Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aku bukan budak mu alfareza
Aku menarik napas panjang, menahan perih yang masih menusuk.
Aku menceritakan semuanya kepada Yena, setiap kata kasar di layar ponsel, setiap panggilan yang menjelma tuntutan, setiap luka yang Reza torehkan di dadaku. Suaraku bergetar, kadang terputus oleh isak, kadang meluncur sepatah kata semua menumpuk jadi satu cerita yang pahit.
Yena menarik aku ke dalam pelukannya. Ia menepuk punggungku lembut, suaranya penuh iba.
“Ya ampun, Ghea dia segitunya? Maaf ya, kamu udah kayak budaknya dia"ucap yena
Aku hanya menunduk. Bibirku mengerucut, lalu aku mengangguk pelan. “Emang ,aku juga tahu itu, Yen. Aku memang nggak diperlakukan seperti manusia,” jawabku pelan, napas berat menggantung di akhir kalimat.
Yena menatapku lama, lalu berkata pelan. “Jadi sampai kapan kamu terus cinta sama dia, Ghea?”
Aku menghela napas panjang, menatap kosong ke arah jendela. “Entahlah…” ucapku pasrah, seolah tak punya lagi tenaga untuk memikirkan jawabannya.
Yena menggeleng, wajahnya kesal sekaligus prihatin. “Di sekolah ini banyak loh, yang lebih ganteng dari Reza. Lebih baik, lebih sopan, lebih layak buat kamu.”
Aku tersenyum getir, air mataku hampir jatuh lagi. “Tapi aku cintanya sama dia, Yen bukan yang lain" jawabku lirih.
"aku tahu Ghea,tapi mana ? Apakah alfareza menghargai cintamu?"
Aku menunduk, menatap bayangan sendiri di meja kelas.Benar apa yang Yena katakan, Reza never valued my love.Cinta tulusku baginya hanya permainan, hanya sandiwara murah agar aku tunduk.Aku bukan manusia di matanya, hanya pemuas gratisan yang bisa ia kendalikan kapan saja.Padahal aku mencintainya dengan segenap jiwa,
but he never saw the worth of my heart.
Sakitnya bukan sekadar ditampar kata,melainkan ditelantarkan harap satu-persatu,halus seperti angin yang mengikis batu.Dia, yang kusebut my last love, ternyata hanya aktor dalam sandiwara yang kususun sendiri.
Aku merasa gagal menjadi wanita yang diidam-idamkan, padahal bukan tentang sempurna atau tak sempurna
melainkan tentang dihargai atau diperjual-belah.
I feel crushed bukan karena aku tak cantik,
tapi karena kasih yang kusematkan dipandang sebagai sesuatu yang bisa dipakai lalu dibuang.
Saat pulang sekolah, aku membuka ponselku. Ada balasan darinya.
Hanya satu huruf.
“Y.”
Balasan singkat itu menusuk lebih dalam daripada seribu kata kasar.
Mungkin benar, Reza memang tidak pernah mencintaiku.
Mungkin sejak awal aku hanya berjuang sendirian.
Hatiku sakit, tapi aku memilih diam.
Aku tidak ingin berharap lagi.
Aku hanya menatap layar, membaca pesannya, lalu menutupnya tanpa membalas.
Aku keluar kamar setelah berganti pakaian, lalu menghampiri mama yang sedang duduk santai di sofa, sibuk dengan majalah di tangannya.
“Mama…” ucapku pelan.
Mama menoleh, senyumnya lembut seperti biasa.
“Eh, Ghea-ku sayang, kamu kenapa? Wajah kamu kok kelihatan nggak bahagia, hm?” tanyanya penuh perhatian.
Aku duduk di sampingnya, gelisah memainkan jari-jariku.
“Aku gelisah, Ma” jawabku lirih.
Mama meletakkan majalahnya, menatapku lebih dalam.
“Gelisah kenapa? Apa karena cowok itu lagi?”
Aku tak sanggup berkata-kata. Perlahan aku mengangguk, air mataku hampir jatuh lagi.
Mama memutar bola matanya kecil, setengah kesal setengah prihatin.
“Kau mau sampai kapan terus tersiksa karena dia? Lagian kalian kan virtual, mungkin dia nggak tahu secantik apa kamu di dunia nyata” kata Mama lembut tapi tegas.
Aku menghela napas, suara aku nyaris tak terdengar, “Mama, jangan berlebihan deh aku nggak secantik itu kok. Malahan di dunia nyata aku lebih jelek daripada di dunia maya.”
Mama tertawa pelan, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya hangat. “Kata siapa? Kamu cantik kok, asli. Bukan soal make-up atau filter itu soal bagaimana kamu menjaga dirimu. Jangan kecilkan diri sendiri, Nak.”
Aku menatap wajahnya, ada kejujuran dan kelembutan yang menenangkan di sana. “Tapi Ma, kenapa dia bisa begitu ke aku? Sampai bikin aku merasa nggak berharga?”
Mama menarik napas panjang, menepuk punggung tanganku hangat. “Kalau ada orang yang membuat kamu merasa tidak berharga, itu bukan urusan kamu untuk membuktikan sebaliknya pada dia. Itu urusan dia untuk belajar jadi lebih manusiawi. Kamu? Tugasmu merawat diri sendiri. Jangan biarkan harga dirimu dipinjam orang lain apalagi yang cuma main-main.”
Aku menelan lumpur di tenggorokan, perasaan lega kecil merayap masuk. “Aku capek, Ma. Capek berharap sama dia.”
“Iya, capek itu tanda kamu perlu istirahat dari yang menyakitkan” jawab Mama.
Mama memelukku, lebih lama dari biasanya. Di dalam pelukannya aku merasa sedikit utuh kembali bukan karena dia berubah, tapi karena ada yang meneguhkan aku untuk mulai menyembuhkan diri sendiri.
“Ingat, laki-laki itu nggak bakal nyesel karena kamu ninggalin dia, yang mereka nantiin itu kamu harus jadi lebih cantik, lebih percaya diri, biar dia nyadar apa yang dia udah buang,” ujarnya tegas tapi penuh kasih. “Tapi bukan supaya kamu berubah buat dia ubahlah buat kamu sendiri. Biar kamu bangga, bukan lagi minta izin.”
Kata-kata itu menusuk, tapi bukan seperti tusukan yang melukai,lebih seperti cambuk yang membangunkanku. Aku menutup mata sejenak, meresapi setiap suku katanya. Mama benar ,dia tak minta aku berubah demi pria itu, tapi demi aku sendiri,demi harga diriku, demi masa depanku.
Malam hari pun tibak dengan cepat,Malam itu turun seperti selimut tipis yang menutup kegaduhan siang. Rumah lengang, aku hanya rebahan di atas kasur sambil main hp,Lampu kamar redup cahaya hangatnya tampak malu-malu, seperti aku yang sedang gelisah menghadapi perasaan sendiri.
Ponsel di meja masih menyala, notifikasi Reza menunggu tanpa sabar.
Aku menatap namanya beberapa saat huruf-huruf di layar seperti rintik hujan yang tak jua reda. Ada godaan untuk mengangkat, untuk mendengar suaranya, tapi malam ini sesuatu di dalamku menolak. Bukan karena aku sudah kuat; tapi karena aku ingin merasakan apa rasanya berkata “cukup” sebelum semuanya luluh lagi.
Aku menatap layar ponsel, napas masih berat. Notifikasi itu datang lagi seperti ritme yang tak mau berhenti mengusik. Namanya muncul di bar:
"P"
“Ayok VC. Tetapi janji lo.”
Aku menghela napas panjang, lalu membalas dengan nada setengah meledek, setengah lelah:
“Gua harus melakukan lagi maksiat sama lo?”
Balasan singkatnya turun tanpa jeda.
“Ayok.”
Jari-jariku berhenti sejenak. Ada sesuatu di dadaku ,sakit sekali rasanya tapi aku gelisah tanpa nya.
aku membalasnya dengan kata kata , seperti menasehatinya:
"tenangin dulu diri Lo"
Chat dari Reza terus masuk lagi, singkat, memaksa, seolah aku tidak punya hati.
“Gua udah tenang. Ayok vc. Ayok geh.”
Aku menarik napas panjang, dada terasa sesak. Kenapa dia selalu seperti ini? Kenapa seolah aku hanya alat untuk menuruti egonya?
Air mataku kembali menetes. Aku ingin sekali menolak dengan tegas, tapi hatiku masih rapuh. Ada bagian diriku yang masih mencintainya, meski perlakuannya begitu menyakitkan.
Aku menatap layar lama sekali, lalu berbisik pada diri sendiri.
"Apakah cinta memang harus sesakit ini? Apakah aku harus selalu tunduk hanya untuk dipanggil ‘dicintai’ oleh dia?"
Aku pun membalas .
“Sikap lo bikin aku maju mundur, tau nggak sih, Za? Aku juga punya hati. Walaupun lo nggak suka sama aku, tapi aku tetap manusia yang bisa merasa sakit.”
Layar ponsel bergetar. Balasannya muncul begitu dingin, seolah tanpa hati.
“Dah, cepetan. Ayok buru, kayaknya mau dimaafin.”
Aku terdiam. Helaan nafasku pecah di antara dada yang sesak. Bagaimana mungkin seseorang yang pernah kusebut cinta terakhir justru memperlakukanku seperti ini? Bukankah cinta seharusnya saling menjaga, bukan memaksa?
Aku tatap lagi tulisan singkatnya, dan saat itu juga aku sadar.
"Aku bukan budak maafnya."
"Aku juga bukan alat pelampiasannya."
"Aku adalah hati yang pernah tulus mencintainya."