NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6

Hujan tiba-tiba turun, padahal langit sore tadi tampak cerah tanpa tanda apa pun. Seolah mengerti isi hati mereka yang tengah dirundung sedih. Mula-mula hanya rintik kecil. Namun perlahan membawa kawanannya cukup deras.

"Hujan, Mas!" Seru Amira dari belakang. "Apa kita gak akan berhenti buat neduh dulu?"

Dari balik helm, Satria tersenyum kecil sambil sesekali melirik Amira lewat kaca spion motornya yang terus melaju menembus jalan basah. "Kamu takut hujan?"

"Enggak, Mas. Kalau aku atau kamu sakit. Bagaimana?"

"Itu artinya kamu takut sama hujan."

"Mas, aku serius!"

"Cuma sakit kok, gak bikin kita mati!" Celetuk Satria.

"Mas!" Protes Amira mencubit bawah perut Satria. Lelaki itu hanya tertawa kecil sambil memutar gas, melajukan motornya sedikit lebih cepat seakan ingin menembus derasnya hujan di depan sana.

Hingga akhirnya, sore pun benar-benar tenggelam. Bukan lagi hujan yang mengguyur permukaan, melainkan malam yang perlahan memeluk jalanan. Di antara udara dingin dan sisa aroma hujan, mereka akhirnya tiba di rumah Amira. Jajaran rumah sudah mulai sepi, seolah ikut terlelap bersama dinginnya malam. Hanya lampu-lampu kecil di beranda yang masih menyala, memantul di genangan air hujan.

"Masuk, Mas." Kata Amira membuka pintu rumahnya lebar. Tangannya gemetar menghalau hawa dingin yang menusuk dari serat-serat pakaiannya yang basah kuyup.

Satria hanya mengangguk pelan, lalu melangkah masuk dan menutup pintu rumah dengan hati-hati, memastikan angin malam tak sempat menyelinap dan membuat Amira semakin kedinginan. "Mandi air hangat dan ganti bajumu jangan sampai kamu jatuh sakit." Ujarnya lembut ketika melihat Amira perlahan melipatkan kedua lengannya di bawah dada.

"Bagaimana dengan kamu, Mas?" Tanya Amira sebaliknya. Tatapannya jatuh pada Satria yang nampak lebih basah kuyup di balik jaket hoodie hitamnya.

"Jangan pikirkan aku." Ungkap Satria. "Tapi tadi seru kan, nembus hujan deras?"

Amira hanya menggeleng, namun sudut bibirnya terangkat membentuk senyum samar. Tawa kecil lolos dari tenggorokannya, seolah sejenak melupakan dingin yang masih menempel di kulit. “Seru apanya, Mas?” Gumamnya pelan, “Yang ada dingin semua sampai ke tulang!”

Satria ikut tertawa, suara tawanya terdengar rendah dan hangat, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruang kecil itu. Tetes air masih menuruni ujung rambutnya, membasahi leher jaket yang menempel. "Pergilah ke kamarmu. Ganti bajumu dulu."

Amira tersenyum lalu mengangguk pelan. Ia kemudian berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Satria sendirian di ruang tamu dengan suara rintik hujan yang masih terdengar jelas dari luar rumah.

Satria melangkah ke jendela. Ia menyingkap tirai bermotif bunga itu. Gelap. Hanya terlihat bayang samar motor hitamnya terparkir di pelataran rumah Amira.

Hampir lima belas menit. Amira tak kunjung keluar dari kamarnya. Rasa penasaran dan cemas perlahan menggelayuti pikirannya. Apa yang sedang Amira lakukan? Kenapa tidak keluar dari kamarnya? Apa dia baik-baik saja?

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuinya, membuat setiap langkahnya terasa berat oleh rasa khawatir. Satria menapaki lorong rumah yang remang, dindingnya memantulkan bayangan tubuhnya yang bergerak perlahan menuju kamar Amira, hingga akhirnya ia tiba di depan pintu kamar itu.

"A-Amira," Kata Satria sambil mengetuk pintu kamar itu, akhirnya. "A-Amira?"

Hening.

Perasaan cemas dan gelisah perlahan bercampur aduk menjadi satu. Satria menggerakkan kakinya selangkah lebih maju. "Amira?" Katanya lagi. Kali ini dengan suara lebih tinggi dan ketukan pintu yang sedikit menekan. "Amira, kamu baik-baik aja di dalam?"

Tak ada jawaban. Hanya terdengar suara hujan disertai petir sehingga menghadirkan rasa suwung dalam diri Satria.

Tanpa sempat berpikir panjang, Satria meraih kenop pintu dan menekannya ke bawah. Daun pintu berderit pelan saat terbuka lebar, memperlihatkan Amira yang meringkuk di tepi ranjang, bahunya bergetar menahan dingin. Wajahnya kian pucat, tubuhnya menggigil tak mampu menahan dingin.

"Amira!" Lirih Satria mendekat. Ia duduk di tepi ranjang menatap wajah Amira penuh cemas dan rasa bersalah. "Seharusnya aku menuruti keinginan kamu. Maafin aku."

Amira tak menjawab. Giginya saling beradu, menimbulkan suara gemeretak halus yang terdengar jelas di antara sunyi kamar. "A-Aku sudah mengganti baju, Mas ... Ta-tapi dingin." Lirihnya, nyaris seperti bisikan.

Satria menahan cemas melihat Amira yang menggigil. Ia segera mengambil handuk yang tergantung di kursi, lalu dengan hati-hati menepuk-nepuk bahu dan lengan Amira, berusaha membantu mengusir dingin yang masih merayapi tubuhnya. Namun semua itu belum mampu membuat Amira berhenti menggigil, seakan dingin malam menolak pergi.

"Dingin, Mas." Gumam Amira.

Tanpa pikir panjang, Satria segera melepas bajunya. Hingga, nampak dadanya yang bidang dan ideal.

"A-Apa yang kamu lakukan, Mas?" Kata Amira dengan keterkejutannya.

"Peluk, aku!"

Mata Amira membulat. "Mas,"

Tanpa menunggu jawaban, Satria segera menangkap tubuh Amira hingga jatuh dalam pelukannya. Sedangkan, Amira membisu. Ia masih terkejut dengan perlakuan Satria. Ia ingin menolak, namun rasa hangat itu perlahan menjalar dirinya.

"Aku akan menghangatkan tubuh kamu dengan suhu tubuhku." Lirih Satria. Suaranya begitu lembut di telinga Amira.

Ada rasa hangat dan nyaman yang tiba-tiba membuat Amira sama sekali tak menolak perlakuan Satria. Giginya yang menggertak melawan dingin, perlahan bungkam oleh rasa hangat yang semakin mengalir menenangkan tubuhnya.

Hingga beberapa saat kemudian, Satria melepaskan pelukan itu dengan penuh kehati-hatian tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Amira. "Bagaimana?" Lirihnya. "Apa kamu sudah merasa lebih baik?"

Bibir Amira terkatup rapat. Perasaannya sulit dijelaskan. Dingin itu sudah lenyap. Namun, pelukan itu rasanya ingin tetap bersemayam meski di dalamnya tercampur oleh perasaan lega dan gugup yang silih berganti.

Hening kemudian,

Satria masih memandang Amira, setia menunggu jawaban. Wanita dihadapannya kini begitu sangat dekat. Matanya menyiratkan keteduhan sekaligus sesuatu yang teramat rapuh. Tanpa sadar, wajahnya perlahan kian mendekat. Nyaris, tak ada jarak di antara mereka.

Dalam keheningan itu, yang terdengar hanyalah napas mereka yang berpadu dengan suara hujan yang mulai mereda di kejauhan. Amira tak menolak ketika gerak Satria semakin dekat padanya. Ia justru memejamkan bola matanya seolah menikmati setiap detik yang terlewat.

Satria.

Nama itu terpatri dalam hati dan pikiran Amira, berpadu dengan wangi samar yang selalu membuatnya merasa aman dan tenang. Semua momen yang terlewat tiba-tiba menyeruak malam ini, seakan waktu memberikan banyak kesempatan untuk mereka bersama. "Mas Satria," Lirih Amira.

Suara itu terdengar rapuh dan lemah. Suara yang membuat Satria tiba-tiba melepaskan lengannya yang sedari tadi melingkari tubuh kekasihnya. Kemudian, ia perlahan menjauh sambil kembali mengenakan pakaiannya lagi. Sedangkan, Amira yang menyadari itu kembali membuka mata.

"Maaf, tidak seharusnya aku melakukannya." Ucap Satria. "Aku tidak ingin menyakiti kamu."

Amira menelan ludah, matanya berbinar hangat, dan seulas air mata jatuh tanpa disadarinya. Tangisan itu bukan karena rasa kecewa, melainkan tergerak oleh ketulusan Satria—sikapnya yang begitu nyata ingin melindungi, menenangkan, dan memastikan tak ada bahaya yang menyentuh dirinya. Bahkan, Satria sendiri.

Malam yang hening seolah menegaskan kejujuran itu, setiap detik yang berlalu menjadi saksi bisu dari perhatian yang tak terbantahkan. Satria tersenyum bijak, lalu dengan gerakan hati-hati menyingkirkan rambut Amira yang menutupi wajahnya, membiarkan tatapan kembali mereka bertemu sejenak sesaat sebelum akhirnya ia beranjak dari tepi ranjang. "Istirahatlah. Kamu harus bekerja besok, bukan?" Ucapnya. "Lupakan soal tadi."

"Mas..."

"Aku tidak akan pernah menyakiti kamu. Termasuk orang lain di luar sana. Akan aku pastikan tak ada satu pun yang berani mendekat hanya untuk melukai kamu."

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!