Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Pesona Malam Maroon
Di kamar, Sena mulai menata barang-barang belanjaannya ke dalam lemari. Setiap potong baju yang ia beli hari ini tampak begitu cantik. Tangannya berhenti pada paperbag terakhir yang berisi dress merah maroonyang sejak awal berhasil merebut perhatiannya. Warna itu begitu elegan, memancarkan aura yang sulit dijelaskan. Sena tersenyum lembut, lalu mengangkat dress itu dan membawanya ke depan cermin.
Ia menyampirkan dress di depan tubuhnya, berputar ke kanan dan ke kiri, seolah tengah berdansa dengan bayangan dirinya sendiri. Ia sangat suka dengan dress ini, ia akan menggunakannya malam ini.
Dengan langkah ringan, Sena masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lima belas menit kemudian, ia keluar dengan penampilan baru, dress maroon melekat sempurna di tubuh mungilnya. Ia berdiri lagi di depan cermin, tersenyum cerah.
“Kau sangat menyukai dress itu sampai-sampai langsung memakainya malam ini?” suara berat yang familiar muncul dari belakang tanpa peringatan.
Sena tersentak kecil, matanya membulat.
Bastian berjalan mendekat dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan. Baginya, Sena terlihat luar biasa malam ini. Kulit pucatnya kian menonjol, punggung halus yang terekspos menambah pesona menggoda.
Sena masih sempat berputar kecil di depan cermin sebelum tiba-tiba merasakan sentuhan dingin di punggungnya.
“Ah!” Sena terlonjak, menoleh cepat. “Tanganmu dingin sekali, jangan pegang-pegang.”
Namun, Bastian tak berhenti. Tangannya meraba punggung itu dengan perlahan, lalu sedikit mencengkramnya.
“Bastiann…” Sena merengek, berbalik menghadap suaminya.
“Selera pakaianmu sekarang menjadi seperti pakaian wanita murahan begini?” nada Bastian terdengar sinis.
Sena berdecak pelan. “Ini kan hanya untuk di rumah.”
“Bukan. Hanya untuk di kamar,” Bastian mengingatkan, matanya tajam.
“Kalau keluar bisa pakai jaket, Bastian…” Sena mencoba beralasan.
“Tidak.” Ucapan singkat itu tak terbantahkan. Baginya, dunia tak boleh melihat Sena dalam balutan dress itu. Hanya dirinya.
Sena mendengus, mengerucutkan bibir. “Oke.” Tapi beberapa detik kemudian, ia kembali tersenyum nakal. “Aku cantik kan, Bas?”
Alis Bastian terangkat. Jarang sekali Sena bertanya seperti itu, bahkan tidak pernah. Sejak kandungannya memasuki usia empat bulan, Sena memang mulai bertingkah aneh. Contohnya seperti tiba-tiba menciumnya saat sesi photo tadi, dan sekarang wanita itu minta dipuji.
“Biasa saja,” jawab Bastian malas.
“Masa? Jadi aku nggak cantik?” Sena merajuk.
“Biasa saja,” ulangnya lagi.
“Ih, jawabannya iya atau nggak. Aku cantik nggak, Bas?” Sena terus mendesak.
Bastian tak menjawab. Sebagai gantinya, jemarinya mulai menyusuri dada Sena yang terekspos karena potongan dress itu cukup rendah.
“Bastian…” Sena buru-buru menahan tangan itu.
“Tidak boleh kusentuh?” tanyanya sinis.
“Bilang dulu aku cantik. Baru boleh.” Sena menatapnya penuh tantangan.
Senyum tipis muncul di wajah Bastian. Ia tak langsung mengalah. Kepalanya justru mendekat, bibirnya hampir menyentuh leher Sena.
“Bilang aku cantik dulu,” Sena masih menahan, pipinya memerah.
Bastian akhirnya menangkap kedua tangan Sena, menahannya erat, lalu berbisik di telinganya dengan suara serak, “Kamu… sangat-sangat cantik malam ini.”
Belum sempat Sena merespons, bibirnya sudah ditangkap dalam ciuman yang dalam. Bastian melumatnya rakus, tanpa memberi jeda. Sena sempat kaget, mencoba mendorong, namun Bastian terlalu kuat.
“Bb-bas…” ucapnya terbata, bibir masih terikat.
Ciuman itu berhenti sebentar. Jarak wajah mereka hanya sejengkal, napas keduanya memburu.
“Balas ciumanku,” suara Bastian terdengar tajam, sarat hasrat.
Tanpa memberi kesempatan lagi, ia kembali melahap bibir Sena. Kepala Sena terhuyung ke belakang, namun segera ditopang oleh tangan Bastian yang menahan tengkuknya. Satu tangannya lagi menarik tangan Sena, menuntunnya untuk melingkar di lehernya.
Bastian menggigit penuh nafsu bibir mungil itu hingga Sena membuka mulutnya, lalu ia menerobos masuk, menguasai setiap inci rasa.
Sena kelabakan, tapi akhirnya berani membalas. Tangannya mengerat di leher Bastian, tubuhnya ikut larut dalam ritme yang kian panas.
Awalnya ciuman itu cepat dan memabukkan. Saat Sena mulai kewalahan, Bastian melambat, memberinya kesempatan belajar untuk menyesuaikan ritme.
Tangan Bastian semakin turun, menarik perlahan tali tipis dress itu.
“Bb-bas!” Sena kaget lagi, wajahnya semakin merah.
“Sstt…” Bastian menenangkan, lalu menurunkan hujan ciuman ke leher, bahu, lengan, hingga perutnya yang lembut.
Bastian menciumi satu demi satu bagian tubuh Sena, hingga ke bagian sensitifnya. Sena terengah, tubuhnya bergetar hebat. Setiap sentuhan seakan menyalakan api yang merambat cepat di seluruh tubuhnya.
“Bastian…” suaranya nyaris tak terdengar, penuh getaran.
Bastian kembali menempelkan bibirnya di bibir Sena, kali ini jauh lebih lembut. Ciuman itu bukan lagi serangan, melainkan ajakan, undangan untuk tenggelam lebih dalam.
Lampu kamar yang temaram membuat bayangan sensual mereka menari di dinding.
Di sela desahan, Sena mulai berani mengimbangi setiap gerakan Bastian, meski pipinya bersemu merah karena malu.
Bastian menatapnya dalam-dalam, mata hitamnya berkilat penuh gairah bercampur kelembutan. “Jangan menolakku malam ini,” bisiknya, nyaris memohon.
Sena menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdentum keras. Ia tahu dirinya sudah larut dalam pusaran yang diciptakan Bastian. Perlahan, ia mengangguk kecil, lalu kembali menautkan bibirnya pada Bastian kali ini atas kemauannya sendiri.
Bastian tersenyum tipis di antara ciuman itu. Ritme mereka semakin menyatu, gerak tubuh yang saling mencari dan saling melengkapi.
Malam itu pun menjadi saksi bagaimana dua hati yang semula ragu kini melebur dalam satu kehangatan, membiarkan perasaan dan hasrat menuntun mereka lebih jauh.
Malam itu, mereka telah berubah menjadi pasangan yang lebih utuh.
...****************...
Malam Pameran Karya Arya tiba.
Bastian dan Sena turun dari mobil, melangkah masuk ke gedung pameran yang dihiasi cahaya lampu kristal berkilau. Atmosfer elegan langsung menyelimuti, membuat Sena semakin gugup. Tangannya tanpa sadar mencubit-cubit dirinya sendiri, hingga bekas kuku tampak di telapak tangan.
Bastian yang melihat itu segera meraih tangannya, menggenggam erat.
“Jangan lukai tanganmu,” ucapnya tajam.
Sena hanya bisa menggigit bibir, mencoba menenangkan diri.
“Sena.” Suara Bastian terdengar seperti peringatan, membuatnya terpaksa mengangguk patuh.
Mereka menyusuri lorong pameran, mata Sena segera tertarik pada karya-karya seni yang dipajang. Rasa gugupnya perlahan menghilang, tergantikan kekaguman.
“Bas, ternyata Arya sangat berbakat. Karyanya indah sekali,” ucap Sena polos.
“Jangan berani-berani memuji pria lain di depanku,” balas Bastian dingin.
Sena langsung terdiam. Ya, Bastian tetaplah Bastian.
Tak lama, Arya muncul dengan wajah sumringah. “Hai, man. Thanks for coming,” sapanya sambil memeluk singkat Bastian.
Baru saja ia ingin merangkul Sena, namun Bastian cepat-cepat mendorongnya menjauh, tatapannya tajam.
“Oh, come on, man. Hanya pelukan saja masa nggak boleh?” Arya tergelak.
Sena tersenyum kikuk, berusaha mencairkan suasana. “Arya, karyamu luar biasa sekali.”
“Terima kasih, Sena. Btw, temanmu nggak datang?”
“Oh iya, Clea mendadak ada urusan, jadi tidak bisa datang kesini.”
Arya mengangguk, seolah sudah menduga.
Sena masih berdiri takjub. Tatapan matanya tertuju pada salah satu lukisan besar dengan instalansi seni yang penuh makna didalamnya, hingga detail kecil yang seakan menyimpan rahasia pribadi. Ia menatap penuh kagum.
“Indah sekali… aku bisa merasakan emosi di dalam lukisan itu” ucap Sena lirih.
Arya tersenyum puas mendengar komentar itu, lalu melirik ke arah Bastian. “Kau beruntung sekali, Bas. Istrimu tahu cara menikmati seni.”
Kemudian, dengan nada bercanda namun menusuk, ia menambahkan, “Aku akan cari istri seperti Sena. Atau kalau bisa ya Sena saja, kalau kalian sudah cerai.”
Tatapan Bastian langsung berubah gelap. “Bermimpilah.”
...----------------...
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^