"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"
"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."
Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.
Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.
Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sangat cantik
"ANJIR ANJIR ANJIR!"
Gissele mengedipkan matanya cepat, mencoba mengusir bayangan yang baru saja ia lihat.
Dalam sekejap, ia merasa seluruh tubuhnya masih memanas karna kejadian barusan. Hal itu benar-benar mengejutkannya.
“Duh, ampun… dia lihat semuanya, ya…” Gumamnya sambil segera meraih kaus dan celana training, buru-buru mengenakannya.
Di depan, Federico masih terdiam, menunduk, seolah dirinya sendiri yang malu. Nafas pria itu membekas kala melihat bagian dirinya yang bangkit.
"Shit.." Berkali-kali ia merutuki dirinya karna tak bisa mengontrol itu.
Sampai akhirnya pintu terbuka dan Gissele keluar dari kamarnya. Gadis itu menjadi diam dan menatap sinis ke arah Federico.
Federico langsung menutupi pusakanya dan terlihat gugup. Gissele melirik sekilas lalu wajahnya memerah, "Dasar om m*sum." Gerutunya lalu ia menatap kembali Federico.
"Ada apaan sih asal masuk kamar gue?!" Tanyanya sinis, mencari tau apa yang terjadi.
"Itu.. ayah Nona telpon, katanya minta Nona angkat telponnya segera. Ada hal penting yang mau disampaikan."
Setelah itu Gissele kembali menggebrak pintunya, tidak ingin bicara dengan Federico terlalu lama.
Mata Gissele mengarah ke meja, di mana ponselnya bergetar. Jelas sekali ada panggilan masuk dari nomor yang sudah familiar.
Papi.
Gissele menghela nafas berat, lalu dengan tangan gemetar membuka layar ponsel. Entah kenapa ada perasaan tak enak muncul dari benaknya.
"Halo, maaf Pi baru keangkat, aku habis mandi." Sapa Gissele lebih awal.
"Oh Icel, akhirnya kamu angkat teleponku juga."
"Ada apa nih, Pi?"
Suarq ayahnya bergetar di ujung, "Itu.. Mami sebentar lagi pulang. Papi harap kamu segera siap-siap menghadapinya."
"Mami.."
Mata Gissele kembali membelalak, ia langsung bergetar. Masalahnya.. Ibu Gissele adalah sosok yang berbeda dari ayahnya.
Jika ayahnya hangat dan penuh pengertian, ibunya justru keras dan tak mudah tersenyum. Walau sebenarnya ibu Gissele baik tapi Gissele sering kena mental.
Apalagi..
BRAK.
Suara pintu bawah terbuka keras, menandakan sang Ibu yang kembali.
Gissele menahan nafas sesaat, perasaan campur aduk antara takut dan rindu mulai muncul.
Para pembantu pun menyambut kedatangan Ibu Gissele. Penampilannya begitu elegan dengan rambut bob hitam. Blazer yang Ibu Gissele kenakan benar-benar mencerminkan wanita karir.
"ICEL!" Teriak ibunya dan Gissele pun segera turun dengan meremat kausnya.
"Mami.." Sapanya pelan dan segera turun lalu memeluk Ibunya. Ibu Gissele langsung mencubit pipi Gissele, "Duh kamu tuh kurus banget, makan coba.. ngapain diet-diet."
Gissele memekik, "Aduh.. aduh kan biar bagus badannya, Mami.."
"Bagus tuh jadi gemuk." Ibu Gissele lalu duduk di sofa dan Gissele pun ikut duduk disana.
"Mana nilai kamu semester ini? Mami mau lihat." Ucap Ibu Gissele tanpa basa-basi.
Gissele terdiam sesaat, lalu dengan pelan mengeluarkan laptop dan menunjukkan nilainya dari web kampus.
Gissele langsung keringat dingin karna sudah menebak apa yang tejadi. Ia meneguk liurnya dan berharap pada Tuhan agar laptopnya tidak dibanting.
Ibunya segera meraih laptop itu dan mulai membaca dengan cepat, wajahnya berubah menjadi sangat tegang.
Kebanyakan nilai Gissele adalah A tapi hanya 1 yang buruk.
“APA INI? Kok ada nilai C? Kenapa bisa begini?” Suara ibunya menggelegar, menggetarkan meja di depannya.
Gissele merasa jantungnya seperti berhenti sejenak, melihat amarah yang tiba-tiba meluap.
“Mami, aku udah usaha... yang lainnya juga bagus kan.” Jawab Gissele dengan suara kecil dan gugup.
Namun, ibu Gissele hanya memotong, “Usaha? Kalau usaha ya A semua, masa anak Mami nggak bisa dapet A semua?”
Para pembantu terdiam, melihat situasi yang mendadak tegang dan serius.
Gissele menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan campur aduk—antara takut, kecewa, dan lelah menghadapi masalah ini setiap kali Ibunya pulang ke rumah.
Hal ini sering terjadi dan ayahnya Gissele selalu menenangkan Ibunya tapi kalau sekarang? Ayahnya tidak ada jadi Gissele harus menelan semuanya sendiri.
Setelah amarah Ibunya dikeluarkan, suasana di ruangan itu berubah menjadi sunyi yang berat.
Gissele menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. "Icel ke kamar dulu." Perlahan ia melangkah ke kamar, menjauh dari tatapan tajam ibunya.
Dalam hati, ia merasa terjebak antara harapan dan kenyataan yang sulit diterima. Ia merasa ada beban yang begitu berat di dadanya, seolah usahanya tidak dihargai dan ia terus dituntut sempurna.
“Kenapa aku selalu kurang di mata Mami?” Gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Gissele menutup pintu kamar duduk di atas kasur, memeluk lututnya erat-erat. Air mata mulai mengalir tanpa bisa dibendung, membasahi pipi yang mulai basah.
"Hiks.."
Gissele meresapi setiap kata yang terlontar dari mulut ibunya, merasakan kecewa dan harapan yang terbentur dalam dirinya.
Bahkan gadis itu selalu berharap bahwa air mata bisa menyembuhkannya. Jadi sempurna itu memang sangat melelahkan..
...****************...
Malam itu, setelah suasana tegang mereda, Federico diam-diam memperhatikan Gissele yang masih terdiam di kamarnya.
Pria itu mengetuk pintu kamar dan meminta izin Gissele. "Nona, saya masuk, ya? Ada yang mau saya bicarakan."
"Ya.." Lirih Gissele dengan suara yang bergetar.
Begitu masuk kamar, Federico bisa melihat dengan jelas wajah sayu gadis itu. Mata dan hidungnya memerah seolah memancarkan kesedihan yang tak kunjung usai.
"Izinkan saya membantu, Nona," ucap Federico lembut, suaranya penuh perhatian.
"Bantu apa..?"
Federico lalu mendekat dan mengusap pelan kelopak mata gadis itu. "Saya ingin membantu Nona merasa lebih baik."
"Gimana caranya?" Tanya Gissele lagi.
Federico lalu menyeringai, "Ikut saya, Nona."
Tanpa banyak bicara lagi, Federico mengambil kunci motornya dan mengajak Gissele keluar rumah. Untungnya Ibu Gissele mengizinkannya saat Federico meminta izin.
Gissele asal ikut saja, ia juga berharap perasannya segera membaik. "Mau kemana kita?"
"Jalan-jalan pakai motor. Udara malam bisa bantu meredakan pikiran."
Motor ya.. Jarang sekali Gissele naik kendaraan roda dua itu. Saat pertama kali melihatnya, motor itu terasa asing dan besar.
"Motor siapa ini? Perasaan dirumah ini nggak ada motor beginian." Ucap Gissele heran.
Federico lalu tertawa dan mendekat, "Ini motor saya, Nona." Selepas itu, ia mengenakam helm ke kepala Gissele.
Federico dengan gagahnya menaiki motor itu dan menyalakan mesinnya. "Ayo naik."
Gissele ragu sejenak, namun akhirnya mengikuti intruksi Federico. Ia naik motor itu dengan hati-hati kemudian motor pun segera berjalan.
Mereka melaju menyusuri jalanan yang tenang, angin malam menyentuh lembut kulit Gissele, mengusir rasa penat yang selama ini menyesakkan dada.
Federico memacu motornya dengan santai, sesekali menoleh ke arah Gissele yang mulai sedikit lebih rileks.
"Gimana? Jadi lebih ringan kan rasanya?" kata Federico sambil melempar senyum hangat.
Gissele menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca, namun perlahan hatinya mulai terasa ringan. Gadis itu mengangguk dan melihat ke arah lain.
Sedekat ini dengan Federico, aroma pria itu begitu menghantui indera penciumannya. Parfum pria itu terasa berat diawal tapi lama kelamaan terasa ringan dan nyaman.
Mereka berhenti di sebuah taman kecil yang sepi. Federico mematikan mesin motor, lalu mengajak Gissele duduk di bangku kayu di bawah cahaya lampu temaram.
"Kadang, yang kita butuhkan cuma sedikit waktu untuk bernafas dan melupakan sejenak masalah," ucap Federico lirih.
Gissele mengangguk, matanya menatap langit malam yang penuh bintang. Tak Gissele sangka pemandangan ini begitu cantik.
Dari dulu, Gissele selalu menguring diri saat sedih tapi sekarang.. pemandangan ini akan menjadi hiburan favoritnya saat sedih.
Federico tersenyum melihat Gissele terus memandangi bintang-bintang. Bagi Federico, pemandangan didepannya adalah yang tercantik.
Bagaimana wajah manis itu dihiasi cahaya bulan dan juga nata gelap yang terpantulkan cahaya bintang.
Gissele lalu tersenyum, tak sadar jika Federico terus melihatnya. "Cantik banget bintangnya." Gumam Gissele.
Federico lalu mengangguk setuju, "Iya.. cantik." Padahal yang ia maksud bukanlah bintang tetapi gadis dihadapannya.
Mengumpulkan keberaniannya, Federico mendadak membelai wajah Gissele. Hal itu membuat Gissele menengok ke arahnya.
Pria itu tersenyum dengan lembut seraya menatap Gissele lekat. "Sangat cantik sampai-sampai, saya sangat ingin sekali menciumnya."
..