Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#10
"Ada apa ini? Kenapa aku seperti mendengar perdebatan dari luar sana," ucap Afi yang baru muncul dari pintu utama.
Semua perhatian langsung teralihkan pada Afi. Hana yang kesal langsung menghampiri kakaknya. Niatnya tentu saja untuk mengadukan apa yang telah Nindi perbuat pada mereka.
Sementara Nindi, wajah santai tanpa rasa bersalah dia pertahankan. Sekarang, Nindi benar-benar terlihat lebih bebas. Dia terlihat lebih tanpa beban sekarang.
"Kak Afi. Lihatlah istri kesayangan mu ini. Dia baru saja marah-marah pada mama. Mama hanya bicara satu kata, dia balas dengan puluhan ribu kata. Sungguh luar biasa kakak ipar ku yang satu ini. Sangat-sangat luar biasa sampai aku-- "
"Cukup. Aku bisa dengar apa yang terjadi dari luar. Kenapa sih kalian, hm? Kenapa masih cari gara-gara dengan Anin? Tolonglah. Aku sudah mengorbankan banyak hal. Jangan buat aku mengubah pikiran ku untuk kalian."
Hana terdiam. Sementara Nisa, langsung menghampiri anaknya. Dengan penuh kelembutan, ia ajak anaknya duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.
"Jangan dengarkan apa yang Hana katakan, Fi. Kamu juga tahu kalau Hana itu manja. Dia anak bungsu, terlalu dimanjakan. Jadinya, sikap manjanya terlalu sulit untuk dia sembunyikan."
Afi tidak menjawab apa yang mamanya katakan. Dia masih enggan untuk mengalihkan pandangannya dari Nindi. Wanita itu masih diam. Saat Afi bergerak, Anindia juga melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri sebelumnya.
Tanpa sepatah kata yang terucap, Anin pergi. Afi yang baru menyadari langkah kaki Nindi berjalan menjauh, langsung mengeluarkan kata-kata untuk menahannya.
"Anin, tunggu! Kamu mau ke mana?"
Tidak hanya berucap, Afi juga beranjak mendekat ke arah sang istri. Niatnya untuk duduk di samping mamanya ia batalkan seketika.
"Anin, mau ke mana? Biar aku antar kan ya."
"Tidak perlu, Mas. Aku hanya keluar sebentar saja. Kamu tidak perlu bersusah payah untuk mengantar aku."
"Anin, aku gak bersusah payah kok. Aku bahagia. Aku-- aku ... biarkan aku menikmati waktu ku bersama mu, Nin. Ku mohon."
"Aku rasa tidak perlu. Kamu punya banyak urusan yang harus kamu lakukan. Jadi, tidak perlu ikut. Lagian, aku hanya pergi sebentar ke minimarket depan jalan sana. Tidak butuh kamu antar kan juga karena cukup dekat."
"Tapi .... "
"Sudahlah. Jangan nambah kerjaan. Urus saja urusan pernikahan mu yang belum selesai itu. Aku bisa sendiri melakukan pekerjaan ku."
"Anindia." Wajah sedih Afi terlihat dengan sangat jelas. "Maafkan aku."
"Maaf? Untuk apa? Tidak ada yang salah kok. Tidak perlu minta maaf."
"Anindia, aku-- "
"Aku harus pergi sekarang, Mas. Hari sudah semakin sore."
Afi pun pasrah untuk melepaskan kepergian istrinya ini. Wajah sedihnya terlihat dengan sangat jelas. "Baiklah, Anindia. Hati-hati di jalan."
"Oh iya, tunggu sebentar, Nin. Aku punya sesuatu yang ingin aku berikan padamu. Sebuah hadiah yang harus kamu terima," ucap Afi sambil merogoh saku jas yang ia pakai.
Sesaat kemudian, dari dalam saku tersebut Afi keluarkan kotak kecil yang berbentuk persegi empat. Kotak kecil berwarna hitam pekat itu tersembunyi barang yang mungkin sangat berharga di dalamnya. Afi menyerahkan kotak itu tanpa memperlihatkan terlebih dahulu apa isi dari kotak tersebut.
"Untukmu yang harus kamu terima, Anin." Afi berucap sambil menyerahkan barang yang ada di tangannya ke tangan Anin.
Nindi terlihat cukup bingung. Sementara pasangan ibu dan anak terlihat sangat dongkol akan hal tersebut. Sayangnya, kedua sepakat untuk tetap menahan diri walau saat ini sedang sangat kesal. Karena mereka sama-sama yakin, bahwa isi di dalam kotak tersebut adalah hal yang cukup berharga.
"Apa ini?"
"Tidak perlu bertanya, Anindia. Ini untukmu dari suamimu. Kamu harus menerimanya. Tidak boleh menolak."
"Tapi-- "
"Aku sudah bilang kalau tidak boleh menolak bukan? Jangan buat aku semakin nekat untuk memberikan kamu banyak hadiah. Kamu masih ingat bagaimana kerasnya usaha ku sebelumnya, Anin?"
Anindia terdiam. Tentu saja ia ingat seperti apa keras kepalanya Hanafi. Pria yang tidak akan pernah mau menyerah dalam mengejar cinta. Entahlah. Saat itu mungkin karena hati Nindi juga sudah tertawan akan pemuda yang sedang mengejarnya, makanya dia tidak ingin menolak lagi.
Awal-awalnya juga dia sempat melakukan penolak. Saat Afi memberikan dia hadiah, dia akan menolaknya dengan tegas. Tapi apa yang akan dia dapatkan dari penolakan yang ia lakukan. Afi akan semakin banyak mengirimkan hadiah untuknya. Seperti, jika awalnya satu, makan setelah di tolak, hadiahnya akan jadi tiga atau bahkan empat.
"Anin."
Panggilan itu menyadarkan Nindi dari pikiran masa lalu yang cukup membuat hatinya bahagia. Sayangnya, kebahagiaan masa lalu tidak akan pernah bisa ia bawa ke masa depan.
"Iya. Ada apa?"
"Apa kamu bersiap untuk menolak hadiah yang aku berikan?"
"Tidak. Aku menerimanya."
"Benarkah? Baguslah. Aku sangat bahagia. Semoga kamu suka dengan hadiah yang aku berikan," ucap Afi penuh semangat.
Nindi pun langsung nyengir kuda dengan singkat. "He. Ya, hadiahnya sudah aku terima. Sekarang, aku boleh pergi?"
"Ah, iya. Baiklah. Kamu boleh pergi sekarang. Tapi, hati-hati ya, Nin. Harus pulang dengan cepat."
"Hm."
Nindi pun langsung beranjak meninggalkan suaminya dengan langkah besar. Dia ingin cepat-cepat menjauh dari pandangan si suami. Suami yang sudah menaburkan luka dalam hatinya.
Anindia menatap kotak yang ada di tangannya setelah dia berada di luar rumah. Kotak yang cukup membuat hatinya penasaran dengan isi yang masih tersembunyi di dalamnya.
Nindi menghentikan langkah kakinya sebentar. Dia buka kotak tersebut setelah dia pandangi kotak itu selama beberapa saat. "Hadiah? Hadiah apapun itu yang kamu berikan, tetap saja tidak akan pernah bisa mengobati luka hati yang kamu gores kan, Mas Afi."
Kotak terbuka. Gelang cantik terlihat dengan sangat jelas di dalamnya. Nindi mengeluarkan isi dari kotak tersebut. Cukup indah. Gelang emang dengan tiga buah hati yang terbuat dari berlian kecil terbentuk dengan sangat rapi.
Nindi tersenyum pahit. "Tiga hati. Apa maksudnya ini? Apa kamu ingin memberitahukan padaku kalau hatimu sudah terbagi sekarang, Mas?"
Mengingat semua hal yang telah ia lewati, Anindia ingin sekali menangis. Namun, dia tahan dengan sekuat tenaga. Nindi menarik napasnya dalam-dalam, lalu melepasnya dengan kasar.
"Ayolah, Anindia. Jangan menangis lagi. Jangan buang air mata lagi. Pria tidak perlu ditangisi. Dunia masih tetap akan berjalan tanpa dia. Lagipula, dia bersama mu hanya sesaat saja bukan? Kamu sudah terbiasa sendiri. Kamu sejak kecil juga tidak bersama dengannya. Jadi, sekarang, kamu pasti akan baik-baik saja jika hidup tanpa dia."
"Ayolah-ayolah. Kamu bisa. Luka itu akan sembuh seiring berjalannya waktu. Dunia ini, semua hanya sementara, Anin."
"Cinta pria hanya sesaat saja, Nindi. Tidak perlu kamu tangisi."
Setelah bicara panjang lebar pada dirinya sendiri, Anindia kembali menarik napas panjang. Dia tersenyum sambil menatap ke depan. "Kamu bisa, Anindia. Kamu bisa."
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.