Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan di Kapal Feri 2
Dengan wajah frustasi, Agatha terus berlari, menyusuri satu demi satu peti kemas, mencari Larast. Cahaya merah dari jam tangannya kembali memancar, membentuk laser yang seolah menuntunnya, mendesak Agatha untuk segera mengikutinya.
Di dalam peti kemas yang pengap dan gelap, Bos rentenir kalut berusaha menyadarkan Larast yang terbaring lemah. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, tubuhnya menggigil.
“Larast!” Agatha berteriak histeris, menghambur ke arah sahabatnya.
Bos rentenir terkejut. Tanpa pikir panjang, ia mendorong tubuh Larast ke arah Agatha, lalu berusaha kabur.
“Jangan lari kau!” Reza baru tiba, langsung mengejar Bos rentenir yang kabur.
Dengan sigap, Reza mengejar Bos rentenir yang berusaha melarikan diri. Bos rentenir itu berlari dengan panik, berusaha menghindari kejaran Reza. Namun, Reza yang merupakan anggota klub Judo yang hebat, dengan cepat mendekat.
Dengan gerakan cepat dan terampil, Reza melakukan ippon seoi nage, membanting Bos rentenir itu ke dek kapal dengan keras. Bos rentenir itu mengerang kesakitan, tak bisa berkutik.
“Rasakan itu!” Reza berkata geram. Ia kemudian menyeret Bos rentenir dan menyerahkannya pada Polisi yang sudah menunggu.
Sementara itu, Agatha tak peduli pada Bos rentenir. Ia fokus pada Larast yang kondisinya memprihatinkan. Dipangkunya kepala Larast, berusaha membangunkannya.
“Larast, bangun! Ini aku, Agatha,” bisiknya lirih, menepuk-nepuk pipi Larast dengan lembut.
Agatha menangkup wajah Larast dengan kedua tangannya. Wajah pucat itu membuatnya panik. “Larast, bangun! Ini aku, Agatha,” bisiknya lagi, terus menepuk pipi Larast. Tak ada jawaban.
Pak Haris mengikuti Agatha, masuk ke dalam peti kemas. Mereka memapah tubuh Larast ke sudut kapal yang lebih tenang.
“Ambilkan P3K dari kapal, cepat!” teriak Agatha.
“Tenang, sebentar lagi kita tiba di pelabuhan,” ayah Agatha mencoba menenangkan.
“Tidak, aku butuh sekarang, Ayah!” Agatha menatap ayahnya tajam. Haris melihat kekhawatiran dan ketakutan di mata putranya untuk pertama kali. “Bawakan P3K!” perintah Haris pada anggotanya.
Seseorang kembali membawa kotak P3K lusuh. Agatha segera membukanya, mencari peralatan yang bisa digunakan.
“Sial! Isinya tak lengkap,” gerutunya kesal.
Agatha merobek kapas kecil-kecil. Ia membasahi kapas itu dengan alkohol, mulai menggosokkannya pada titik-titik akupunktur di tubuh Larast. Ia fokus pada titik di bawah hidung, di antara alis, dan di ujung jari.
“Ini teknik ammonia inhalant sederhana,” gumam Agatha dalam hati. “Alkohol akan merangsang saraf dan meningkatkan aliran darah ke otak.”
Sambil menggosokkan kapas beralkohol, Agatha terus memanggil nama Larast. Ia berusaha memberikan stimulasi verbal untuk membangkitkan kesadaran Larast.
“Larast, bangun! Kamu harus bangun! Aku tahu kamu kuat. Jangan menyerah!” bisik Agatha, suaranya bergetar. Air mata mulai menetes di pipinya.
“Kita tunggu dokter,” ucap Haris. “Kita akan segera sampai.” Sebagai Ketua tim, Haris tak ingin putranya gegabah melakukan hal yang tak terduga.
“Aku dokter! Aku seorang dokter! Jadi aku tahu apa yang harus kulakukan,” ucap Agatha dengan nada tinggi. Respon berlebihan putranya itu mengejutkan Haris. Ia tahu, Agatha sangat cemas dengan kondisi Larast, sahabatnya.
Ayah Agatha dan rekan polisi lainnya terpaku, menyaksikan tindakan Agatha. Mereka tak mengerti apa yang dilakukan Agatha.
“Apa anak Komandan benar-benar seorang dokter?” bisik salah satu rekannya pada Haris.
Haris menggelengkan kepala, namun hatinya mulai percaya bahwa putranya memiliki kemampuan luar biasa untuk menyelamatkan gadis itu.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya ada tanda-tanda kehidupan dari Larast. Ia batuk kecil dan mengerang pelan.
“Larast?” panggil Agatha penuh harap. “Bangunlah, kumohon... jangan sekarang. Aku masih ingin menyelamatkan Ibuku... please, Larast, aku takut tak bisa kembali lagi ke masa ini,” bisik Agatha lirih, memeluk Larast erat. Air matanya menetes di pipi Larast.
Mata Larast terbuka perlahan. Pandangannya kabur, namun ia mengenali wajah Agatha.
“Ries...?” bisiknya lemah.
Agatha terkejut, menatap wajah Larast.
Larast membuka kelopak matanya perlahan. Menatap dalam wajah idolanya yang berulang kali menyelamatkannya.
“Ya, ini aku! Kamu aman sekarang,” jawab Agatha, lega.
Agatha membantu Larast duduk perlahan. “Ambilkan air dan handuk atau jaket!” teriak Agatha lantang.
Reza berlari mencari apa yang diinginkan sahabatnya. Beberapa saat kemudian ia datang dengan segelas air putih dan jaket.
Agatha memberikan minum sedikit air putih dan menyelimuti Larast dengan jaket agar tak kedinginan.
Semua orang menyorot ke arah Agatha, berbisik kagum melihat anak muda hebat yang menolong temannya dalam kondisi kritis.
“Komandan, anakmu hebat sekali, aku harap kita bisa berbesan,” bisik rekan-rekan Haris.
Haris menoleh dan tersenyum, “Mulailah ajukan formulir pendaftaran dari sekarang.”
Saat kapal feri merapat di pelabuhan, sirene ambulans memekakkan telinga. Lampu merah dan biru berputar-putar, membelah kerumunan orang yang penasaran.
Semua anggota Tim bersiap turun dari kapal. Haris memberikan instruksi tenang dan terarah.
“Kita harus pastikan Larast dapat perawatan medis secepat mungkin. Buat jalur aman agar petugas medis bisa masuk ke kapal,” perintah Haris.
Dua anggota Brimob berlari menuju pintu keluar kapal, membuka jalan bagi petugas medis yang menunggu di dermaga. Mereka berteriak meminta orang-orang menyingkir, menciptakan koridor lebar dan aman.
“Minggir! Beri jalan! Ini darurat medis!” teriak mereka.
Petugas medis sigap membawa brankar lipat dan peralatan medis lainnya. Mereka berlari menuju kapal, melewati kerumunan orang yang berdesakan.
Namun, tangga kapal yang curam menjadi masalah. Brankar sulit diangkat.
“Kita butuh bantuan!” teriak salah satu petugas medis.
Tanpa ragu, anggota Brimob membantu mengangkat brankar. Mereka bekerja sama dengan petugas medis, mengangkat brankar hati-hati menaiki tangga kapal.
Agatha dan Reza menunggu di dekat pintu keluar kapal, mendampingi Larast yang masih lemas. Agatha terus menggenggam tangan Larast, memberikan semangat dan kekuatan.
Akhirnya, brankar berhasil dinaikkan ke atas kapal. Petugas medis segera menghampiri Larast, memeriksanya cepat.
Agatha mendekat ke arah dokter, “Pasien mengalami penurunan kesadaran selama kurang lebih tiga jam setelah deprivasi selama 24 jam. Kemungkinan besar terjadi dehidrasi dan hipoksia. Mohon berikan resusitasi cairan dan periksa analisis gas darah,” jelas Agatha dengan nada profesional.
Tim medis, rekan-rekan ayahnya, dan bahkan Reza terkejut mendengar ucapan Agatha yang seolah memahami dunia kedokteran.
Dokter itu mencatat cepat. “Baik, akan kami lakukan resusitasi dan periksa AGD.”
Bersambung.
Syukurlah akhirnya Larast ketemu dan dengan sigap babang Agatha pahlawan kita ini berhasil menyelamatkan Larast. Othor nulis sampai ngapa-ngap an, karena harus nahan nangis.
Sedih aja lihat babang ganteng Agatha nangis kaya gitu, merasa takut nggak bisa lagi kembali ke masa lalu. Padahal, belum menjalankan misi menyelamatkan ibunya.
Akankah setelah ini derita Larast berhenti sampai disini? Ataukah ada derita-derita lainnya?