ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: Rahasia yang Terbongkar
Hari-hari berlalu dalam ritme yang teratur, nyaris seperti alunan musik lembut yang menenangkan. Kehidupan Elina dan Adrian perlahan membentuk pola: pagi yang hangat dengan sarapan sederhana, ciuman singkat di dahi Claire sebelum berangkat sekolah, dan percakapan ringan di meja makan malam saat hari hampir berakhir.
Elina tetap mengajar di taman kanak-kanak seperti biasa. Ia belajar menyeimbangkan tugasnya sebagai guru dan perannya sebagai ibu bagi Claire, gadis kecil yang semakin lengket dengannya, menyebutnya "Mama" dengan kepercayaan yang tak tergantikan. Sesekali Claire membawa pulang gambar tangan kecil mereka bertiga, menyebut itu sebagai "keluarga bahagia."
Di sela-sela kesibukannya, Elina juga perlahan menyesuaikan diri dengan peran barunya sebagai istri. Ia belum terbiasa dengan semua perhatian dan kelembutan yang diberikan Adrian, tapi ia belajar menerimanya sedikit demi sedikit, dari cangkir teh yang Adrian buatkan saat ia terlihat lelah, dari pelukan singkat di pintu saat menyambutnya pulang, hingga senyum tenang yang menghiasi wajah lelaki itu setiap kali menatapnya.
Setiap akhir pekan, Elina mengikuti kursus mengemudi. Adrian sendiri yang mendaftarkannya, dengan alasan sederhana: "Kamu harus bisa pergi ke mana pun kamu mau, tanpa tergantung siapa pun." Awalnya, Elina gugup, kemudi mobil terasa terlalu besar di tangan mungilnya. Tapi waktu berjalan, dan perlahan ia menjadi lebih percaya diri.
Hingga suatu hari, setelah pelajaran terakhir dan surat izin mengemudinya resmi keluar, Adrian menjemputnya sendiri.
"Kamu siap pulang, Elina?" tanyanya dari balik kemudi, tapi ada senyum kecil yang tampak disembunyikan.
"Siap," jawab Elina.
Tapi bukannya pulang ke rumah, mobil mereka berhenti di sebuah showroom mobil mewah yang sederhana tapi elegan. Elina menoleh dengan bingung.
"Apa kita mau lihat-lihat mobil?" tanyanya.
Adrian mengangguk. "Bukan lihat-lihat. Tapi mengambil satu untukmu."
Elina membeku. "Untuk... aku?"
Adrian mengangguk sekali lagi. "Kamu sudah berlatih, sudah berani, sudah bisa, jadi kamu berhak memiliki kendaraanmu sendiri."
Satu unit mobil berwarna putih susu dengan desain ramping dan elegan, lengkap dengan pita besar berwarna emas di kapnya, telah disiapkan. Di dalamnya, gantungan kunci kecil berbentuk huruf "E" tergantung di dekat stir.
Elina menatap hadiah itu dengan mata membulat. "Adrian... ini terlalu berlebihan..."
"Tidak." Suara Adrian tenang, tapi penuh makna. "Ini bentuk kebebasanmu. Aku ingin kamu tahu, bahwa dalam pernikahan ini, kamu tetap punya kendali atas hidupmu."
Mata Elina memanas. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk sambil menahan senyum dan air mata yang menggenang. Di bawah matahari senja yang mulai turun, ia tahu satu hal dengan pasti, cinta yang tumbuh di antara mereka bukan lagi benih, melainkan pohon muda yang mulai mengakar.
Dan hidup yang dulu terasa sempit, perlahan berubah menjadi jalan panjang yang bisa ia tempuh dengan tenang... dalam kendali tangannya sendiri.
...****************...
Hari itu langit sore berwarna keemasan, seolah menutupi kecemasan yang diam-diam tumbuh dalam dada Elina. Ia baru saja pulang mengajar ketika undangan dari Elizabeth Leonhart masuk ke ponselnya. Singkat, tanpa banyak kata. Hanya memintanya datang ke rumah keluarga Leonhart sore itu. Tanpa Adrian.
Elina sempat ragu. Tapi ia datang juga, mengemudi sendiri, Claire duduk tenang di kursi belakang dengan bonekanya. Perasaan tak enak menggantung sejak awal, dan semakin nyata begitu mobil mereka berhenti di halaman rumah megah itu.
Tak ada senyum menyambut. Tak ada kehangatan keluarga.
Elizabeth berdiri di ambang pintu dengan wajah dingin dan mata tajam. Sambil menahan nada suaranya, ia berkata, "Maria, bawa Claire ke taman. Biar dia bermain sebentar."
Claire menoleh ke Elina dengan tatapan ragu, namun Elina tersenyum dan mengangguk pelan. "Pergilah, Sayang. Mama sebentar saja."
Saat Claire menghilang bersama pelayan, Elizabeth langsung berbalik, langkah-langkahnya terukur namun penuh tekanan.
"Ikut aku."
Elina menuruti, melangkah masuk ke ruang kerja yang besar dan sunyi. Pintu tertutup di belakang mereka, menyisakan dua perempuan yang kini berdiri berseberangan di bawah cahaya lampu gantung berdesain klasik.
Tanpa banyak kata, Elizabeth melemparkan sebuah map tipis ke atas meja kayu besar. "Buka."
Elina menatap map itu dengan hati berdebar. Tangan gemetar perlahan meraih dan membuka isinya.
Beberapa lembar dokumen keluar dari dalamnya. Begitu matanya jatuh pada baris-baris tulisan yang tertata rapi dan tandatangan di bagian bawahnya, dunia seolah berputar.
Itu adalah... surat perjanjian nikah kontrak.
Dokumen hukum. Di situ tertulis jelas: pernikahan antara Adrian Leonhart dan Elina Jangka waktu. Syarat-syarat. Ketentuan yang mengikat. Termasuk bagian yang menyebutkan bahwa jika salah satu pihak merasa pernikahan tidak lagi diperlukan, kontrak bisa diputus kapan saja.
Suara Elizabeth menyusul dengan tajam, memecah kesunyian.
"Lucu, ya? Aku bahkan tidak tahu cucuku begitu nekat melakukan ini... sampai aku menemukan dokumen ini!"
Elina tidak bisa menjawab. Matanya masih terpaku pada surat itu. Kenangan tentang awal pernikahan mereka mengambang satu per satu. Tentang bagaimana semua bermula karena Claire. Karena kebutuhan. Karena keterpaksaan.
"Jadi semua ini hanya kontrak, kan?" lanjut Elizabeth, nadanya penuh ironi. "Pernikahan kalian, kasih sayangmu pada Claire, semua... bisa saja hanya bagian dari kesepakatan?"
Elina mengangkat wajahnya perlahan. Luka dalam matanya tak bisa ia sembunyikan, tapi suaranya tetap lembut.
"Awalnya, ya. Tapi tidak semuanya tetap begitu."
Elizabeth melipat tangannya di dada. "Dan kamu pikir, jika kamu cukup manis, cukup baik, kamu bisa menghapus kenyataan bahwa kamu bukan siapa-siapa sebelum ini?"
Elina menarik napas panjang, berusaha tidak terpancing. Ia menatap wanita itu lurus-lurus.
"Saya tidak pernah ingin menjadi siapa-siapa, Nek. Saya hanya ingin menjalani apa yang sekarang sudah menjadi bagian dari hidup saya... dengan jujur dan sepenuh hati. Adrian mungkin tidak memulai ini dengan cinta. Tapi yang saya tahu, kami bertumbuh bersama. Kami berubah."
Elizabeth tertawa kecil, getir. "Kamu yakin dia berubah? Atau kamu hanya ingin percaya itu?"
Alih-alih menjawab, Elina merapikan dokumen itu dengan hati-hati, lalu menutup map dan meletakkannya kembali ke meja.
"Apa pun yang Anda pikirkan tentang saya, satu hal yang saya tahu pasti: saya mencintai Adrian. Dan saya mencintai Claire... bukan karena kontrak. Tapi karena saya ingin mereka menjadi rumah saya."
Ia berdiri. Sorot matanya tenang, meski luka menggurat dalam.
"Saya pamit."
Tanpa menunggu izin, Elina membuka pintu dan pergi meninggalkan ruangan itu. Hatinya penuh gelisah, tapi langkahnya tetap tegap.
Di taman belakang, Claire berlari menghampirinya sambil tertawa riang, tak tahu badai apa yang baru saja melewati ibunya.
...****************...
Langit mulai gelap ketika Elina kembali ke mobil, menggandeng Claire yang masih bercerita tentang bunga di taman dan kelinci-kelinci kecil yang katanya bisa melihatnya dari balik semak. Suara anak itu seperti riak air di danau yang tenang, membelai hati Elina yang sedang dihantam badai dari dalam.
"Ma, Claire seneng banget main di sana. Tadi tante Maria kasih aku kue juga. Tapi... Mama kenapa diam aja?" tanya Claire polos, dari kursi belakang.
Elina tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan luka yang masih menghangat. "Mama cuma capek, Sayang. Tapi Mama senang kamu bahagia."
Mobil melaju kembali ke rumah mereka, rumah tempat Elina mulai belajar menjadi istri dan ibu, rumah yang kini terasa berbeda setelah lembaran kertas di map itu memperjelas sesuatu yang sebelumnya hanya samar dalam hatinya: bahwa pernikahan ini memang pernah dibangun di atas dasar kontrak, bukan cinta.
Namun... bukankah cinta bisa tumbuh setelahnya?
Ketika mereka tiba di rumah, senja sudah menyisakan warna oranye pudar di langit barat. Elina membawa Claire masuk dan menyuruhnya berganti baju. Ia sendiri berjalan pelan menuju dapur, menyalakan lampu dan mulai menyiapkan makan malam sambil memikirkan apa yang akan ia katakan pada Adrian. Haruskah ia menyampaikan tentang map itu? Tentang Elizabeth?
Suara pintu utama terbuka. Langkah kaki berat terdengar mendekat. Elina hanya melirik sekilas dari dapur saat Adrian muncul di ambang pintu, masih mengenakan jasnya, rambut sedikit berantakan, wajah lelah namun... meneduhkan.
"Maaf, aku pulang agak malam," ucap Adrian, suaranya lembut.
Elina tersenyum kecil, berusaha tampak biasa. "Makan malam hampir siap."
Adrian berjalan mendekat, meletakkan kunci mobil dan jam tangannya di meja dapur. Ia menatap wajah Elina sejenak, lalu berkata pelan, "Kau baik-baik saja?"
Elina menunduk, merapikan sendok di atas meja. "Aku hanya sedikit lelah."
Adrian tahu ada sesuatu yang tidak diucapkan. Tapi ia tidak memaksa. Malam itu mereka makan bersama seperti biasa, Claire duduk di antara mereka, bercerita dengan antusias tentang gambar yang ia warnai di sekolah dan teman barunya bernama Sasa.
Namun di antara tawa kecil Claire dan suapan makan malam, ada ruang sunyi yang belum terisi. Elina belum berkata apa pun tentang map itu. Tentang apa yang Elizabeth lontarkan kepadanya. Tentang luka lama yang diingatkan kembali.
Dan Adrian... ia tetap memandang Elina dengan perhatian yang tulus. Tapi apakah ia tahu? Apakah ia masih memandang pernikahan ini sebagai kontrak? Atau ada sesuatu yang tumbuh... seperti yang Elina rasakan?
Malam itu Elina tidur sedikit lebih larut, menatap langit-langit kamar sambil mendengar hembusan napas Adrian yang tenang di sampingnya. Ia belum punya keberanian untuk membuka semua itu.
Tapi satu hal pasti, apa pun isi surat itu, dan apa pun yang dipercaya orang-orang di sekitarnya, cinta di hatinya sudah nyata. Dan untuk cinta itu, ia akan bertahan.