NovelToon NovelToon
GALAK DI LUAR, LIAR DI DALAM

GALAK DI LUAR, LIAR DI DALAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Aliansi Pernikahan
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: mamana

"sudahlah mas, jangan marah terus"
bujuk Selina pada suaminya Dante yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil dan sangat possesif..
"kau tau kan apa yang harus kau perbuat agar amarahku surut"
ucap Dante sambil membelakangi tubuh Selina..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mamana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

cinta yang tak sempurna

Siang itu, sinar matahari menembus tirai kaca besar ruang kerja Dante. Waktu makan siang tiba. Dante menutup laptopnya, menoleh pada Selina yang sejak tadi duduk di sofa sambil menggulir layar ponsel.

“Yuk, lunch di kantin,” ajaknya dengan nada santai.

Selina menggeleng pelan.

“Nggak, Mas…”

Dante menatap heran.

“Kenapa, Sel? Makan di luar butuh waktu lebih banyak. Aku cuma mau makan cepat biar bisa lanjut kerja. Pekerjaan masih menumpuk.”

Selina mendesah, suaranya lembut tapi terdengar kesal.

“Kalau pekerjaan Mas banyak, kenapa tadi ajak aku ke sini? Aku bosan harus menunggu tanpa kegiatan. Lebih baik di toko kue, Mas. Di sana aku bisa bantu Rini. Siapa tahu hari ini ramai pelanggan.”

Dante berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekat. Tatapan matanya menajam, tapi bukan marah, lebih seperti upaya menahan perasaan yang bergejolak.

“Sel…” katanya lirih, “Hanya hari ini saja aku ingin kau di sini. Untuk hari-hari berikutnya, kau boleh lakukan apa pun yang kau mau. Tapi hari ini, temani aku, ya?”

sambil mendekatkan tubuhnya dan mendaratkan bibirnya pada bibir Selina.

Selina menatapnya, ada kelelahan sekaligus cinta di matanya. Ia tahu Dante bisa keras kepala jika sudah menginginkan sesuatu.

“Mas, tolong jangan seperti ini terus… aku malu kalau ada yang lihat,” ucapnya, berusaha menjaga jarak.

Dante menurunkan suaranya, lalu duduk di sofa di samping istrinya. Ia menghela napas panjang.

“Sel… aku tahu aku bukan suami sempurna. Tapi tidak ada laki-laki yang sempurna. Semua punya kelemahan.”

Ia menatap mata istrinya dalam-dalam. “Aku hanya ingin kau tahu, setiap perasaan… setiap keinginan yang aku punya, selalu tertuju padamu. Bukan pada siapa pun.”

Ucapan itu membuat Selina terdiam. Dalam benaknya melintas wajah Melda, perempuan dari masa lalu Dante yang kemarin datang ke rumah mereka, dan Ada rasa cemburu kecil, namun juga kesadaran. Dante memang keras, galak, tapi ia juga pria yang setia.

Selina akhirnya tersenyum tipis.

“Baik, Mas. Aku akan coba lebih mengerti.”

Dante mengangkat wajahnya, menatapnya lembut.

“Sungguh, Sel?”

“Ya, Mas,” jawab Selina sambil mengangguk pelan. “Aku akan menuruti keinginanmu… selama itu hanya tentang kita.”

Dante tersenyum puas, lalu berdiri dan meraih tangan istrinya.

“Nah, gitu dong. Sekarang ayo, makan di luar saja. Aku tahu kau masih tidak nyaman di kantor ini karena ulahku kemarin,” ujarnya setengah bercanda.

Selina menahan tawa kecil, lalu mengangguk.

“Iya, Mas. Tapi jangan buat ulah lagi ya.”

Dante terkekeh, merangkul bahu istrinya dengan lembut.

“Janji.”

Mereka pun berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan ketegangan kecil yang perlahan berubah menjadi kehangatan, dua jiwa yang saling belajar memahami, di antara cinta, gengsi, dan godaan yang tak pernah benar-benar padam.

Kafe kecil di sudut kota itu tak terlalu ramai siang itu. Hanya ada suara denting sendok dan obrolan pelan antar pelanggan. Selina duduk di hadapan Dante, berusaha menatap ke luar jendela agar tidak merasa canggung.

Dante seperti biasa diam, menatap menu tanpa banyak bicara. Sikapnya yang dingin itu selalu berhasil membuat suasana jadi kaku, tapi bagi Selina, itulah sisi yang paling membingungkan dari pria itu: tenang di luar, tapi hatinya seperti bara api yang selalu menyala untuk dirinya.

“Mas mau pesan apa?” tanya Selina pelan, mencoba mencairkan suasana.

Dante tidak langsung menjawab. Ia menutup buku menu perlahan, lalu menatap istrinya dengan tatapan yang membuat Selina menelan ludah.

“Apa pun yang kau pilih, aku ikut saja,” katanya datar.

Selina mengangguk, lalu memanggil pelayan dan memesan dua porsi nasi ayam lada hitam.

Setelah pelayan pergi, Dante bersandar di kursinya, tangannya terlipat di dada.

“Sel,” katanya tiba-tiba, nadanya rendah namun tegas.

Selina menoleh, sedikit gugup. “Ya, Mas?”

Dante menatapnya lekat. “Kau tahu, aku keras kepala bukan karena aku tak percaya padamu. Aku cuma… tidak suka kalau orang lain terlalu lama memandangmu termasuk Devin, temanmu itu.”

Selina tersenyum tipis. “Mas ini, selalu cemburu saja, kejadian lalu masih mas ingat juga, aku cuma bicara sopan pada orang mas bukan menggoda siapa pun, lagipula waktu itu kan pertemuanku dengan Devin tanpa disengaja mas"

Dante hanya menatap tanpa ekspresi, tapi matanya tajam.

“Ya, tapi sopanmu itu kadang terlalu manis, Sel,” jawabnya dingin. “Dan aku tak suka berbagi apa yang jadi milikku.”

Selina menunduk, menggenggam handphone di tangannya dengan gugup.

“Tapi aku milikmu, Mas,” ucapnya lembut. “Sudah dari dulu…”

Dante menarik napas dalam, menatap wajah istrinya lama, seolah ingin memastikan ucapan itu benar-benar tulus.

“Bagus kalau kau tahu itu,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi mengandung kehangatan yang samar. “Karena aku pun hanya ingin kau tetap di sisiku. Apa pun caranya.”

Makanan mereka datang, dan suasana kembali hening. Dante makan dengan tenang, setiap gerakannya tampak terkontrol, tapi tatapan matanya sesekali mencuri pandang ke arah Selina. Ada sesuatu di sana, bukan sekadar cinta, tapi semacam rasa memiliki yang mendalam dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Selina merasakan tatapan itu. Pipinya sedikit memanas, namun ia berusaha tenang.

“Mas… kenapa lihat aku begitu?” tanyanya akhirnya, setengah malu.

Dante meletakkan sendoknya perlahan, bibirnya melengkung tipis.

“Karena aku sedang memastikan sesuatu.”

“Memastikan apa?”

“Bahwa kau masih jadi alasanku untuk pulang setiap hari.”

Selina terdiam. Suara ramai di sekitar seolah memudar.

Dante kembali makan dengan tenang, seolah ucapannya barusan hanyalah hal biasa. Tapi di mata Selina, ucapan itu lebih berharga dari seribu kalimat manis.

Perjalanan pulang mereka diisi dengan diam. Suara mesin mobil yang stabil terasa menenangkan, tapi di balik tenang itu ada ribuan pikiran berputar dalam benak Selina. Ia menatap keluar jendela, memperhatikan pepohonan yang berlarian di sisi jalan, sementara Dante tetap fokus menyetir, wajahnya datar, rahangnya tegang.

Begitulah Dante. Sulit ditebak. Kadang dingin seperti batu, tapi saat lain, bisa begitu hangat dan penuh perhatian.

Dan Selina… sudah terlalu sering dibuat bingung oleh perubahan suasana hati pria itu.

Ia teringat masa-masa mereka bertengkar bagaimana setiap kali Dante marah, kata “cerai” seakan menjadi pelarian mudah dari bibirnya.

Kata itu meluncur cepat, tanpa berpikir, seolah ia benar-benar bisa hidup tanpa Selina.

Namun, setiap kali amarahnya mereda, Dante berubah. Pria yang sama yang dulu mengucap “cerai” kini justru menatapnya penuh hasrat, menahannya di pelukan seakan dunia akan runtuh tanpa kehadirannya.

Dante seolah memiliki dua sisi: yang satu ingin menjauh, dan yang lain tak sanggup melepaskan.

Itulah Dante, batin Selina.

Galak di luar, tapi di dalam... liar dengan cintanya sendiri. Tak teratur, tapi tulus. Tak lembut, tapi nyata.

Ia menatap tangan Dante yang menggenggam setir dengan kuat, jemarinya yang berurat, dan pikirannya berkelana jauh.

Betapapun kerasnya Dante, Selina tahu pria itu mencintainya dengan caranya sendiri.

Cinta yang tak diucapkan manis, tapi terasa dalam setiap tatapan, setiap genggaman, setiap kalimat kasar yang justru berujung pada pelukan hangat.

Namun di balik semua itu, ada harapan kecil yang belum juga terpenuhi.

Selina mengusap perutnya pelan, menatap ke arah jalan yang tak berujung.

Ia ingin punya anak.

Ia ingin melihat wajah kecil yang lahir dari cinta mereka, cinta yang aneh, tapi nyata.

Sayangnya, setiap kali ia mencoba membicarakan hal itu, Dante selalu mengalihkan.

Entah karena takut, belum siap, atau hanya ingin menikmati Selina sepenuhnya untuk dirinya sendiri.

Mobil berhenti di depan rumah. Dante mematikan mesin, menoleh sebentar, menatap wajah istrinya.

Tatapan itu lama, dalam, dan tanpa kata.

Seperti biasa, dingin di permukaan, tapi menyimpan sesuatu yang hangat di baliknya.

Selina tersenyum kecil.

Ia tahu, tak peduli seberapa keras kepala Dante, hatinya tetap akan kembali padanya.

Dan meski masih banyak keinginan yang belum terwujud, termasuk kehadiran seorang anak, Selina sadar… cinta mereka sendiri sudah menjadi bentuk “hidup” yang paling nyata.

1
Winda Marshella
ceritanya bagus, semangat thor
MamaNa: terimakasih kaka..pasti selalu semangat kaka ditunggu, updatenya ya Kaka 🙏
total 1 replies
AstutieEcc
bagus ceritanya 😍
MamaNa: terimakasih kak🙏
total 1 replies
MamaNa
siap.. pasti segera di update kakak /Pray//Pray/
0-Lui-0
Bikin susah move-on, semoga cepat update lagi ya thor!
Enoch
Wow, bikin terhanyut.
MamaNa: makasih kakak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!