Sinopsis:
Liora, seorang gadis muda, dipaksa menjadi pengantin pengganti tanpa mengetahui siapa calon suaminya. Namun saat tirai pernikahan terbuka, ia terseret ke dalam Azzarkh, alam baka yang dikuasai kegelapan. Di sana, ia dinikahkan dengan Azrakel, Raja Azzarkh yang menakutkan, dingin, dan tanpa belas kasih.
Di dunia tempat roh jahat dihukum dengan api abadi, setiap kata dan langkah bisa membawa kematian. Bahkan sekadar menyebut kata terlarang tentang sang Raja dapat membuat kepala manusia dipenggal dan digantung di gerbang neraka.
Tertawan dalam pernikahan paksa, Liora harus menjalani Upacara Pengangkatan untuk sah menjadi selir Raja. Namun semakin lama ia berada di Azzarkh, semakin jelas bahwa takdirnya jauh lebih kelam daripada sekadar menjadi istri seorang penguasa neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 28
Pagi yang dinanti oleh Liora akhirnya tiba. Udara Azzarkh terasa berbeda pagi itu, lebih hangat, lebih hidup, seakan ikut menyambut semangatnya. Hari ini, Liora, Dreya, dan Vaelis akan berangkat ke dunia manusia untuk mengikuti study tour kampus.
Liora sudah tak sabar melihat dunia manusia lagi. Meski hanya untuk beberapa hari, rasanya seperti pulang. Ia menatap dua dayangnya yang berdiri di depan cermin besar batu hitam. Liora hampir tak mengenali mereka.
“Kalian… terlihat sangat berbeda. Cantik dan imut,” ucap Liora kagum.
Vaelis, yang biasanya berpenampilan gagah dengan jubah gelap dan sabuk perak, kini mengenakan sweter putih lembut yang dipadukan dengan celana kargo hitam. Rambutnya dikuncir tinggi, dan sneakers hitam putih melengkapi penampilannya.
“Tapi Putri, aku merasa… tak nyaman,” katanya canggung, menarik bagian bawah sweternya.
Sementara Dreya tampak tak kalah memesona. Ia mengenakan kaos yang dimasukkan ke dalam celana kulot highwaist warna army, dengan kardigan rajut menggantung lembut di bahunya.
“Iya, Putri, aku juga merasa aneh memakai ini,” katanya dengan pipi memerah.
“Nanti juga terbiasa,” jawab Liora tersenyum. Ia sendiri tampak menawan dengan kaos oversize warna krem yang menutupi sebagian tubuhnya, dipadukan dengan kulot jeans lembut. Sebuah topi senada menutupi sebagian rambutnya yang bergelombang halus.
Penampilan mereka bertiga tampak sempurna, tiga gadis dari dunia lain yang kini menyamar sebagai remaja manusia biasa.
“Karena kita sudah siap… ayo berangkat!” seru Liora bersemangat.
Sekejap kemudian, dengan satu ayunan tangan dan mantera kecil dari Vaelis, cahaya biru pekat menyelimuti tubuh mereka. Udara bergetar, dan dunia berhenti sejenak. Dalam sekejap, mereka sudah berpijak di atas tanah dunia manusia.
Angin lembut menerpa wajah Liora, aroma rumput basah dan suara burung pagi menyapa mereka. Di hadapan mereka terbentang halaman luas, tempat para mahasiswa dan Liora berkumpul sebelum keberangkatan.
“Dinda!” seru Liora sambil melambaikan tangan.
“Lio!” sahut sahabatnya sambil melambaikan tangan juga.
Liora berlari kecil menghampiri Dinda, wajahnya berseri.
“Kamu jadi ikut juga! Asyik, aku enggak sendirian deh,” kata Dinda senang.
“Aku enggak ikut pun kamu enggak akan sendirian, Din. Kan rame yang pergi,” jawab Liora.
“Tapi enggak sama, Lio. Kalau enggak ada kamu, enggak seru!”
Liora tertawa kecil. Ia lalu menoleh pada dua dayangnya yang berdiri di belakang. “Oh iya, kenalin, ini Dreya dan ini Vaelis. Mereka sahabatku… tentu saja selain kamu.”
Dinda menaikkan alis. “Sahabat? Aku baru tahu kamu punya sahabat lain selain aku.”
“Panjang ceritanya,” jawab Liora. “Tapi mulai hari ini, kayaknya mereka juga bakal jadi sahabat kamu.”
Dinda mengulurkan tangan dengan gaya khasnya. “Aku Dinda, tapi Lio biasanya panggil aku Din. Yang pasti bukan Udin, ya!” candanya, membuat Liora menahan tawa.
Vaelis menjabat tangan Dinda canggung. “Vaelis,” katanya pendek.
“Dreya,” sahut Dreya, tersenyum malu.
Mereka bertiga pun saling bertukar senyum, perlahan mulai akrab.
Tiba-tiba, suara nyaring terdengar dari belakang.
“Kamu ikut juga ternyata.”
Liora menoleh. Seorang gadis berambut pirang buatan dengan dandanan berlebihan berjalan menghampiri, Serena, gadis yang sejak lama selalu bersikap sinis padanya.
“Yah, pastilah ikut. Emang kamu aja yang boleh?” sahut Dinda ketus.
“Eh, yang aku ajak bicara itu Liora, bukan kamu, si norak!” balas Serena ketus.
“Aku yang wakili Liora,” kata Dinda, menatapnya tajam. “Kamu tuh norak, study tour aja bawa koper segede itu.”
“Serah aku dong! Iri aja kali.”
“Ogah, iri sama kang iri kayak kamu,” sahut Dinda sinis.
“Udah, Din. Enggak usah diladeni,” kata Liora pelan. “Anggap aja dia enggak kelihatan.”
“Ih, si udil bisa ngomong juga!” ejek Serena. “Kirain cuma bisa sembunyi di balik temannya minta dibelain.”
Vaelis yang sejak tadi diam langsung menegang. “Jaga bicaramu!” katanya dengan nada rendah tapi berbahaya.
Serena mendelik. “Eh, kamu siapa, sok galak!”
“Aku adalah da....”
“Dia sahabatku,” potong Liora cepat, menatap Vaelis memperingatkan. Ia tak ingin identitas mereka sebagai makhluk Azzarkh terbongkar.
Serena tersenyum sinis. “Sahabat, huh? Yang bisa cuma minta dibelain.”
Liora mendengus. “Masih mending aku. Daripada kamu, yang hidup di bawah bayang-bayang kebohongan… dan ibumu!”
Ucapan itu membuat wajah Serena memerah. Ia spontan mendorong bahu Liora.
“Jaga tanganmu!” suara Vaelis bergema dingin. Tubuhnya maju melindungi Liora. “Atau tangan itu tak akan lagi bisa kau gunakan.”
“Idih, gaya ngomongnya! Kayak orang dari zaman purba,” sindir Serena.
“Udah, yuk. Gerah di sini,” kata Liora akhirnya. “Maklum, banyak setan gentayangan.”
Ia menarik Dinda, Dreya, dan Vaelis menjauh dari keributan itu.
Begitu mereka agak jauh, Dinda menatapnya. “Kamu hebat banget, Lio. Tapi serius, kenapa sih si Serena itu selalu nyari gara-gara?”
“Karena hidupnya cuma itu-itu aja,” jawab Liora ringan. “Biarin aja.”
Setelah suasana tenang, Liora berpamitan sebentar. Ia harus menemui guru yang bertanggung jawab atas study tour untuk meminta izin agar Dreya dan Vaelis bisa ikut.
Beberapa menit kemudian ia kembali dengan wajah sumringah.
“Gimana? Diizinin enggak?” tanya Dinda.
“Diizinin dong!” sahut Liora girang. Ia nyaris melompat karena lega, kalau tidak diizinkan, berarti ia juga tak akan bisa pergi.
Tak lama, seseorang datang menghampiri dengan langkah cepat.
“Lio!” suara itu familiar, Yudha, teman kampus yang diam-diam menyukainya. Ia menepuk bahunya pelan.
“Kalian udah pada kumpul ya ternyata.”
Liora sedikit tersenyum canggung dan mundur setengah langkah, menjaga jarak sopan.
“Eh, mereka siapa? Bukan anak kampus kita, kan?” tanya Yudha, menatap Dreya dan Vaelis dari ujung kepala sampai kaki.
“Mereka temanku,” jawab Liora singkat.
“Putri, kita bicara sebentar,” bisik Vaelis pelan, ekspresinya berubah serius.
Liora mengangguk. “Bentar ya, aku temenin Vaelis ke toilet dulu,” katanya pada Dinda dan Yudha sebelum pergi bersama Dreya dan Vaelis.
Begitu mereka sudah cukup jauh, Vaelis berbicara dengan nada rendah.
“Maaf, Putri. Tapi firasatku… laki-laki itu tidak baik. Ada sesuatu yang gelap di dalam auranya.”
“Aku juga merasakannya,” tambah Dreya lirih. “Energinya… bukan seperti manusia biasa.”
Liora terdiam sejenak. Ia menatap keduanya, lalu mengangguk pelan.
“Baiklah, aku akan berhati-hati. Aku percaya kalian.”
Vaelis menatapnya dalam. “Aku akan melindungimu. Jangan jauh dari kami, Putri.”
Liora menepuk bahunya lembut. “Aku tahu. Terima kasih.”
Mereka kembali bergabung dengan yang lain. Tak lama kemudian, guru pembimbing memberi instruksi agar semua peserta naik ke bus. Suara tawa, langkah kaki, dan derit koper memenuhi udara.
Liora, Dreya, Vaelis, dan Dinda duduk bersebelahan di kursi belakang.
Bus perlahan bergerak meninggalkan halaman kampus.
Liora menatap keluar jendela. Gedung-gedung mulai menjauh, digantikan pemandangan hijau yang memantul di kaca. Senyum kecil terbit di wajahnya.
Study tour kali ini akan menjadi awal dari sesuatu, ia bisa merasakannya.
Dan entah mengapa, firasat itu terasa sama manisnya dengan sekaligus berbahaya.
krn di dunia nyata kamu g diperhatikan, g disayang
apa mungkin bgmn cara'a spy kembali ke dunia sebenar'a, bgtukah thor🤭💪