Mia Maulida seorang wanita berusia 36 tahun dengan dua orang anak yang beranjak remaja menjalankan multi peran sebagai orangtua, isteri dan perempuan bekerja, entahlah lelah yang dirasa menjalankan perannya terbersit penyesalan dalam hati kenapa dirinya dulu memutuskan menikah muda yang menjadikan dunianya kini terasa begitu sempit, Astaghfirullahal'adzim..lirihnya memohon ampun kepadaNYA seraya berdoa dalam hati semoga ada kebaikan dan hikmah yang dirasakan di masa depan, kalaupun bukan untuknya mungkin untuk anak anaknya kelak.
Muhammad Harris Pratama seorang pengusaha muda sukses yang menikah dengan perempuan cantik bernama Vivi Andriani tujuh tahun lalu, nyatanya kini merasakan hampa karena belum mendapatkan keturunan. Di saat kehampaan yang dialaminya, tak disangka semesta mempertemukan kembali dengan perempuan cantik berwajah bening nan teduh yang dikaguminya di masa putih abu-abu. Terbersit tanya kenapa dipertemukan saat sudah memilki kehidupan dengan pasangan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutiah Azzqa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Di dalam mobil sepanjang perjalanan pulang, Aris dan Vivi tidak ada yang ingin bersuara keduanya saling terdiam dengan fikirannya masing-masing, Aris sepertinya sedang fokus menyetir sedangkan Vivi hatinya merasa tidak karuan, perasaannya kacau balau, bukan lagi bersedih tapi labih dari itu, Ia ingin marah tapi kepada siapa ??
Marah ke suaminya? Sedangkan Vivi tahu persis Aris juga bimbang untuk mengambil keputusan besar itu, banyak yang harus dipertimbangkan tentu menyangkut hati dan perasaan dirinya sebagai isteri. Selama ini Aris suami yang baik, tidak berlaku kasar kepadanya, tak pernah sekalipun membentaknya, ia suami yang sangat pengertian menuruti apa yang dimau isterinya, seperti Aris yang menyetujui keinginannya waktu awal menikah untuk menunda kehamilan padahal saat menikah usia suaminya 29 tahun, usia yang pantas untuk menjadi seorang Ayah. Sedangkan Vivi yang memutuskan menikah setelah lulus kuliah berusia 23 tahun rasanya belum siap untuk hamil, saat itu ia ingin melewati masa-masa indah berdua dengan melakukan banyak hal bersama suaminya tanpa terhalang repotnya memiliki baby.
Atau ia marah kepada mertuanya? Pantaskah Vivi marah kepada mertuanya yang begitu berharap untuk memiliki cucu di usia yang sudah memasuki masa senja, sedangkan kedua orang tuanya saja yang sebaya sudah memiliki cucu yang beranjak remaja dari kakaknya, mas Andre. Bukankah sangat wajar mertuanya ingin merasakan kehangatan keluarga di masa senja dengan kehadiran cucu yang lucu dan bisa memberikan kebahagiaan, menjadi kebanggaan dan penerus estafet bisnis keluarga yang sudah dirintis susah payah oleh mertuanya dan harapan itu hanya ada di pundak Aris seorang, karena suaminya yang anak tunggal.
Apakah ia patut marah kepada Tuhannya? Sedangkan apa ruginya bagi Allah kalau salah satu makhluknya bernama Vivi Andriani yang lemah ini marah, bukankah itu hak prerogratif Allah dalam memberikan ujian kebahagiaan atau kesedihan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya? Ia tahu andaikan seluruh makhluk di atas bumi ini marah dan tidak beribadah kepada-Nya saja, tidak akan mempengaruhi sedikitpun akan sifat Allah, sebagai Tuhan yang maha segalanya yang menguasai langit dan bumi. Karena justru ia yang hanya seorang hamba yang lemah harus mendekat dan merayu Tuhannya.
Lalu Vivi berfikir mungkin ia hanya pantas marah kepada dirinya sendiri, menyesali langkah yang diambil di awal pernikahan karena dengan sengaja menahan untuk tidak hamil dalam waktu lama, bukankah itu seperti ia yang punya hak mengatur Tuhannya sendiri ?, seolah ia yang punya kuasa atas tubuhnya kapan ia tidak ingin punya anak dan kapan ia ingin memilikinya secepat mungkin dengan bebas seenak jidatnya sendiri, Ya Allah mungkinkah Engkau marah dan menghukumku ? atau engkau ingin menunjukkan kuasaMu ? ampuni hamba ya Allah...lirihnya dalam hati dengan memejamkan matanya seraya mengakui dosanya kepada sang pencipta, tanpa terasa air matanya luruh begitu saja. Agar suaminya tak melihatnya, ia buru-buru menyeka air matanya dan mengalihkan pandangan ke samping pintu ke arah jalan raya.
Terbersit tanya dalam hati Vivi apa mungkin ia mampu ikhlas jika harus berbagi suami dengan wanita lain? bagaimana bisa ia akan menghadapi keadaan yang tak lagi sama, dari yang suaminya selalu ada di sisinya berubah tidak bisa setiap saat ada, karena harus membagi waktu dan perhatiannya untuk isterinya yang lain. Lalu kalau suaminya memiliki anak dari isteri yang lain, apakah ia mampu untuk mencintai dan menyayanginya dengan tulus dan ikhlas ?
Vivi menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, ingin rasanya ia menjerit, berteriak sekencang mungkin untuk melampiaskan semua amarah, tekanan yang dirasakan hati dan fikirannya tentang poligami, apakah Ia lebih baik mundur saja melepaskan diri dari ikatan pernikahan dengan Aris agar bisa terbebas dari tekanan ini? Tapi mungkinkah ia mampu hidup sendiri tanpa Aris ? begitu lemahkah ia yang belum apa-apa memilih mundur sebelum berjuang, di mana letak pengorbanan dirinya untuk seseorang yang sangat dicintainya ? bukankah ia seharusnya bahagia jika suaminya bisa mendapatkan kebahagiaan yang selama ini didambakan meski bukan dengannya?
Ia harus memberi kesempatan kepada suaminya, ia harus belajar dan berjuang merelakan suaminya berbagi cinta dengan memiliki isteri yang lain untuk mendapatkan penerus keluarga, bukankah itu jalan yang lebih baik, jauh lebih terhormat dan mulia dibandingkan dengan suami di luar sana yang dengan sengaja berselingkuh di belakang isterinya lalu menikah dengan cara diam-diam, bukankah itu lebih menyakitkan dan menghancurkan hati seorang isteri?
Suasana terasa begitu sunyi di dalam mobil, tapi tidak dengan fikiran dan hatinya yang sangat berisik. Ia menoleh ke samping kanannya, menatap suami tampannya yang penuh dengan pesona dan daya tarik sebagai laki-laki. Pasti tidak sulit bagi suaminya untuk memiliki isteri baru, mau pilih kriteria yang bagaimana pun gampang tinggal tunjuk, mau yang cantik, seksi, kulit putih atau sawo matang, ia rasa pasti tidak akan ada wanita manapun yang mampu menolaknya dan mungkin para wanita di luar sana banyak yang mendambakan sosok suami seperti Aris yang tampan, mapan, pengertian dan taat beribadah.
Tak terasa waktu terus berjalan, jalanan pun tidak terlalu macet, hingga akhirnya mereka sudah tiba di depan rumahnya, dengan masih terpaku di tempat duduknya Vivi belum membuka seat belt nya dan Aris yang hendak turun, melihat ke arah isterinya lalu membukakan seat belt nya,
"Sudah sampai Vi..ayo kita turun" ajak Aris dengan mengusap pundak isterinya
Vivi seolah tersadar dari lamunannya kaget, "ooh.. udah sampai yaa ?" Ia mengerjapkan matanya
"Selamat malam Den, Non.?! Sapa Bi Ijah sang ART kepada kedua majikannya di depan ruang tamu,
"Malam Bi.." balas Aris sedangkan Vivi masih membisu seolah setengah jiwanya tak berpijak di bumi.
"Tolong dicek semua pintu dan jendela pastikan dikunci ya Bi, lalu istirahat sudah malam" perintah Aris kepada Bi Ijah
"Siap Den.." jawab Bi Ijah selalu sigap.
Kemudian Aris merangkul pundak isterinya menuju kamar, ia dan isterinya beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu, lalu melaksanakan kewajiban empat raka'atnya bersama, kemudian keduanya berdo'a dengan khusyuk, memohon ampunan atas dosa dan kekeliruan yang diperbuat, menumpahkan segala rasa sesak yang ada di dalam dada, memasrahkannya semua kepada sang pemilik kehidupan, memohon diberikan jalan yang terbaik untuk masalah rumah tangganya yang ingin bahagia mempunyai keturunan sebagai penerus keluarga.
Setelah selesai berdo'a, Aris membalikkan badannya dan melihat isterinya yang berdo'a dengan mata yang terpejam, bersimbah air mata, lalu Vivi mengakhiri doa'nya dengan menangkupkan kedua tangannya ke depan wajahnya, tapi ia lama tak juga membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya seraya tertunduk dan sesenggukan karena masih menangis. Seketika Aris merengkuh tubuh isterinya yang memakai mukenah ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya pelan, mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Berharap tangis isterinya mereda dan bisa tenang.
Setelah tangisnya mereda dan hatinya sedikit tenang, Vivi berusaha melepaskan diri dari dekapan Aris lalu menatap wajah suaminya, dengan suaranya yang sedikit parau,
"Mas..selama ini kita sudah sering traveling berdua, mengunjungi tempat-tempat yang bagus tapi kita belum pernah sekalipun selama menikah berkunjung ke rumah Allah"
Aris menghirup nafas dan tersenyum, " iya, insya Allah secepatnya kita agendakan pergi umroh ya..."
"Terimakasih mas.." ucap Vivi yang merasa senang karena suaminya selalu mengerti dirinya, Vivi kembali memeluk suaminya dengan erat.