NovelToon NovelToon
Gara-gara Buket Bunga

Gara-gara Buket Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: hermawati

Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.


Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pulang Kampung

Hari masih gelap, tapi Ari dan Sandi harus mendengarkan wejangan panjang lebar dalam bahasa kromo Inggil yang disampaikan oleh perempuan paruh baya.

Keduanya hanya bisa menunduk dan tak sedikitpun berani membantah. Mereka cukup sadar diri.

Menikah mendadak tanpa memberitahukan keluarga besar, jelas membuat Bu Tejo meradang. Putra sulung kebanggaannya berbuat hal yang menurutnya kurang pantas.

(Aku tulis pakai bahasa Indonesia aja ya!)

"Terus, mas Ari kasih mahar berapa sama nak Sandi?" Tanya Bu Tejo.

Ari menyebutkan nominal dalam bentuk uang pecahan asal negara Paman Sam. "Kira-kira kalau dirupiahkan berapa itu?" Gumam perempuan yang mengenakan mukena berwarna putih.

Bu Tejo biasa disapa, terkejut dengan kedatangan putra sulungnya tiba-tiba di waktu sepertiga malam terakhir. Bersama seorang gadis asal Malang, yang katanya sudah dinikahi pagi kemarin.

"Itu lumayan, Bu! Tapi mas udah kasih uang ke orang tuanya Sandi di luar mahar kok!" Ari sedikit membela diri. Sebelumya dia sudah menceritakan dari awal hingga akhir. Saat pertama bertemu Sandi, sempat tak bertemu selama tiga tahun. Hingga Sandi yang jadi salah satu penghuni kamar kos miliknya. Lalu proses pendekatan, kemudian keputusan menikah secara spontan.

"Apa nak Sandi hamil?" Bu Tejo bertanya pada menantunya.

Sandi menggeleng, "mboten Bu! Alhamdulillah Kulo Isih suci."

"Mas masih ingat dosa, Bu!" Ari menambahkan.

Masih dalam keadaan menunduk, Sandi melirik sinis ke arah suaminya. Andai tidak ada telepon dari teman Ari, mungkin malam kemarin segelnya sudah terlepas.

"Terus apa rencana kalian setelah ini?" Tanya Ibu.

"Mas mau dapat buku nikah dulu, Bu!"

"Lalu resepsi, bagaimana pendapat orang tua mu?" Tanya Ibu pada menantunya.

"Mereka baru menikahkan adik istrinya mas, Bu! Sepertinya tidak bisa untuk melakukan resepsi di sana." Ari yang menjawab.

"Ya udah kalau gitu, setelah buku nikahnya keluar. Kita buat acara ngunduh mantu di sini saja."

"Nggak di Jakarta aja, Bu?"

"Ndak Mas! Keluarga besar kita di sini. Mereka sudah berkali-kali nanya soal kapan kamu nikah, ibu sampai malu. Apalagi gara-gara kejadian beberapa tahun lalu." Bu Tejo ingat ketika putra sulungnya hancur karena gagalnya pernikahan yang tinggal menghitung hari.

"Ya udah terserah ibu."

Obrolan mereka terhenti ketika terdengar sayup-sayup suara orang mengaji dari speaker musolah tak jauh dari rumah. "Sekarang mas siap-siap buat subuhan ke musolah, biar nak Sandi subuhan sama ibu di rumah."

"Nggih Bu!!" Ari menurut namun sebelumnya dia mendekat pada ibunya dan membisikkannya sesuatu.

Dari kampung halamannya, Sandi bersama Ari menaiki moda kereta menuju tanah kelahiran lelaki yang sebentar lagi berusia tiga puluh dua tahun itu. Mereka tiba di stasiun lewat dini hari, sempat berdiam sejenak sambil menunggu jemputan saudara Ari. Mengingat tak ada tranportasi memadai dan jaraknya lumayan jauh dari rumah.

Sandi sempat menanyakan bagaimana bersikap pada mertuanya, Ari menjelaskan jika ibunya bukan perempuan tua kolot. Lebih terbuka, apalagi sejak kejadian gagal menikahnya Ari. Jadi Sandi cukup bersikap biasa saja.

Ibunda Ari memiliki beberapa kebun cengkeh dan beberapa macam buah. Juga peternakan ayam petelor dan potong. Bisa dibilang Ari berasal dari keluarga berada.

Rumah yang ditempatinya pun cukup luas dengan bangunan joglo yang menjulang di atapnya.

Menantu dan mertua itu beribadah bersama dengan Bu Tejo sebagai imamnya. Sambil menunggu Ari, mereka mengaji bersama.

"Abis suruk, nak Sandi tidur saja. Pasti capek setelah perjalanan jauh." Kata Ibu sambil melipat mukena.

"Nggih Bu!!"

Ari memiliki seorang adik laki-laki yang masih berkuliah di luar kota, sehingga Bu Tejo hanya tinggal berdua dengan asisten rumah tangga yang masih ada hubungan saudara.

Tapi bukannya berisitirahat, sepulang dari Mushola. Ari justru mengajaknya berjalan-jalan di sekitar rumah.

Pertama-tama Ari mengajaknya ke sawah milik orang tuanya, dia menunjukan mana saja letaknya. Hari itu tanaman padi terlihat mulai menguning, dan Ari menyebutkan waktu panennya.

"Mau sarapan serabi nggak? Di sini ada jual, rasanya legend banget." Tawar Ari, ketika mereka menjejakkan kaki di jalan beraspal setelah mengunjungi sawah.

"Boleh, mas! Tapi apa nggak apa-apa? Ibu kayaknya masak sarapan." Sandi merasa sungkan.

"Tenang aja, aku juga pasti habisin masakan ibu. Jadi beliau tak akan marah."

Sandi merasa lega, setidaknya dia tak akan berkonflik dengan mertuanya. "Mas, rumahnya mbak Rumi sebelah mana?" Tanyanya.

"Kenapa bahas dia sih?" Ari mendengus kesal.

"Ya mumpung di sini, aku pengen tau aja."

Ari menggeleng tak setuju, "Nggak usah mau tau. Itu tidak baik dan aku nggak suka, gara-gara hal tersebut kita jadi berantem."

"Astaga mas, aku cuma mau tau rumah mbak Rumi doang. Aku nggak niat buat berantem sama kamu."

"Pokoknya nggak usah sebut nama dia, kalau kita sedang bersama. Aku tidak suka dan tidak mau mengingatnya." Sejak memutuskan untuk bersama dengan perempuan di sebelahnya, Ari sudah sepenuhnya melepaskan perasaannya pada sosok cinta pertamanya. Terbukti ketika Jumat sore kemarin, dia tak lagi merasakan debaran untuk sang mantan.

"Iya-iya, segitunya sama Mbak Rumi. Padahal dia baik loh."

Ari diam dan tak menanggapi. Mereka yang tadinya berjalan beriringan, kini Ari mempercepat langkahnya. Alhasil Sandi jadi tertinggal beberapa meter di belakangnya.

"Masih ada rasa tuh! Gitu aja marah." Bukannya menyusul, Sandi malah berjalan santai sambil menggerakkan tangannya. Sepertinya sudah lama sekali dia tidak berjalan-jalan di desa. Tempo hari ketika mengunjungi villa, Sandi tak bisa menikmati suasana jalanan desa. Mengingat saat itu hujan turun dengan derasnya.

Sandi mengeratkan kardigan yang dikenakannya, udara lumayan dingin. Tapi dia suka, rasanya menyenangkan sekali. Dia yang terlahir di kota, melihat pemandangan seperti ini.

"Kenapa nggak nyusul aku? Aku marah loh!"

"Maaf aku tidak pandai merayu." Sahut Sandi santai.

Ari berkacak pinggang, "kok jadi kayak cinta bertepuk sebelah tangan."

Sandi menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya suaminya berpikir seperti itu. Dirinya yang kaku dan kolot, mau saja menerima Ari. Apalagi kalau bukan karena cinta. Sandi memang belum menceritakan tentang perasaan sebenernya, biar saja suaminya berpikir seperti itu. Toh sekarang mereka sudah memiliki status resmi. "Terserah." Katanya santai, dia berjalan mendahului. "Tempatnya masih jauh, nggak?" Tanyanya. "Aku agak laper."

Ari menyamai langkah istrinya. "Kamu santai banget, aku tadi marah loh!" dia tak habis pikir.

"Marah aja, itu hak kamu. Lagian aku cuma tanya soal rumahnya Mbak Rumi, kamu malah baper. Jangan-jangan kamu masih ada rasa tersisa sama beliau, makanya sampai marah."

"Mana ada aku kayak gitu," Ari membantah. "Kemarin pas ketemu aja, aku udah kayak biasa aja. Sama seperti Mia dan yang lainnya."

"Ya udah kalau gitu, nggak usah marah kalau aku bahas mbak Rumi. Aku cuma tanya rumahnya loh!"

Ari menghela napas. "Rumahnya lebih ke Utara lagi, sekitar tiga ratus meter dari rumah ibu."

"Ohhh ... Berarti kita nggak lewatin ya?"

Ari mengangguk, "kita berlawanan arah." Mereka berjalan menuju jalan yang biasa disebut jalur selatan.

Setelah melewati jalan aspal di tengah-tengah persawahan, kini mereka memasuki area sekolah. Ada tiga sekolah diantaranya ada dua SMP dan satu SMK.

"Sekolah kamu yang mana?" Tanya Sandi.

"Bukan di sini, aku harus naik angkutan umum atau diantar mendiang bapak. Lumayan jaraknya dari rumah."

"Kalau mbak Rumi?"

Ari mengembuskan napasnya kasar, istrinya hobi sekali menanyakan mantan yang masih berusaha dia lupakan. "Ini sekolahnya." Ari menunjuk dengan dagunya, bangunan bertingkat dua bertuliskan SMP 2.

"Kalian seumuran, kan? Kok bisa beda sekolah."

Ari menaikan bahunya. "Entahlah."

"Masa kamu nggak tau alasannya, emangnya saat itu kamu belum ada rasa?"

"Stop bahas masa lalu, aku benar-benar tidak mau mengingatnya." Pagi-pagi, istrinya sudah memancing amarahnya.

"Cuma pengen tau aja, nggak boleh." Sandi memanyunkan bibirnya.

"Kemarin aku nggak banyak tanya soal masa lalu kamu sama Ali, tapi kamu bahas masa laluku terus."

"Ya karena aku mau tau aja. Lalu soal aku dan mantan, kami tak banyak melakukan apapun. Hanya makan di tenda kaki lima dan sesekali di resto kalau aku abis gajian. Nonton bioskop aja belum pernah bareng." Hubungan pacaran Sandi dan Ali, bagai remaja SMP. "Sementara kamu dan Mbak Rumi, hubungan yang sudah terjalin lama dan kamu butuh bertahun-tahun untuk move on. Jadi aku penasaran aja."

"Penasaran kamu buat kita berantem pada akhirnya. Jadi stop mau tau masa lalu aku, aku mau kita menatap masa depan bersama. Hanya ada aku, kamu dan mungkin anak kita nanti." Ari sedikit meninggikan suaranya. "Jadi aku mohon, tolong jangan dibahas lagi. Aku benar-benar meminta dengan sungguh-sungguh." Ari menghentikan langkahnya dan memegang kedua tangan istrinya.

"Iya-iya, kalau inget." Sandi melepaskan tangan itu dan sedikit berlari menuju jalan raya.

"San ..."

"Apa sih mas? Ayuk nyebrang mumpung sepi." Teriaknya.

Keduanya saling bergandengan tangan dan menyeberang jalan raya, mereka berbelok ke arah kanan. Melewati beberapa agen bus dan kantor polisi. Di sebelah kantor polisi ada jalan beraspal menuju desa lain. Dan di pinggir sungai kecil yang berada di tepi jalan beraspal itu ada sebuah gubuk kecil. Sudah ada beberapa orang yang mengantri di sana.

Aroma wangi bisa Sandi cium dari tempatnya berada. Kue tradisional berbahan dasar tepung beras, santan dan garam yang dimasak dengan kayu bakar, sehingga menghasilkan aroma khas.

"Kamu mau rasa original atau gula merah?" Tanya Ari.

"Dua-duanya." Jawab Sandi.

Dengan menggunakan bahasa Jawa halus, Ari memesan beberapa serabi. Ada yang dimakan ditempat dan dibungkus.

Ada bangku kayu panjang, yang biasa untuk duduk-duduk pelanggan. Ari dan Sandi duduk berdampingan dengan para pembeli lainnya.

"Waktu aku dari Jogja, aku kan bawa oleh-oleh. Karena terburu-buru aku salah masuk lift, eh malah ketemu pak Dimas. Beliau menanyakan kardus yang aku bawa, setelah aku bilang. Beliau malah meminta serabi, sepertinya itu adalah kue tradisional favorit beliau."

"Dibahas lagi." Gumam Ari pelan, disertai dengusan kesal.

"Bukannya mau bahas, aku cuma ingat aja." Sandi membantah.

"Cukup kamu bahas dalam hati aja, aku males banget dengar tentang mereka."

Belum sempat Sandi menjawab, nama suaminya dipanggil. Otomatis mereka mencari arah sumber suara. Dan terlihat perempuan berhijab merah muda datang ke arahnya.

Perempuan itu menyodorkan tangan ke arah Ari. "Mas Ari apa kabar? Pulang nggak bilang-bilang."

Ari menyambut sodoran tangan itu. "Aku baik, kamu apa kabar?" Tanyanya balik.

"Baik dong! Apalagi setelah lihat kamu." Perempuan bernama Astuti yang juga tetangga Ari itu tersenyum malu-malu.

Sandi menaikan sebelah alisnya, sepertinya ada sesuatu. Namun saat ini, dia hanya ingin menjadi penonton saja.

"Kamu mau pesan serabi?"

"Iya mas, buat bapak."

"Ohhh ya udah, kamu pesan dulu sana."

"Itu mah gampang, sekarang aku mau ngobrol sama kamu dulu." Astuti membetulkan jilbabnya, senyuman tak luntur dari wajahnya. "Permisi mbak!" dia duduk di antara perempuan dengan kardigan abu dan Ari.

Sandi melongo, astaga dia dipisahkan dari suaminya. Sandi menoleh dan mendelik ke arah lelaki berkaus hitam yang tak lain adalah Ari.

"Mas Ari lama di sini, kan? Kata bude Tejo, mas Ari sekarang menetap di Jakarta."

Bukannya menjawab, Ari justru bangkit begitu melihat orang di sebelah istrinya pergi karena pesanan telah selesai dibuat. Dia takut Sandi merajuk, sehingga dia berpindah tempat duduk.

"Kok pindah mas, ada aku loh di sini." Astuti protes.

"Maaf, aku mau didekat istriku aja." Sahut Ari sambil menggenggam tangan istrinya.

"Istri?" Astuti menatap tak percaya.

"Iya istri aku." Ari tersenyum padahal sedari tadi wajahnya biasa saja. Tapi begitu menyebutkan kata 'istri' rasanya ada kebanggaan tersendiri. "Sayang ... Kenalin dia Astuti, tetangga satu RT."

Sandi menyodorkan tangannya, "halo ... Saya Sandi istri mas Ari."

Bukannya disambut, perempuan bernama Astuti itu malah pergi meninggalkan mereka sambil mengomel. Alhasil hanya dingin yang Sandi rasakan di telapak tangannya. Dia menaikan bahunya tak peduli, dan menarik tangannya kembali. "Dia suka sama kamu, kayaknya." Komentarnya.

"Biarin aja aku nggak peduli."

Penjual menyajikan satu porsi serabi pada dua pengantin baru itu dengan piring bambu beralaskan daun pisang dan dua gelas teh manis hangat.

Baru beberapa suap, kembali ada yang memanggil Ari. Kali ini mantan calon mertua dan putranya. Seperti tadi, terlihat mereka terkejut ketika Ari memperkenalkan istrinya.

Dalam hati apalagi setelah ini? Sepertinya dua orang itu sama keberatannya dengan status baru yang tersemat pada diri Ari.

1
bunny kookie
top deh pokoknya 👍🏻💜💜
bunny kookie: bagus banget loh padahal kak,sat set loh cerita nya gk menye2 ,,
😭😭 apa yg sempat baca di paijo gk ikut kemari ya,ikut syedihh aku 😭😭😭
nabila anjani: Ka up lagi dong
total 3 replies
nabila anjani
Kak up lagi dong
Mareeta: udah aku up lagi ya
total 1 replies
bunny kookie
up lagi gak kak 😂
Mareeta: aku usahakan pagi ya kak
total 1 replies
bunny kookie
lanjut kak ☺
bunny kookie
nyampek sini aku kak thor ☺
Mareeta: terima kasih 😍 aku ingat dirimu pembaca setia karyaku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!