Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27.
Tina merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Ia menerima notifikasi dari grup teman-temannya.
The queen
Dinar : Tina Lo kenapa tiba-tiba sama Tika sih? Kan harusnya sama Romeo pulangnya
Tika : iya lagi kan gue muter tapi gak apa-apa sih ya. Meladeni teman kita yang bete
Lila : kepo nih dia bete gara-gara apa?
Tina menatap layar handphonenya sambil mendengus pelan. Ia mengetik balasan dengan malas.
Tina: Udah deh, nggak usah dibahas. Gue cuma lagi capek aja.
Dinar: Capek apaan? Sepanjang piknik tadi Lo hepi-hepi aja.
Tika: Iya tuh, ceria banget, tapi pas mau pulang kok tiba-tiba beda.
Lila: Hmmm, jangan-jangan gara-gara Romeo, ya?
Tina langsung mengetik cepat.
Tina: Udah deh, nggak ada hubungannya sama dia. Gue cuma nggak mau pulang malem.
Pesannya terkirim, tapi teman-temannya masih saja terus menggoda.
Dinar: Bohong deh kayaknya. Ngaku aja Tin, Lo bete karena sesuatu yang dia bilang tadi, kan?
Lila: Ih bener tuh. Jangan denial dong, queen.
Tika: Eh, gue jadi inget. Pas kita deket grupnya Romeo tadi, dia ngomongin tembak-tembakan, kan? Jangan-jangan itu bikin Lo kepikiran?
Tina langsung menutup wajahnya dengan bantal sambil mendesah kesal. Dalam hati ia bergumam, "Kenapa sih mereka suka banget urusin gue?" Tapi memang, yang Tika bilang tadi sedikit mengusik pikirannya. Apa benar Romeo mau nembak seseorang? Dan kenapa rasanya... nggak nyaman?
Ia akhirnya membalas lagi.
Tina: Ya udah deh, terserah kalian mau mikir apa. Gue mau tidur. Bye.
Ia meletakkan handphonenya di meja samping tempat tidur, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal, Romeo. Kenapa rasanya semakin sulit buat bersikap biasa aja sama dia?
Tina duduk di tepi tempat tidurnya sambil memainkan ujung selimut, bibirnya mengerucut. Ia bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
"Kenapa sih gue harus kepikiran terus? Emangnya dia ngomongin siapa? Kok gue jadi kayak begini?" Tina menghela napas panjang, merasa kesal pada dirinya sendiri. "Dia mau nembak cewek? Ya udah, terus kenapa? Bukan urusan gue juga..."
Namun, semakin Tina berusaha mengabaikannya, semakin kata-kata Danan tadi terngiang di kepalanya: "Romeo, kalau Lo bisa, tembak aja."
"Aargh, kenapa sih ngomongnya kayak gitu?!" seru Tina sambil membenamkan wajahnya di bantal. Ia merasa dadanya sesak, campuran antara kesal, bingung, dan... mungkin sedikit cemburu? Tapi ia menolak untuk mengakuinya.
"Udahlah, Tin, mungkin dia emang lagi suka sama cewek lain. Biasa aja dong. Lo nggak usah mikirin." Tapi nada suaranya justru terdengar bergetar, menunjukkan bahwa hatinya jauh lebih berantakan dari yang ia tunjukkan.
Tina menatap langit-langit kamarnya dengan mata berkaca-kaca. Ia bergumam lirih, "Kenapa gue ngerasa kehilangan, ya? Padahal dia nggak ke mana-mana..."
...****************...
Romeo menatap Mimi dengan ekspresi datar sambil mengelus kepala kucing putih itu. "Dasar nggak mendukung. Lo kayaknya nggak ngerti perjuangan gue, ya?" Romeo menghela napas panjang, menatap ke luar jendela kamarnya yang mulai gelap.
Dia lalu berbicara lagi, seolah Mimi benar-benar bisa membalas, "Tapi kalau gue tembak Tina, terus dia nolak, gimana, Mi? Malu banget, kan? Dia pasti bakal ngejauh dari gue... Aduh, ribet banget, ya."
Mimi hanya duduk diam di pangkuannya, mengibas-ngibaskan ekornya santai. Romeo mengusap wajahnya dengan satu tangan. "Lo mah enak, Mi, hidup Lo cuma makan, tidur, sama minta dielus. Nggak kayak gue. Ngurus perasaan aja ribet banget."
Mimi tiba-tiba melompat dari pangkuan Romeo dan mengeong dua kali di dekat pintu kamar. Romeo langsung terkejut. "Hah?! Lo setuju gue tembak dia sekarang?"
Kucing itu hanya menatap Romeo seolah berkata "ngerti aja sendiri deh" sebelum keluar dari kamar. Romeo memutar mata dan tertawa kecil. "Dasar, nggak jelas. Tapi, siapa tahu Lo bener ya, Mi. Mungkin gue harus mulai mikir serius soal ini."
Romeo duduk di tepi tempat tidurnya, mengelus kepala Mimi yang ada di pangkuannya. "Nembak jadi pacar, ya... Tapi kalau dia nolak, gimana? Bisa-bisa kita malah jadi nggak enak ngobrol."
Dia memandangi layar handphonenya, berpikir keras sambil menggigit bibirnya. "Tapi kalau gue nggak bilang, Tina nggak bakal tahu. Lagian, gue nggak mau dia malah deket sama yang lain."
Mimi mengeong pelan, seolah menyemangatinya. Romeo mendesah, "Lo enak banget ya, Mi. Nggak perlu mikirin hal beginian." Dia meletakkan Mimi di lantai, lalu berdiri dan berjalan mondar-mandir di kamarnya.
"Harus ngomong, tapi kapan? Kalau gue ngajak dia jalan lagi, pasti ketahuan sama yang lain. Tina kan nggak suka rame-rame, apalagi kalau lagi serius ngobrol." Romeo menghentikan langkahnya dan menatap handphonenya lagi.
Dia mengetik pesan singkat untuk Tina, "Tin, bisa ngobrol bentar nggak?" Namun, setelah membaca ulang pesan itu, dia langsung menghapusnya.
"Kenapa susah banget ngomong sama dia?!" Romeo membanting diri ke tempat tidur sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Dia menggerutu pelan, "Udahlah, gue harus cari waktu yang pas... Jangan kebanyakan mikir!"
...****************...
Pagi itu, rumah Romeo mendadak ramai oleh kehadiran Tina, Hanan, dan Dika. Mereka datang tanpa pemberitahuan, hanya disambut oleh mama Romeo yang mempersilakan mereka masuk. Tina tampak paling bersemangat, dengan wajah ceria sambil membawa sekantong kecil makanan kucing.
Di ruang tamu, ia langsung menghampiri Momo, anak kucing kecil berwarna putih abu dan hitam yang sedang tidur nyaman di dekat Mimi. Tina dengan bangga menunjuknya sambil berkata, “Ini anak gue, namanya Momo.”
Hanan yang masih mengira mereka berbicara tentang manusia langsung terperanjat. "Hah? Anak? Lo serius?" tanyanya dengan ekspresi bingung.
“Ya ampun, Hanan. Maksud gue anak kucing ini, bukan manusia,” jawab Tina sambil terkekeh.
Dika menggeleng-gelengkan kepala. “Tina, anak kucing juga dianggap anak, ya? Lo emang unik banget.”
Tina menatap Momo dengan penuh kasih sayang. “Iya dong, kan gue yang kasih nama dia. Jadi kayak anak gue juga.”
Hanan, tak mau kalah, menimpali dengan nada menggoda, “Ya udah, Bu Tina. Jangan lupa kasih uang saku buat anak lo, ya.”
Tina hanya mencebik, sementara Hanan dan Dika tertawa puas. Mereka lalu mendekati Momo dan Mimi, yang tampak nyaman di pojok ruangan. Mimi terlihat cuek, tapi Momo mengedipkan mata kecilnya, seolah penasaran dengan orang-orang asing ini.
Tiba-tiba, suara pintu kamar terbuka, menampakkan Romeo yang baru saja bangun tidur. Rambutnya acak-acakan, dan wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kantuk.
“Apaan rame-rame pagi-pagi gini?” tanyanya dengan suara serak.
Tina dengan cepat menyambutnya. “Ro, gue ngenalin anak gue ke mereka,” katanya sambil menunjuk Momo.
Romeo mengerutkan dahi. “Anak? Maksud lo si Momo?”
Tina mengangguk yakin. “Iya, Momo kan anak gue.”
Romeo mendengus, setengah bingung setengah geli. “Kucing gue maksudnya,” koreksinya.
Dika, yang sejak tadi menikmati perdebatan kecil itu, akhirnya angkat bicara. "Udah-udah, jangan berantem."
Semua langsung tertawa. Romeo menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. Meski terlihat kesal, ia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya melihat Tina dan teman-temannya begitu ceria di rumahnya. Sesekali, ia melirik Tina, yang sedang asyik bermain dengan Momo, sambil berpikir, Kadang nyebelin, tapi bikin hari-hari jadi lebih hidup juga.
"Kenapa malah Lo baru bangun?" tanya Hanan protes.
"Lo lupa sama janji kita?" tanya Dika pada Romeo yang masih mengantuk memang hari libur ya harusnya santai tapi mereka malah ganggu hari minggunya.
Romeo mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk yang masih menguasai. Ia menatap Hanan dan Dika dengan tatapan bingung. "Janji apa, sih? Hari Minggu gini gue mau tidur, malah kalian rame-rame ke sini," keluhnya.
Hanan melipat tangan di dada. "Janji buat main basket, Romeo! Lo yang ngajakin minggu lalu, lupa?"
Dika mengangguk, menambahkan. "Iya, dan tadi kita udah nunggu di lapangan, malah Lo nggak nongol-nongol. Pas gue tanya, ternyata Lo masih tidur."
Romeo menghela napas panjang. "Ya ampun, gue pikir kalian bakal lupa. Lagian ini hari Minggu, santai dulu napa."
Tina yang sejak tadi asyik dengan Momo menoleh dan tertawa kecil. "Wah, Romeo kena serang pagi-pagi. Padahal keliatannya Lo malah niat ngelupain janji."
"Gue nggak lupa! Gue cuma... ya...lupa bangun aja," jawab Romeo setengah membela diri.
Hanan menggeleng, setengah kesal setengah geli. "Udah-udah, ganti baju sana. Kita tunggu di luar."
Romeo menatap mereka satu per satu, lalu menghela napas lagi. "Oke, gue siapin dulu. Tapi nggak usah buru-buru ya. Gue butuh kopi dulu."
Tina hanya tersenyum jahil sambil mengangkat Momo. "Ya udah, Ro. Gue sama Momo tungguin di sini aja, biar anak gue nggak kaget kalau Lo ngelupain dia juga."
Romeo memutar bola matanya sambil berjalan menuju kamarnya. "Sumpah, Tina, jangan bikin gue makin pusing pagi-pagi gini."
Hanan dan Dika tertawa keras mendengar itu, sementara Tina tersenyum lebar, merasa puas berhasil menggoda Romeo di pagi harinya.
"Lo ikut gak?" tanya Romeo pada Tina yang masih anteng aja sama Momo, sedangkan Hanan dan Dika bermain game di sofa.
"Kemana?" tanya Tina pada Romeo, Dika dan Hanan bangun dari tempat duduknya.
"Mau ke depan, main basket." jawab Romeo pada Tina.
Tina menatap Romeo sejenak, lalu melirik Momo yang sedang tidur nyenyak di pangkuannya. "Main basket? Ngapain gue ikut? Gue gak jago main basket," jawab Tina sambil mengelus kepala Momo dengan lembut.
"Yaudah, nonton aja. Biar ada yang sorakin kita," sahut Romeo sambil mengambil bola basket yang ada di sudut ruangan.
Dika dan Hanan tertawa mendengar ucapan Romeo. "Sorakin? Lo yakin, Ro? Kayaknya dia malah bakal sibuk sama kucingnya," ejek Dika.
Romeo mendekat ke Tina, tangannya melambai di depan wajah gadis itu yang masih fokus pada Momo. "Halo, Tina? Mau ikut atau nggak? Jangan sampai gue harus gendong lo ke lapangan."
Tina mendongak, menatap Romeo dengan tatapan malas. "Lo berani gendong gue, gue panggil Mamah lo!" ancamnya sambil cengengesan.
Romeo mendesah, setengah kesal, setengah pasrah. "Yaudah, jangan nyesel kalau nggak diajak lagi."
Tina tertawa kecil sambil menggendong Momo, lalu berdiri. “Oke, gue ikut. Tapi Momo ikut juga. Nggak ada tawar-menawar.”
Hanan langsung terkekeh. "Astaga, Romeo. Lo ngajak Tina malah dapet bonus Momo."
Romeo hanya menggelengkan kepala, mencoba menahan tawa. "Ya udah, bawa aja sekalian. Tapi jangan salahin gue kalau Momo bosan."
"Tenang aja, dia gak bakal bosan. Gue yang bakal seru-seruan nonton kalian," jawab Tina santai sambil berjalan ke pintu, diikuti oleh Romeo, Dika, dan Hanan.