NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27 PENGINTAI

Dari jendela tinggi Kairotek, mobil-mobil di jalanan terlihat seperti deretan mainan kecil yang tersusun rapi. Warna-warna dunia tampak lebih cerah karena cahaya matahari yang menyengat langsung ke permukaan kaca. Pohon-pohon di kejauhan melambai mengikuti irama angin, sementara bayangan burung sesekali melintas di langit, menambah dinamika pada pemandangan yang nyaris seperti lukisan bergerak.

Viren berdiri diam, tegap, dengan kacamata membingkai wajahnya yang serius. Ia tidak bergerak untuk beberapa saat, hanya membiarkan pikirannya terhanyut dalam pandangan luas dari lantai atas gedung.

Kairotek hari ini sedang sibuk bukan karena proyek SPEKTRA seperti biasanya, tapi karena satu hal lain yang juga tak kalah penting—perayaan tahunan perusahaan. Satu dekade sudah berlalu sejak nama Kairotek berdiri dan mendominasi, dan kini para karyawan mengusulkan tema untuk acara ulang tahun itu: dunia penuh warna ala Disney, atau nuansa klasik dan elegan hitam-putih seperti tahun-tahun sebelumnya.

Jake datang membawa proposal resmi, seperti biasa menjadi orang yang dipercaya menangani acara dari awal sampai akhir.

"Yang menarik, tahun ini mereka benar-benar berdebat soal temanya," ujar Jake saat menyerahkan dokumen itu ke meja Viren. "Sebagian ingin nuansa ceria, sebagian tetap ingin keanggunan hitam-putih."

Viren menyentuh berkas itu sekilas. Pandangannya kembali ke jendela. Sinar mentari menusuk permukaan meja, menghangatkan kertas di atasnya.

"Akan kupikirkan," jawabnya singkat.

Jake mengangguk. Ia tahu itu bukan jawaban yang kosong—karena jika Viren berkata akan memikirkannya, maka ia memang akan meluangkan waktu di tengah kesibukannya yang rumit untuk benar-benar mempertimbangkannya.

Setelah Jake pergi, ketenangan kembali memenuhi ruang kerja itu. Hanya detik jarum jam dan dengung halus dari pendingin ruangan yang terdengar. Lalu, ponsel Viren berbunyi pelan. Sebuah pesan masuk.

Jam berapa kau pulang?

Viren membaca sekilas. Bibirnya terangkat samar. Ia mengetik balasan tanpa berpikir panjang.

Jam 6.

Ia lalu kembali duduk, membuka satu berkas baru dan mulai mencermatinya, meski kini pikirannya sedikit teralihkan.

Sementara itu... Di sebuah kafe kecil yang penuh aroma kopi dan kayu manis, Zia memandangi ponselnya dengan mata berbinar. Senyumnya langsung muncul, seolah tak bisa ia tahan. Pipinya memerah pelan—ia bahkan tak menyangka balasan akan datang secepat itu.

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan kegembiraan yang menggelegak di dadanya.

Tak lama kemudian, dua bocah kecil, Ami dan Lily, masuk ke dalam kafe dengan langkah riang. Mereka baru saja kembali dari mengantarkan pesanan pelanggan.

"Selamat datang kembali..." ucap Zia, berusaha menyembunyikan ekspresi bahagianya. Tapi Ami sudah memicingkan mata.

"Kenapa wajahmu memerah begitu?" tanya Ami, penuh rasa curiga.

Lily ikut menimpali dengan senyum lebar. "Sepertinya ada pelanggan spesial yang datang, ya?"

"Tidak, tidak," sanggah Zia buru-buru. "Lagipula dari tadi pelanggan sepi."

"Aku tahu!" seru Ami. "Pasti Giin yang datang, kan?"

"Giin?" tanya Lily, bingung. "Siapa dia?"

"Kekasih kak Zia," jawab Ami enteng.

Zia nyaris tersedak. "Jangan percaya dia, Lily!"

"Terus, aku harus percaya siapa?" tanya Lily, masih polos tapi matanya sudah menyimpan rasa ingin tahu yang lebih dari sekadar jawaban.

"Tentu saja aku," jawab Zia, sambil mengejar Ami yang mulai berlari-lari kecil di antara meja.

Di balik kaca besar kafe, di seberang jalan, seorang pria berdiri diam memperhatikan mereka dari kejauhan. Sudah seminggu ia mengamati tempat itu, memperhatikan siapa saja yang datang dan pergi. Tak ada yang mencurigakan sejauh ini—kecuali satu hal: Mobil yang selalu datang pagi dan sore bersama pemilik kafe.

Ia sempat bertanya dalam hati—mengapa harus mengawasi wanita itu? Hidupnya terlihat biasa saja; pemilik kafe kecil yang ramah, punya teman-teman yang setia, dan mungkin… Mobil yang selalu datang itu adalah kekasihnya? Noah belum pernah benar-benar melihat siapa pria itu, dan ia pun tak sempat menanyakannya.

Matahari mulai turun perlahan, menebarkan cahaya kuning keemasan yang hangat. Saat itu, pintu kafe Ollano terbuka pelan. Seorang wanita berambut abu memasuki ruangan dengan langkah lelah. Raut wajahnya tampak lesu, matanya sembab dan sedikit mengantuk.

“Selamat sore,” sapanya pelan dari ambang pintu.

“Oh, akhirnya kau datang, Diana!” seru Zia yang segera menghampiri. Ia menarik tangan temannya itu menuju kursi dekat jendela. “Lily, tolong ambilkan air, ya.”

“Silakan,” kata Lily sambil menyodorkan segelas air dingin, lalu kembali ke balik etalase bersama Ami. Wanita itu sempat berbisik padanya Katanya; dia teman Zia.

Zia duduk di hadapan Diana, menyandarkan tubuhnya sambil menatap heran. “Bagaimana pekerjaan barumu itu, hm?”

Diana langsung menggeleng, “Luar biasa melelahkan. Aku bahkan hampir nggak bisa tidur nyenyak setiap hari.”

Alis Zia berkerut. “Seburuk itu?”

“Bukan buruk… lebih ke luar nalar. Aku sekarang kerja di perusahaan paling sibuk di kota ini—Kairotek.”

“Apa?!” Mata Zia membesar.

“Keren, ya?” jawab Diana dengan bangga, sambil mengangkat bahu.

Zia mengangguk. namun dalam hatinya ia berkata banyak.

Pantas saja ia tidak pernah melihat pria itu tertidur, batinnya lirih.

Tunggu… jadi selama ini…

Di mana sebenarnya pria itu tidur?

Pikiran itu menghantamnya seperti angin dingin yang merambat di balik kulit. Selama ini, mereka tinggal satu atap—tapi tidak pernah benar-benar satu ruang. Viren selalu muncul dalam diam, pergi tanpa suara, dan hadir seperti bayangan: nyata tapi jauh.

Wajah Zia perlahan menghangat. Astaga. Selama ini aku tidak pernah benar-benar memikirkan—di mana pria itu tidur? Apakah ia tidur di salah satu kamar kosong di calligo? Atau… dia tidak pernah tidur sama sekali?

itu tidak mungkin.

Atau jangan-jangan mereka… satu ranjang?

Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Diana tiba-tiba melambaikan tangan di depan wajahnya. “Hey, kenapa kau melamun?”

“A-aku…” Zia tergagap, lalu tersenyum kaku. “Aku cuma membayangkan bagaimana rasanya bekerja di tempat sehebat itu.”

Diana tertawa kecil. “Makanya aku tidak pernah sempat mengabarimu belakangan ini. Masuk Kairotek lebih sulit dari masuk universitas luar negeri.”

Tentu saja sulit, batin Zia. Pemiliknya aja sulit dimengerti, apalagi sistemnya.

“Kau benar-benar hebat, Diana,” puji Zia tulus, mencoba menenangkan diri sendiri sekaligus menyemangati temannya yang tampak setengah hidup.

Diana mengangguk pelan. “Thanks. Tapi aku harus pulang sekarang, besok pagi ada jadwal presentasi. Aku bungkus lemon cake satu, ya?”

Zia mengangguk sambil tersenyum. Dalam diam, pikirannya masih bergulat dengan satu nama yang belum benar-benar bisa ia mengerti: Viren.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, mobil Viren telah terparkir tak jauh dari kafe Ollano pada pukul enam sore. Jendela mobil sedikit terbuka, membiarkan udara sore masuk perlahan, namun pria di dalamnya tak bergeming. Ia duduk diam di kursi belakang, satu tangan menopang dagu, mata tajamnya tak lepas dari sosok Zia yang terlihat dari balik kaca jendela kafe.

Gadis itu duduk di meja sudut bersama dua orang karyawannya. Sesekali tertawa kecil, membalas candaan yang bahkan tak bisa ia dengar. Rambutnya dikuncir rendah, beberapa helai mencuat bebas tertiup angin dari kipas di langit-langit. Senyumnya—ringan, polos, dan tanpa beban—membuat waktu terasa pelan bagi Viren.

Seseorang muncul, berjalan mendekat dan mengaburkan pandangan. Pria itu... postur tegap, langkah mantap, dan wajah yang tidak asing bagi Viren.

Sosok yang sama yang mengantar Zia ke rumah sakit.

"Tuan.. " Ucap Jake saat ia melihat hal yang sama di depan kafe.

"Biarkan." Ucapnya tegas.

Denting lonceng dari pintu kafe terdengar samar sampai ke luar, membuat kepala orang-orang di dalam menoleh. Giin berdiri di ambang pintu dengan kemeja tipis yang membalut tubuhnya, jas ia tenteng di lengan.

Ia berjalan mendekati meja Zia dan ikut duduk, mengambil tempat di sebelahnya tanpa canggung. “Bagaimana kakimu?” tanyanya, suara rendahnya cukup terdengar hingga membuat Zia mengangkat wajah.

“Sudah baik,” jawab Zia singkat.

“Aku hanya mampir… cuaca di luar terlalu panas,” katanya sambil mengibas sedikit jasnya.

“Mau aku buatkan minuman?” tawar Zia.

Giin mengangguk, dan beberapa saat kemudian, Zia kembali dengan gelas dingin di tangannya. Ia menyodorkannya pelan. “Silakan.”

Giin mengangguk lagi sebagai ucapan terima kasih. Ia menyesap minumannya sebelum berbicara lagi, kali ini nadanya seolah ingin menggali lebih dalam. “Apa kau tahu tentang SPEKTRA?”

Zia terdiam. “Tidak,” jawabnya disertai gelengan ringan.

“Katanya itu alat berbahaya,” ucap Giin sambil menyandarkan punggung ke kursi.

Zia mengernyitkan dahi. “Kenapa berbahaya? Itu hanya kamera pengawas, bukan?” suaranya terdengar pelan tapi yakin. “Aku membacanya di berita.”

“Bukan kamera biasa, Zia. Itu… melanggar batas,” kata Giin, nada suaranya berubah sedikit tegas. “Privasi manusia. Identitas. Wajah. Lokasi. Semuanya bisa terbaca.”

Zia menggenggam gelasnya erat. Di kepalanya, suara Viren malam itu kembali terdengar—tenang, namun penuh keyakinan.

“Kalau begitu, salahkan pemiliknya, bukan alatnya. Teknologi itu netral. Yang membuatnya salah atau benar… adalah manusia,” ucapnya akhirnya. Nada suaranya tegas, namun tak kehilangan kelembutannya.

Giin memandangi Zia sesaat, mungkin terkejut, mungkin sekadar kagum pada jawaban yang tidak ia duga akan keluar dari mulut gadis itu.

Sementara itu, di luar, matahari mulai tenggelam. Langit mengembang dalam semburat oranye dan keemasan, menyapu bangunan-bangunan dengan cahaya hangat seperti sisa napas hari. Di lokasi berbeda, dua orang mengawasi tempat yang sama, mata mereka tak lepas dari kafe Ollano—mengawasi, mencatat, mengamati setiap interaksi.

Salah satunya adalah Noah. Ia kini telah berpindah ke rooftop gedung seberang, karena panas matahari mulai menghilang, digantikan angin sore yang berhembus pelan. Sebuah topi hitam menutupi sebagian wajahnya, dan teropong kecil melekat di matanya, mengarah tepat ke kafe Ollano.

Mobil hitam itu sudah terparkir di dekat kafe sejak pukul enam. Mobil yang sama. Ia mengenalinya dari plat nomornya. Tapi hingga kini, pria itu belum juga keluar.

Noah berpikir, seharusnya pria itu turun, mendekat, atau masuk ke dalam kafe alih-alih menunggu di dalam mobil seperti biasanya. Tangannya sudah siap di pelatuk kamera, menunggu satu momen kecil untuk dikirimkan ke tuan muda.

Namun hari ini sedikit berbeda.

Tuan muda tidak menghubunginya sejak sore. Tidak ada pesan masuk, tidak ada perintah. Tapi Noah tetap menjalankan tugasnya, meski tanpa instruksi.

Toh, ini jauh lebih mudah dibanding berurusan dengan Cinderline yang membuatnya kehilangan satu gigi dan hampir seluruh simetri tampan di wajahnya.

Tiba-tiba, seorang pria keluar dari kafe. Ia berjalan menjauh dari tempat itu, mengenakan jas yang ia jinjing di tangan. Noah tidak mengenali sosok itu—bukan targetnya.

Pria di dalam mobil masih belum menampakkan diri.

Sementara di dalam mobil, Jake membuka ponselnya dan melihat satu pesan masuk. Sebuah laporan mengenai lokasi perayaan satu dekade Kairotek. Ia membaca cepat, lalu mengangguk kecil, mencatat detailnya dalam pikirannya.

Sementara itu, di kursi belakang, Viren duduk diam dengan tablet di tangannya. Layarnya menampilkan data yang baru saja dikirim Xin—empat nama yang ia minta sejak dua hari lalu.

Data pertama:

Jacob Nimart. Seorang pria bertubuh besar, dengan janggut tumbuh di sepanjang garis rahangnya. Ia memiliki seorang istri bernama Heler dan dua anak perempuan.

Data kedua:

Alec Blinder. Salah satu nama yang muncul di antara jejak digital tragedi Batako. Tidak ada catatan mengenai istri atau anak. Nama ini masih menyisakan teka-teki.

Viren membalik layar, menyorot foto ketiga.

Tepat saat itulah, ketukan lembut terdengar dari sisi kanan mobil. Ia menoleh.

Zia berdiri di luar kaca jendela, setengah jongkok, dengan senyuman kecil di wajahnya yang diterpa cahaya senja.

"Sudah lama menunggu?" tanya Zia sambil masuk ke dalam mobil. Wajahnya masih menyimpan sisa senyum hangat.

"Dua jam," jawab Viren datar, matanya tak sepenuhnya menatap Zia.

"Maaf, aku tadi membereskan kafe dulu," balas Zia lembut, sedikit menunduk sambil membuka jaketnya. Ia tidak tampak canggung, tapi kehati-hatian dalam nada bicaranya masih ada.

Tanpa suara tambahan, mobil mulai melaju perlahan, meninggalkan area kafe. Di kejauhan, Noah sudah menyalakan motornya, mengikuti mereka dengan jarak yang terjaga rapi. Ini hari ketujuh, dan ia sudah hafal pola. Setiap tikungan, jeda lampu merah, sampai di mana mobil itu biasanya melambat—semuanya sudah ia tandai.

Di dalam mobil, dari kaca spion dalam, Viren melirik ke belakang. Motor itu lagi. Helm yang sama. Sikap yang sama. Ia menghela napas pelan.

"Jake, belok ke supermarket," ucap Viren tanpa mengalihkan pandangan dari spion.

Jake mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Aku perlu sesuatu," jawab Viren singkat, nadanya sulit ditawar.

Jake hanya mengangguk dan mengubah arah mobil sesuai perintah.

Sementara itu, Viren mengambil ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. Layar tablet di pangkuannya masih menampilkan data-data yang tadi ia baca. Wajah pria gemuk bernama Jacob Nimart, istrinya Helie, dan dua anak mereka. Lalu, Alec Blinder, nama yang terikat pada tragedi Batako—tanpa keterangan keluarga, tanpa jejak yang bisa diikuti dengan mudah.

Zia melirik ke layar sekilas, tapi tidak bertanya. Hanya diam, duduk di sisinya sambil sesekali melihat ke luar jendela, membiarkan keheningan melapisi sisa perjalanan mereka.

1
Denni Siahaan
bagus b ya
Laruan
Kalo udah gini menurut kalian lanjutannya bakalan kayak gimana? coba kasih tau aku pendapat kalian dong
Rima Putri Melaty
aku kaya lagi bca puisi ... pemilihan bahasanya punya nilai kualitas yg tinggi.
Rima Putri Melaty
penasaraann sekali kaka... jngan lupa up setiap hari yaaa...
semangaatt dari tegal. 🤗
Laruan: Aku usahain up tiap hari ya, jadi terus support karya aku yaa🤗 ohiya untuk visualnya, coming soon..
total 1 replies
Rima Putri Melaty
luar biasa.
Rima Putri Melaty
penulisannya keren, bahasanya tinggi, the best pokonya...
Enz99
bagus
Enz99: makasih
Laruan: Aku udah up 2 bab, hadiah buat kamu karena udah support karyaku🤏❤️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!