cinta, pura-pura tulus, tapi aslinya... ya, gitu deh. Orang zaman sekarang, mana ada sih yang enggak tergiur sama uang.”
“Zea.”
Nada dingin Bu Monik memotong kata-katanya. Gadis itu langsung menunduk, tapi senyum sinisnya masih belum hilang.
Tak lama kemudian, suara langkah terdengar dari arah pintu utama. Dua sosok muncul di ambang pintu, tinggi, berwibawa, dengan aura yang langsung mengisi ruangan. Arsen masuk lebih dulu. Wajahnya datar, tegas, namun matanya hangat ketika menoleh ke arah perempuan di sampingnya.
Tentu saja Luna berjalan di sisi Arsen. Ia mengenakan dress sederhana warna pastel, rambutnya dibiarkan terurai lembut. Wajahnya menunduk sedikit, seolah takut membuat kesalahan sekecil apa pun.
“Assalamu'alaikum, Bu,” sapanya sopan.
Zea langsung tersenyum miring. Nah, kan. Udah kelihatan, aura kelas bawahnya aja masih kebawa. Nenek pasti langsung nolak mentah-mentah. Ia sudah bersiap menikmati drama siang ini, tapi yang terjadi berikutnya membuatnya hampir menjatuhkan gelas yang sedang ia pegang.
Bu Monik, yang tadinya tampak dingin dan keras, tiba-tiba membeku di tempat. Matanya menatap lekat pada Luna.
“Arsen, ” panggilnya parau. “Luna, dia.”
Suaranya tak selesai. Ia berdiri dan langsung menghampiri perempuan yang menjadi menantunya itu.
Melihat hal tersebut, Zea langsung menegakkan tubuh. “Nah, tuh, udah kan, Nenek Monik mau marah tuh,” bisiknya dalam hati sambil menahan tawa.
Tapi detik berikutnya, bukan tamparan, melainkan pelukan hangat yang mendarat di tubuh Luna.
Jangankan Zea, Luna saja terpaku. Arsen bahkan sempat membelalak, tidak menduga reaksi ibunya akan seperti ini.
Di sisi lain, Bu Monik memeluk Luna sangat erat, air matanya jatuh begitu saja tanpa bisa ia tahan.
“Ya Allah, Nak kamu,” katanya terbata. “Kamu ini, kamu istrinya Arsen?”
Dengan sangat hati-hati Luna mengangguk. “Iya, Bu.”
“Bukan sekretarisnya?”
“Bukan, Bu,” ucap Arsen. “Dia istriku. Dan kalau ada siapa pun, termasuk Ibu yang berani menyakiti atau mempermalukannya tidak baik, saya tidak akan diam saja.”
Nada suaranya tajam, tapi matanya tetap menatap ibunya dengan hormat.
Zea yang tadi sudah bersiap menonton “drama”, kini hanya bisa menatap bengong. Minuman di tangannya hampir tumpah ketika ia tersedak ludah sendiri.
“Apa ... apa ini beneran?” bisiknya ke dirinya sendiri. Kenapa relasinya sangat berbeda? Kenapa Nenek Monik yang tadi sudah bersiap untuk memarahi istrinya Arsen malah bersikap sebaliknya, sebetulnya apa yang salah.
“Tunggu, Luna?” gumam Zea lagi. Dia yakin belum ada yang menyebutkan nama istri Arsen, kenapa neneknya sudah tahu. “Apa nenek kenal istrinya Om Arsen?”
Bu Monik menarik tubuhnya dari pelukan Luna, tapi tangannya masih menggenggam erat jemari menantunya. Senyum lembut sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya perlahan terbit di wajah wanita itu.
“Maafkan Ibu, ya, Nak,” katanya tulus. “Ibu sempat salah paham. Ibu kira… Arsen menikah dengan perempuan lain.”
Perempuan itu hanya diam, matanya memantulkan kebingungan dan rasa haru yang bercampur menjadi satu.
“Nggak papa, Bu. Saya yang seharusnya minta maaf kalau kehadiran saya ....”
“Sudah, sudah,” potong Bu Monik cepat dan kembali memeluknya. “Mulai sekarang Jangan sungkan. Saya ibunya Arsen, ibu suami kamu, jadi saya juga ibu kamu sekarang.”
Arsen sampai tertegun. Ia memandangi ibunya seperti tak percaya, sementara Zea di sofa seberang hampir menjatuhkan dagu ke lantai, saking bingung dan kagetnya dia saat ini.
“Bu.” Arsen akhirnya memanggil. “Ibu serius?”
“Kapan Ibu main-main, Sen? Lihat dia. Matanya jernih, sopan, dan lembut. Perempuan seperti ini yang pantas dampingi kamu, bukan yang cuma tahu memoles diri buat kelihatan berkelas.”
Zea spontan menunduk, wajahnya memerah karena marah, kesal sebab apa yang dia inginkan tak kejadian. Harusnya bukan seperti ini, harusnya Neneknya memberi Luna.
“Mulai hari ini, Luna bebas keluar masuk rumah ini. Apa pun yang kamu mau, Nak, bilang aja ke Ibu. Mau mobil? Mau perhiasan? Mau kamar yang kamu ubah sesuka hati? Silakan. Rumah ini rumah kamu juga.”
“Bu ....” Luna berusaha menolak dengan panik, “nggak usah, Bu, saya udah senang banget Ibu nerima saya seperti ini.”
Tapi Bu Monik justru menggenggam tangannya lebih erat dengan mata berkilat haru.
“Tidak ada ‘nggak usah’, Nak. Ibu sudah kehilangan banyak hal dalam hidup ini. Ibu nggak mau kehilangan satu-satunya orang yang bisa buat Arsen tersenyum lagi. Kalau perempuannya kamu, Ibu bisa berkompromi.”
Ruangan itu menjadi sepi dalam sekejap. Bahkan jam dinding pun seolah berhenti berdetak.
Zea memalingkan wajah, menatap ke arah Arsen yang kini menatap ibunya dengan campuran bingung dan lega.
Ketika Luna akhirnya duduk di sofa bersama Bu Monik, Zea mencoba membuka mulut.
“Nek, tapi ....”
Tatapan Arsen menembus sangat tajam.
Sekali lirikan itu saja cukup membuat Zea menelan kembali semua kata yang hendak keluar dari mulutnya.
“Gak jadi, Om,” katanya cepat, pura-pura tersenyum. “Aku cuma mau… ambilin minum aja.”
Ia segera kabur ke dapur, dan Arsen hanya mendengus kecil sebelum kembali menatap istrinya yang kini tampak lebih rileks di samping ibunya.
Entah sejak kapan, senyum lembut terukir di bibir Arsen. Dalam diam, pria itu mengucap syukur pelan. Yang penting Luna aman di rumah ini, itu saja sudah cukup untuknya.
Akan tetapi, masaih ada tanya di dalam hatinya, tentang kenapa sang ibu tiba-tiba berubah seperti ini, padahal Luna memang dari orang yang tidak berada, lalu apa yang membuat ibunya mau menerima Luna?
“Bu, aku mau ajak Luna ke atas.”
“Pergi aja dulu, Ibu masih mau ngobrol sama menantu ibu.”
Ya Tuhan, pria itu kemudian menoleh ke arah istrinya, tapi sang istri hanya tersenyum, memberikan isyarat agar suaminya pergi.
Di dapur, Zea memperhatikan semua yang terjadi, dia bahkan mengambil foto Luna dan juga Neneknya. Kemudian mengetikan sesuatu di ponselnya.
“Rencana kita gagal, kita coba cara lain aja. Aku yakin mereka punya penilaian salah tenang Aluna. Cepat atau lambat, aku akan membuat dia mati kutu setelah niat busuknya terbongkar.”
lanjuttyy..
❤❤❤😍😙😙