Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Kejutan Manis dan Satu Kejutan Panas (Part 1)..
Rania menutup pintu kamar dengan keras. Suara bantingan kayu itu memantul ke seluruh rumah, tapi ia tidak peduli. Bahunya naik turun, napasnya pendek-pendek. Rasa marah dan sakit hati bercampur di dadanya, mendesak sampai rasanya ingin meledak.
Ia duduk sebentar di tepi ranjang Ibra, menunduk, jemari meremas sprei. Semua kata-kata Niko barusan berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Sakit sekali,.
Lelah. Itu satu-satunya kata yang ia rasakan.
Rania berdiri lagi, melangkah cepat ke lemari kecil, menarik baju-bajunya dengan gerakan kasar. Kancing dibuka begitu saja, ia biarkan bajunya jatuh ke lantai. Ia ingin menghapus semua yang menempel padanya hari ini. Ingin bersih, ingin hilang dari semua ucapan Niko.
Ia masuk ke kamar mandi. Air dingin mengucur deras, mengenai kepala, wajah, pundak. Rania membiarkannya begitu saja, tanpa sabun, tanpa gerakan. Ia memejamkan mata, menunduk, membiarkan aliran air membasuh panas yang menumpuk di dadanya. Lama sekali ia berdiri di sana, sampai kulitnya terasa mati. Mati rasa.
Begitu keluar, ia meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya pelan. Napasnya mulai panjang, walau dadanya masih sesak. Lalu, di depan cermin kecil di kamar Ibra, ia berhenti. Matanya terpaku.
Disanalah ia melihatnya.. bekas gigitan samar di lehernya, kemerahan. Tidak besar, tapi jelas. Jejak Askara.
Jantungnya mendadak berdegup lain. Untuk sesaat, marahnya seperti direm. Hangat, perlahan, merembes masuk ke dadanya, menepis dingin yang tadi membungkus tubuhnya.
Rania mengangkat jemarinya, menyentuh bekas itu pelan. Kulitnya masih sedikit perih. Bibirnya tanpa sadar melengkung tipis. Senyum kecil, ragu, tapi tulus. Senyum yang hanya ia berikan pada dirinya sendiri.
Perasaannya jadi campur aduk, di satu sisi ia sakit hati oleh suaminya, tapi di sisi lain ia merasa ada seseorang yang melihatnya, menginginkannya. Sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Senyum tipis itu menguap pelan ketika Rania kembali duduk di ranjang Ibra. Kelelahan mulai terasa lagi. Ia meraih ponsel di atas nakas, berniat sekadar membuka grup chat proyek, mengecek laporan, lalu tidur.
Baru layar ponsel menyala, satu pesan masuk. Dari Erin, kakaknya.
... “Ran, bisa kirim uang untuk Bapak dan Ibu malam ini? Udah lama kamu gak transfer. Mereka nanyain terus tuh, banyak kebutuhan.”...
Rania menghela napas panjang. Tak ada pertanyaan tentang kabarnya, tentang hidupnya, apalagi perasaannya. Tapi itu tak seberapa, karena pesan berikutnya sampai membuat Jemarinya gemetar...
“Dan ingat, Ran… apapun yang terjadi, jangan cerai sama Niko. Bapak dan Ibu gak akan sanggup kalau kamu sampai diceraikan. Orang tua kita bisa mati berdiri. Mereka sudah bangga banget kamu jadi menantu keluarga Atmadja.”
Tatapannya kosong. Rasanya sesak. Padahal hatinya baru saja sedikit hangat karena mengingat Askara, sekarang diremuk lagi oleh kenyataan.
Ia mengetik singkat.
“Iya, Kak.”
Tak ada emotikon. Tak ada protes. Hanya satu kata itu.
Jemarinya langsung membuka aplikasi bank. Nominal yang ia ketik hampir menghabiskan saldo yang ia punya, tapi Rania tidak peduli.
“Biar saja,” gumamnya pelan. “Yang penting mereka tenang.”
Ketika transfer berhasil, layar menampilkan sisa saldo yang membuat dadanya makin berat. Uangnya tinggal sedikit sekali. Hanya cukup untuk makan satu atau dua hari.
"Ya Tuhan, apa aku harus lapar lagi?" ujarnya lemah. Pasrah.
Ponselnya diletakkan di samping bantal. Ia berbaring miring, memeluk guling Ibra yang wangi parfum remaja. Sepi sekali rumah itu. Hanya terdengar suara jam dinding berdetak.
Air mata mengalir diam-diam ke bantal. Tubuhnya lelah, hatinya juga. Malam ini, rasa marah, rasa hangat, dan rasa sedih bercampur jadi satu.
Matanya lama-lama terasa berat. Di balik kelopak yang tertutup, samar-samar wajah Askara muncul. Hangat. Tegas. Wangi. Senyumnya. Tatapannya. Sentuhannya.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Rania tertidur dengan sedikit rasa rindu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi itu jalanan masih lengang ketika mobil tua Rania tersendat, tersentak dua kali lalu berhenti total di bahu jalan.
Ia mencoba memutar kunci beberapa kali, tapi mesin hanya batuk...dan diam.
“Tidak sekarang… jangan sekarang,” gumamnya pelan, kedua tangannya mencengkeram setir.
Keringat dingin merembes di pelipis. Jam di ponsel menunjukkan pukul delapan lewat sedikit.
Hari ini hari pengecoran. Hari penting. Dan ia terjebak di tengah jalan, sendiri, dengan sisa uang di dompet yang bahkan tak cukup untuk sekali naik taksi ke proyek.
Rania menyandarkan kepala ke setir. Sesaat ia berpikir, kalau ia tinggalkan saja mobil ini di sini? Tapi kemudian bayangan biaya derek dan servis menghantam kepalanya.
Pilihan lain? Tidak ada.
Ia tidak mungkin menelepon Niko.
Tidak mungkin.
Suara klakson membuyarkan pikirannya. Dari kaca spion ia melihat mobil hitam elegan mendekat perlahan. Mobil itu berhenti di samping mobilnya. Jendela bagian sopir terbuka, menampilkan wajah Dion.
“Bu Rania?” suaranya ragu, tapi sopan. “Ada kendala?” tanyanya lagi.
Rania cepat-cepat menyeka pelipisnya.
“Mesin tiba-tiba mati,” jawabnya pelan. “Saya sudah coba, tapi tidak mau nyala.”
Dion menunduk, melihat mobil yang sudah kusam catnya, lalu menatap Rania lagi.
“Kalau begitu ikut saya saja. Kita ke proyek bersama. Nanti saya suruh orang kantor bantu mengurus mobil ini. Bagaimana?”
“Tapi… merepotkan sekali, Pak Dion.”
“Tidak apa-apa. Pak Askara tidak akan senang jika saya meninggalkan Bu Rania sendirian di tepi jalan seperti ini.”
Ada ucapan yang membuat pipi Rania sedikit panas. Ia akhirnya mengangguk, mengambil tas kecil, lalu masuk ke mobil.
Begitu duduk di kursi penumpang, ia menghela napas panjang. Ada rasa lega, tapi juga rasa malu karena ia selalu terlihat menyedihkan, yang entah kenapa bercampur dengan kehangatan aneh di dadanya.
*******************
Sore menjelang. Langit sudah memerah, ketika suara langkah Pak Rudi terdengar di depan pintu ruangan site manager.
“Bu Rania!” panggilnya heboh. “Turun sebentar, ada yang mau saya tunjukkan.”
Rania meletakkan bolpennya, menuruni anak tangga. Begitu sampai di halaman proyek, langkahnya otomatis melambat.
Deretan mobil hitam dan abu-abu mengkilat berlogo kecil Atmadja Holdings terparkir rapi di sisi lapangan. Baru, wangi, gagah.
“Ini… mobil siapa, Pak?” tanyanya, bingung.
“Mobil operasional. Untuk para supervisor proyek. Termasuk ibu.” Pak Rudi terkekeh, bangga. “Katanya Pak Askara yang instruksikan langsung.”
Rania terpaku. Suara Pak Rudi terdengar seperti gema.
Kepalanya dipenuhi ingatan tentang mesin mobilnya pagi tadi, wajah Dion yang menawarinya tumpangan. Lalu tiba - tiba sore harinya... ada mobil operasional untuk semua, termasuk dirinya
Ia tidak butuh penjelasan lagi.
Rania berdiri di sana cukup lama. Matanya menelusuri satu per satu mobil, lalu berhenti di salah satunya. Ada sesuatu di dadanya yang menghangat, mengembang pelan-pelan.
Ia tidak butuh ucapan. Tidak butuh siapa pun tahu.
Tapi ia tahu, di balik semua ini, ada seseorang yang diam-diam memperhatikan, memastikan ia bisa terus melangkah.
Benih perasaan yang kini tumbuh subur dalam hatinya mungkin salah, tapi ia tak sanggup memangkasnya.
(Bersambung).....