Alya, mahasiswi tingkat akhir yang cerdas dan mandiri, tengah berjuang menyelesaikan skripsinya di tengah tekanan keluarga yang ingin ia segera menikah. Tak disangka, dosen pembimbingnya yang terkenal dingin dan perfeksionis, Dr. Reihan Alfarezi, menawarkan solusi yang mengejutkan: sebuah pernikahan kontrak demi menolong satu sama lain.
Reihan butuh istri untuk menyelamatkan reputasinya dari ancaman perjodohan keluarga, sedangkan Alya butuh waktu agar bisa lulus tanpa terus diburu untuk menikah. Keduanya sepakat menjalani pernikahan semu dengan aturan ketat. Tapi apa jadinya ketika batas-batas profesional mulai terkikis oleh perasaan yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Keluarga Reihan maupun Alya makan bersama di satu meja yang sama, sedangkan Nia dan Lala setelah foto tadi mereka pamit untuk menemui orang tua mereka.
mereka makan dengan hikmat, sesekali ada percakapan diantara mereka.
" rencana kamu setelah ini apa Alya" tanya ibu mertuanya Laras.
Alya menghentikan makannya sejenak " belum tau sih mah, rencananya Alya mau kerja dulu"
" loh ngapain kerja, emang Reihan ngga nafkahin kamu" kali Pras yang bertanya dengan nada heran.
" Bukan gitu, Pah…” Alya tersenyum kikuk, tangannya meletakkan sendok ke piring. “Alya cuma nggak mau diam aja di rumah. Lagian kalau kerja kan bisa nambah pengalaman juga. Ilmu yang Alya dapat di kampus sayang kalau nggak dipakai.”
Bu Laras tersenyum lembut, mengangguk setuju. “Mama justru mendukung, Alya. Perempuan juga perlu punya pengalaman sendiri."
" tapi kamu jangan lupa , kamu tuh udah berkeluarga, jangan lupa sama suami. Jangan sampai suami kamu ngga ke urus karena kamu kerja" timpal Bu Dewi
Alya tersenyum tipis " iya mah Alya faham kok
Pak Pras mendengus pelan, lalu melirik ke arah Reihan. “Tapi tetap, kamu itu suami. Kamu harus pastikan istrimu cukup terjamin. Jangan sampai dia kerja cuma karena merasa kekurangan.”
Reihan yang sejak tadi tenang, akhirnya menaruh gelasnya dan menatap ayahnya. “Tenang, Pah. Aku bisa kok nafkahin Alya. selagi yang Alya lakukan adalah hal yang positif . Aku akan dukung keputusan nya.”
“Hmm, ya sudah kalau gitu,” sahut Bu Laras sambil tersenyum. “Mama senang kalian bisa saling mengerti.”
Devan, yang dari tadi sibuk makan, tiba-tiba nyeletuk sambil melirik kakaknya. “Kalau Kak Alya kerja, terus siapa yang masakin aku kalau main ke rumah kakak?”
“Ya kan masakan Kakak enak,” balas Devan pura-pura serius.
Pak Pras ikut tertawa tipis, meski sesaat kemudian wajahnya kembali serius. Tatapannya jatuh pada Reihan. “Yang penting, Han, kamu jangan kasih kebebasan terlalu longgar. Istri itu tetap harus ada di bawah bimbingan suaminya. Kamu tanggung jawab kalau terjadi apa-apa.”
Reihan menegakkan tubuhnya, mengangguk sopan. “Iya, Pa. aku paham.”
“Sudahlah, yang penting sekarang kita rayakan dulu keberhasilan Alya. Urusan kerja nanti bisa dibicarakan lagi.” ucap Bu Dewi
****
Disini lain farel tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Pertemuannya dengan keluarga Reihan si acara wisudanya alya tadi masih menggangu di pikirannya.
farel duduk di ruang kerja, bersandar di kursi dengan laptop terbuka di depannya. Tapi pikirannya kemana-mana.
" tadi Tante Laras ngapain di datang di acara wisudanya alya, bahakan keluarganya Alya terlihat akrab dengan Tante Laras dan juga Reihan kenapa dengan sikapnya tadi. Sebenarnya Apa yang kamu sembunyikan Alya."
Dia masih mengingat jelas momen setelah wisuda tadi, ketika melihat Alya berfoto bersama bukan hanya keluarganya, tapi juga keluarga Reihan.
Farel menghela napas panjang.
“Sepupu gue ini, ada yang dia sembunyiin.”
Ia menyalakan rokok, menghisapnya pelan sambil menatap layar laptop yang menampilkan laman media sosial. Dengan sedikit usaha, ia mencoba mencari tahu tentang Alya akun pribadinya, lingkaran pertemanannya, bahkan jejak digital yang mungkin bisa memberinya petunjuk.
Namun Alya ternyata bukan tipe yang suka mengumbar kehidupan pribadi. Akun sosial medianya biasa-biasa saja, tak banyak yang bisa digali.
Farel menutup laptopnya, lalu bersandar kembali dengan senyum tipis.
“Tenang aja, Alya. Gue bakal tahu siapa lo sebenernya buat Reihan.”
***
Alya baru saja mengganti pakaiannya dengan piyama. Sedangkan Reihan tengah duduk di sandaran ranjang sambil memainkan hpnya.
" kamu benaran serius mau kerja"
Alya menoleh " iya mas, aku kepikiran buat cari pengalaman. Lagian nanti kalo aku di rumah ngga ada kerjaan malah bosan jadinya. Nanti juga aku mau cari kerja ringan dulu "
" baiklah jika itu keputusan mu, tapi selama kamu masih bersamaku kamu harus tau batas aturannya"
Alya lalu naik ke ranjang dengan hati-hati, menjaga jarak dari Reihan. Ia menarik selimutnya sampai menutupi sebagian tubuhnya.
" iya mas aku ngerti kok"
Reihan menutup ponselnya " satu lagi selama kamu masih menjadi istriku, kamu tidak boleh dekat dengan pria manapun, termasuk.....farel"
" emang kenapa sama farel, kami sudah sangat dekat, diakan temanku mulai dari SMA. lagian kan farel itu sepupu kamu mas"
Reihan akhirnya menghela napas berat. “Aku cuma nggak mau masalah muncul gara-gara hal kecil. farel juga ngga sebaik yang kamu pikirkan "
" aku sama farel udah temanan cukup lama loh mas, ya biarpun kami pernah lost contac tapi dia masih sama kok kyak dulu" ucap Alya dengan nada cuek. Walaupun hubungan Alya dan farel akhir-akhir ini tidak baik tapi tidak sepantasnya juga Reihan menjelekkannya seperti itu.
Terdengar helaian nafas panjang dari Reihan " terserah kamu saja, saya cuma mengingatkan"
" emang hubungan mas sama Reihan kyak ana sih. Kok bisa mas menyimpulkan seperti itu" tanya Alya yang mulai kepo dengan hubungan mereka.
“Dia sepupuku,” jawab Reihan akhirnya, suaranya dalam dan tenang.
Alya menoleh, menatap wajah Reihan dengan raut penasaran. “Sepupu seperti apamemangnya? Biasanya kalau keluarga kan justru deket, saling dukung. Tapi kenapa Mas kayak nggak suka banget sama dia?”
Reihan diam sejenak, seperti menimbang kata-katanya. Sorot matanya tidak lagi menatap Alya, melainkan ke arah langit-langit kamar. “Nggak semua keluarga itu berjalan harmonis, Alya. Ada hal-hal yang mungkin kamu nggak ngerti.”
Alya mengernyit. “Hal-hal kayak apa?”
“Cukup tahu aja,” potong Reihan cepat, nadanya sedikit dingin. “Aku nggak mau bahas itu sekarang.”
Alya menggigit bibir bawahnya, hatinya penuh rasa penasaran. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat wajah Reihan yang tampak tidak bersahabat membuatnya ragu.
“Kalau Mas nggak cerita, gimana aku bisa ngerti? Aku sama Farel udah lama kenal, aku tahu dia nggak seburuk itu,” gumam Alya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Reihan menoleh cepat, sorot matanya tajam tapi terkontrol. “Kamu percaya sama aku atau sama dia?”
Pertanyaan itu membuat Alya terdiam. Ia menatap Reihan, lalu menunduk, jari-jarinya menggenggam erat selimut. “Bukan soal percaya atau nggak, Mas. Cuma… aku butuh penjelasan yang masuk akal. Aku nggak suka kalau cuma disuruh menjauh tanpa tahu alasannya.”
Reihan menutup mata sejenak, lalu menghembuskan napas panjang. “Suatu saat kamu bakal ngerti sendiri, Alya. Untuk sekarang, cukup ikuti perkataanku.”
“Udah, jangan dipikirin macam-macam,” suara Reihan terdengar pelan tapi tegas, memecah keheningan. “Tidur. Besok kamu bangun terlambat.”
“Iya, Mas…” jawabnya lirih. Ia mencoba memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian matanya mulai memberat, tapi sebelum benar-benar memasuki alam mimpi Alya merasakan sesuatu melingkar di perutnya. Reihan memeluknya dari belakang.
Reihan merasakan Alya bergerak kecil seolah tidak nyaman, bukannya melepaskannya dia malah merapatkan dirinya ke sisi Alya.
“Tidur…” ucapnya singkat, nadanya rendah.
Reihan memejamkan mata, membiarkan dirinya hanyut dalam keheningan itu. Entah mengapa, saat memeluk Alya, ada rasa nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seakan semua beban di kepalanya mereda begitu saja. Helaan napasnya melambat, dadanya terasa lebih ringan.