NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Jadi Manusia Normal

Setelah sore yang aneh tapi damai di taman kota, mereka bertiga pulang ke kosan dengan langkah ringan. Kaki pegal, tapi hati lumayan adem. Di luar dugaan, Sasmita nggak banyak protes selama jalan bareng sore tadi. Bahkan sempat beli cilok dan bilang, “Ini satu-satunya bola yang gue suka.”

Tri dan Ningsih langsung nyatet itu di memori permanen.

Dan malam belum selesai.

Tri yang megang komando agenda, langsung eksekusi rencana fase ketiga dengan penuh semangat. Dia masuk kamar bentar, keluar bawa speaker bluetooth warna merah marun—udah rekatin selotip supaya gak gampang copot, karena udah jatoh dari loteng dua kali sebelumnya.

“Guru,” panggil Tri, “malam ini ada jadwal lanjutan healing: karaoke mini di kamar.”

Sasmita yang lagi ganti baju santai—tanktop item dan celana pendek—langsung ngeker muridnya. “Lo nyuruh gue nyanyi?”

Ningsih nyaut dari dapur, “Enggak nyuruh. Cuma ngasih pilihan antara karaoke atau tidur sambil denger lagu pengantar dari Tri: dangdut remix dan jazz betawi.”

Sasmita ngebuang napas. “Asal jangan lagu cinta-cintaan lebay. Gue bisa muntah.”

Tri langsung senyum licik. “Sip, kita mulai dari The Changcuters dulu.”

---

Speaker nyala. Musik mulai ngepul. Lagu pertama: Racun Dunia.

Tri ambil sikat gigi jadi mikrofon. Ningsih ikut nyanyi, suaranya cempreng setengah sadar. Sasmita duduk di kasur sambil ngisep rokok, awalnya cuma nonton sambil ngangkat alis.

Tapi pas masuk lagu keempat: I Will Survive, entah kenapa Sasmita berdiri pelan, ngeloyor ke tengah kamar.

Dan dia... nyanyi.

Suara serak-serak kasar, tapi bertenaga.

“First I was afraid, I was petrified...”

Tri dan Ningsih langsung teriak kaget, lalu tepuk tangan kegirangan. “YEEEE GURU NYANYI! DUNIA AKAN DAMAI!”

Sasmita ngebalikin lirik lagu jadi kayak mantra. Gaya panggungnya absurd—tangannya kayak lagi baca jampi, kakinya lompat kecil-kecil. Tapi mereka bertiga ketawa.

Malam itu, bukan tentang suara bagus atau enggak.

Tapi tentang... suara yang gak biasa keluar, akhirnya dikeluarin.

---

Jam udah nunjukin pukul sembilan lebih.

Setelah sesi nyanyi yang bikin tenggorokan aus, mereka langsung lanjut ke agenda berikutnya: makan malam bikin sendiri.

Tri pegang wajan. Ningsih motong bawang.

Sasmita duduk di pojok dapur, sambil baca buku sambil ngawasin dua muridnya kayak induk harimau.

“Garam jangan kebanyakan,” kata Sasmita tanpa liat.

Tri manyun, “Belum gue tabur, Guru.”

“Gue udah liat niat lo. Dan niat lo asin.”

Ningsih ketawa sambil numis ayam, “Tenang Guru, ini bakal lebih aman dari nasi goreng angkatan lalu.”

Sasmita sempet bantu cuci piring sisa sore tadi. Dia enggak banyak ngomong. Tapi matanya gak sekeras biasanya. Ada lembut yang jarang keluar. Mungkin karena capek. Mungkin karena kenyang tertawa.

Atau mungkin karena... dia mulai inget rasanya jadi manusia biasa.

---

Satu jam kemudian, meja makan kecil kosan penuh: nasi goreng dengan suwiran ayam kecap, kerupuk udang, sambel dadakan, dan satu teko es teh manis.

Mereka makan pelan-pelan. Lampu gak terang-terang amat. Cuma cukup buat liat senyum satu sama lain.

Sasmita sempet nyeletuk, “Gue bisa ngebunuh siluman kelas tinggi, tapi enggak bisa ngalahin rasa sambel lo.”

Tri bangga. “Itu tandanya guru masih punya alasan buat pulang ke rumah.”

Sasmita melirik. “Lo baru masak dua kali. Jangan GR.”

Tapi senyumnya gak ilang dari awal sampai habis makan.

---

Setelah semua beres, agenda selanjutnya adalah hal paling absurd dan random malam itu: pasang lilin aroma terapi.

Ningsih keluarin dua lilin kecil dari plastik Alfamart.

“Satu wangi kopi, satu wangi lavender. Biar seimbang: antara kebrutalan dan ketenangan.”

Sasmita lihat lilin itu kayak ngelihat benda dari planet lain.

“Gue bener-bener enggak nyangka hidup gue sampai di titik ini.”

Tri nyalain lilinnya. Aroma langsung nyebar. Kamar jadi hangat, dan... menenangkan.

Mereka duduk melingkar di lantai.

Ningsih nyalain musik pelan dari speaker: instrumental gitar petikan, nggak ada lirik, cuma nada-nada yang bikin kepala tenang.

Dan di momen itulah... Ningsih ngeluarin hadiah kecil dari dalam tas plastik.

“Buat Guru.”

Sasmita nengok. “Apaan lagi, jangan bilang jimat baru. Gue udah cukup.”

Tri nyodorin bungkusan kecil. Kertas pembungkusnya bekas majalah gosip.

Sasmita buka pelan-pelan.

Isinya: kaos kaki warna hitam dengan gambar kucing oranye tidur di bulan sabit.

Sasmita diem. Lama.

“Gue...”

Dia gak nerusin kalimatnya. Cuma nyengir kecil.

“Lo berdua gila. Ngasih kaos kaki ke pemburu siluman kayak gue. Kenapa bukan peluru?”

Tri jawab sambil ngusap hidung, “Karena Guru butuh sesuatu buat ngerasain kalau hidup enggak cuma tentang darah, kutukan, dan keris.”

“Kadang... hidup juga soal ngerasa anget waktu kaki lo dingin.”

Sasmita ngelipet kaos kaki itu. Lalu narik napas panjang.

“Lo berdua... nyusahin. Tapi... ngangenin juga.”

Tri dan Ningsih gak bilang apa-apa.

Karena enggak perlu.

Kadang, keheningan di antara orang-orang yang nyambung itu lebih keras dari segala teriakan.

---

Malam makin larut.

Tapi gak ada yang buru-buru tidur. Mereka tetap duduk, ngobrolin hal-hal remeh.

Tentang masa kecil Ningsih yang pernah nyasar ke kandang ayam.

Tentang Tri yang pernah kena hukum karena nyimpen gambar Naruto di buku Matematika.

Dan bahkan Sasmita—yang selama ini keras kayak batu karang—cerita dikit.

Tentang ayahnya, yang suka nyanyi lagu lawas waktu masak.

Tentang masa kecilnya yang sempat ceria, sebelum darah dan siluman jadi bagian hidup sehari-hari.

Mereka ketawa, terdiam, lalu ketawa lagi.

---

Dan malam itu ditutup dengan satu kalimat lirih dari Sasmita.

“Lo tau enggak... ini pertama kali dalam sepuluh tahun terakhir, gue tidur dengan perasaan gak was-was.”

Tri jawab pelan. “Karena malam ini bukan tentang pertempuran, Guru. Tapi tentang pulang.”

Sasmita matiin rokok terakhirnya.

Lilin masih menyala.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!