NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:531
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Bawah Bayang-Bayang Kegelapan

Suasana di balairung berubah drastis dalam sekejap. Ejekan dan cemoohan yang sebelumnya memenuhi ruangan kini berganti menjadi ketakutan dan kepanikan. Para bangsawan yang tadinya sibuk mempermalukan Sultan mereka, kini saling pandang dengan wajah pucat mendengar kabar serangan Garamaya dan kebangkitan Bayang Hitam.

Al Fariz masih berdiri tegak di tengah ruangan, jubah compang-campingnya masih memancarkan cahaya keemasan samar. "Tenang!" suaranya menggema, memotong hiruk-pikuk yang mulai timbul. "Kepanikan tidak akan menyelamatkan kita."

Duta Garamaya tertawa pendek. "Luar biasa, Paduka. Masih bisa berpikir jernih di tengah berita buruk seperti ini."

Al Fariz menatapnya dingin. "Kau pikir ini kebetulan? Seranganmu bertepatan dengan kebangkitan Bayang Hitam?"

Wajah sang Duta berkerut. "Apa maksudmu?"

"Kau dan negerimu mungkin licik, tapi tidak cukup bodoh untuk membangkitkan kekuatan yang bisa menghancurkan kalian juga." Al Fariz melangkah mendekati sang Duta. "Jadi katakan, apa yang sebenarnya terjadi?"

Sebelum sang Duta sempat menjawab, dentuman keras mengguncang istana. Jendela-jendela kaca patri bergetar, debu beton berhamburan dari langit-langit. Teriakan panik pecah dari luar balairung.

Panglima Barok, seorang prajurit tua yang setia, bergegas masuk dengan wajah muram. "Paduka! Awan hitam dari utara... ia bergerak terlalu cepat! Sudah mencapai perbatasan kota!"

Al Fariz mengeratkan genggaman pada jubah compang-campingnya. Cahaya keemasan dari jubah itu semakin terang, seolah merespons ancaman yang mendekat.

"Panglima, kerahkan pasukan siaga. Evakuasi warga di daerah pinggiran kota ke benteng dalam." Perintah Al Fariz keluar dengan jelas, tanpa keraguan. "Dan siapkan ruang medis di sayap timur istana."

"Tapi Paduka—"

"Lakukan!" hardik Al Fariz. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, wibawa sebagai Sultan benar-benar terpancar dari dirinya.

Saat Panglima Barok bergegas pergi, Al Fariz menoleh kepada para bangsawan yang masih terpaku di tempat. "Dan kalian semua—entah kalian memilih untuk bertahan dan berjuang, atau lari menyelamatkan diri. Tapi ingat, tidak ada tempat yang aman jika Nurendah jatuh."

Beberapa bangsawan terlihat malu, menundukkan kepala. Yang lain masih tampak ragu.

Datuk Maharaja, penasihat tertua kerajaan, maju ke depan. "Baginda, dengan segel yang masih membelenggu kekuatan Paduka... bagaimana kita bisa melawan Bayang Hitam?"

Al Fariz menarik napas dalam. "Aku tidak tahu, Datuk. Tapi kita harus mencoba."

Dari sudut ruangan, Duta Garamaya tiba-tiba tersungkur. Tangannya memegangi dadanya, wajahnya berkerut kesakitan. "Dia... dia datang..."

Semua mata tertuju pada sang Duta. Dari mulutnya, suara aneh keluar—bukan suaranya sendiri, tapi suara parau dan penuh amarah. "Al Fariz... akhirnya kita bertemu lagi."

Al Fariz membeku. Ia mengenali suara itu. Suara yang selalu menghantui mimpinya.

"Bayang Hitam," bisiknya.

Suara itu tertawa, keluar dari mulut Duta Garamaya yang kini tubuhnya kejang-kejang. "Kau pikir segel yang mulai retak akan membantumu? Justru sebaliknya... itu yang membangkitkanku. Setiap retakan memberiku kekuatan."

Cahaya dari jubah Al Fariz tiba-tiba meredup, seolah ditelan oleh kekuatan gelap yang memenuhi ruangan.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Al Fariz, berusaha menahan gemetar di suaranya.

"Tahtamu. Kotamu. Dan nyawamu—sebagai pembalasan karena mengurungku selama ini."

Tiba-tiba, sang Duta Garamaya terjatuh, tak bergerak. Suara mengerikan itu menghilang, meninggalkan keheningan yang mencekam.

Al Fariz menatap tubuh sang Duta yang tak bergerak, lalu menoleh ke arah utara. "Dia sudah di sini. Di dalam kota kita."

Kepanikan yang sempat mereda kembali melanda balairung. Para bangsawan mulai berhamburan keluar, beberapa berteriak histeris.

Tapi Al Fariz tetap berdiri tegak. Tangannya meraih jubah compang-campingnya, memegang erat kain kasar itu. "Panglima! Tutup semua gerbang kota! Kerahkan semua prajurit ke tembok pertahanan!"

Saat para prajurit bergegas melaksanakan perintah, Al Fariz berjalan menuju jendela besar yang menghadap utara. Langit sudah berubah menjadi hitam pekat, meski hari masih pagi. Kilat merah menyambar-nyambar di dalam awan gelap, membentuk pola-pola yang mengerikan.

"Paduka," suara lembut dari belakangnya membuat Al Fariz menoleh. Dayang Sari, salah satu pelayan istana yang setia, berdiri dengan wajah pucat tapi penuh keyakinan. "Rakyat membutuhkan pemimpin mereka. Mereka takut."

Al Fariz mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa memimpin mereka dengan kekuatan yang masih terbelenggu."

"Kekuatan tidak selalu datang dari pedang atau sihir, Paduka." Dayang Sari menatap jubah compang-camping yang masih dikenakan Al Fariz. "Kadang kekuatan terbesar datang dari hati yang rela berkorban."

Kata-kata itu menyentuh sesuatu dalam diri Al Fariz. Ia teringat kembali pada nasihat pengemis tua. Jalan hinaan. Jalan kesabaran.

"Dia benar," gumam Al Fariz. "Aku harus menerima kehinaan untuk mendapatkan kekuatan sejati."

Dengan langkah pasti, Al Fariz berbalik dan berjalan keluar balairung, menuju balkon yang menghadap alun-alun kota. Di bawah, ribuan warga Nurendah sudah berkumpul, wajah-wajah mereka dipenuhi ketakutan.

"Warga Nurendah!" teriak Al Fariz, suaranya terdengar jelas di keheningan yang mencekam. "Kita menghadapi ancaman yang belum pernah kita alami sebelumnya. Tapi aku berjanji, selama napas masih ada di tubuhku, aku tidak akan menyerahkan kota kita pada kegelapan!"

Sorak-sorai bangkit dari kerumunan, tapi segera mereda ketika kilat merah kembali menyambar lebih dekat.

"Dengarkan aku!" lanjut Al Fariz. "Aku mungkin bukan Sultan yang sempurna. Aku telah membuat kesalahan. Tapi hari ini, aku berdiri di sini bukan sebagai penguasa yang tak terkalahkan, melainkan sebagai manusia yang sama takutnya dengan kalian. Manusia yang akan berjuang sampai titik darah penghabisan!"

Cahaya keemasan dari jubahnya tiba-tiba bersinar lebih terang, memancar ke sekelilingnya seperti matahari kecil di tengah kegelapan yang semakin mendekat.

"Dia mulai memahami," bisik seorang figura tua dari atap istana. Pengemis tua itu mengamati dari kejauhan, senyum tipis muncul di wajahnya. "Tapi apakah sudah cukup?"

Tiba-tiba, teriakan memilukan terdengar dari gerbang utara. Tembok pertahanan mulai retak, seolah diterpa oleh kekuatan tak terlihat. Prajurit-prajurit yang berjaga berteriak ketakutan ketika bayangan hitam mulai merayap masuk melalui celah-celah tembok.

Al Fariz menatap horor yang mulai menyebar di kotanya. Dadanya sesak, tapi ia tahu ini bukan waktunya untuk ragu.

"Semua prajurit, lindungi warga!" teriaknya. "Aku yang akan menghadapi Bayang Hitam!"

"Tapi Paduka—" protes Panglima Barok.

"Tidak ada waktu untuk berdebat!" potong Al Fariz. "Ini perintah Sultan-mu!"

Dengan langkah pasti, Al Fariz melompat dari balkon, mendarat dengan anggun di alun-alun. Cahaya dari jubahnya menerangi jalan saat ia bergegas menuju gerbang utara.

Di tengah jalan, ia bertemu dengan Dayang Sari yang terlihat panik. "Paduka, ada sesuatu yang harus kulihat!"

Mengikuti Dayang Sari, Al Fariz dibawa ke ruang pusaka kerajaan. Di sana, di dinding batu, ukiran-ukiran kuno mulai berpendar dengan cahaya yang sama dengan jubahnya.

"Apa artinya ini?" tanya Al Fariz.

"Menurut catatan kuno," kata Dayang Sari sambil membuka gulungan naskah tua, "ketika Bayang Hitam bangkit, hanya pewaris darah langit yang bisa mengalahkannya. Tapi kekuatannya harus dibangkitkan melalui pengorbanan."

Al Fariz membaca naskah itu dengan mata berbinar. "Pengorbanan... bukan korban jiwa, tapi pengorbanan harga diri. Pengorbanan ego."

Ia teringat kembali pada kata-kata pengemis tua. Jalan hinaan. Jalan sabar.

"Ku paham sekarang," bisik Al Fariz. "Ini bukan tentang menjadi kuat, tapi tentang rela menjadi lemah."

Dari luar, teriakan semakin menjadi. Bayang Hitam sudah masuk ke dalam kota, menghancurkan segala sesuatu di jalannya.

Al Fariz menatap naskah tua itu sekali lagi, lalu menoleh ke arah keributan di luar. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."

Dengan langkah tenang, ia berjalan keluar, meninggalkan ruang pusaka. Di tangannya, ia masih memegang erat jubah compang-camping yang kini menjadi simbol harapan baru.

Sementara itu, di gerbang utara, bayangan hitam mulai membentuk sosok manusia raksasa. Dua mata merah menyala menatap dengan kebencian mendalam, mencari sesuatu—atau seseorang.

"Al Fariz..." suara mengerikan itu bergema di seluruh kota. "Aku datang untukmu."

Dan dari kejauhan, Sultan Al Fariz berjalan mendekat, sendirian, dengan hanya berbekal jubah compang-camping dan hati yang dipenuhi tekad. Pertarungan terbesar dalam hidupnya akan segera dimulai, dan nasib seluruh Nurendah tergantung pada pilihannya di saat-saat berikutnya.

Pengemis tua masih mengamati dari kejauhan, wajahnya penuh dengan harapan dan kekhawatiran. "Pilihan ada di tanganmu sekarang, Al Fariz. Akankah kau mengorbankan segalanya untuk menyelamatkan mereka yang kau cintai?"

Kegelapan semakin mendekat, dan di tengah-tengahnya, cahaya kecil dari jubah compang-camping itu bersinar seperti bintang di malam yang paling gelap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!