Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.25 : Sebuah Ramalan di Pasar Malam
"Dhiyas bisa bantu aku?," tanya Yudistira ketika menghampiri Dhiyas yang baru saja selesai melatih ilmu bela diri.
"Katakan saja. Aku bantu semampuku," Dhiyas menyeka keringatnya.
"Aku..mau melamar Raras akhir pekan ini,"
Dhiyas melongo,
"Melamar?," wajahnya sumringah, "Aku senang mendengarnya, Yudis,"
"Aku juga bahagia, Yas. Kami sudah kenal bertahun-tahun. Aku pikir sudah saatnya membawa hubungan ini pada suatu kepastian," tandas Yudistira.
"Lalu apa yang harus aku bantu?," Dhiyas tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya untuk sahabatnya itu.
"Tolong kamu dan Ayudiah hadir juga saat aku melamar Raras. Kalian bisa jadi saksi peristiwa itu,"
"Dengan senang hati. Di mana rencananya mau melamar? Rumah? Di sini, di padepokan? Atau....?,"
"Di pasar malam,"
"Aku dan Ayudiah pasti datang ke sana,"
"Terima kasih sebelumnya, Yas,"
"Kamu hebat, Yudis. Laki-laki harus seperti itu. Laki-laki harus membawa kepastian kemana hati kekasihnya akan dibawa. Jangan sampai tidak ada kejelasan pada akhirnya," Dhiyas bukan berbincang, tapi itu curhatan hatinya.
**
"Belum ada kabar juga dari Cakra," Sri Lestari murung bertopang dagu di atas meja makan. Lagi-lagi dia tidak menyentuh makanannya.
"Sabar to, Bu. Baru aja beberapa hari. Lebih baik kita doakan aden tiba dengan selamat di sana,"
"Dia akan baik-baik saja. Aku yang tidak baik-baik saja kalau sampai Cakra tidak menyampaikan pada Charles untuk tidak menceraikan ku, aku bisa jatuh miskin mendadak," keluh Sri Lestari.
Bi Mirna melongos dan menggelengkan kepalanya.
**
Akhir pekan di pasar malam,
"Wah, banyak juga wahananya ya," seru Raras. Dia belum tahu kejutan yang disiapkan Yudistira untuknya.
"Iya, ramai juga ternyata," timpal Ayudiah.
Ketiganya memasuki area pasar malam dengan sumringah.
Hiburan seperti ini sangat jarang ditemukan. Sempat ada beberapa waktu lalu tapi dilarang pemerintah Belanda karena sering menjadi ajang penyusup intelijen Indonesia untuk memata-matai Belanda. Namun sejak pengaruh Belanda semakin memudar karena perlahan digusur Jepang, maka keberadaan pasar malam tidak dibatasi lagi.
"Kita jajan jagung bakar yuk," ajak Dhiyas.
Ketiganya menuju penjual jagung bakar. Memesan tiga buah. Berbincang sembari menunggu jagung dibakar.
"Cakra belum ada kabarnya, Yas?," tanya Ayudiah.
"Belum," raut wajah Raras sedikit berubah.
"Ditunggu saja. Mungkin belum tiba. Biasanya kan kapal itu perjalanan nya hampir sebulan. Aku yakin dia akan kirim kabar begitu tiba di Belanda,"
"Semoga," Dhiyas mencoba tersenyum lebar.
Jagung mereka sudah siap.
"Di situ ada peramal, ke sana yuk, mumpung di sana sepi," tunjuk Raras sambil mengunyah jagung bakarnya.
Ketiganya menuju ke stand kecil. Di sana ada seorang wanita menggunakan kerudung tipis berwarna gelap menutupi rambutnya, menyisakan gadis dahi dan sepasang mata tajam. Di depannya terbentang kain lusuh bermotif pudar, di atasnya terdapat beberapa kartu remi tua, seikat bunga kering, dan sebuah cermin.
"Kita cuma lihat-lihat saja, kan?," bisik Dhiyas.
"Sayang ah tidak coba Yas. Iseng-iseng saja," bujuk Raras.
Mereka bertiga berdiri di depan stand. Wanita itu mengangkat wajahnya. Menatap mereka bertiga satu persatu seolah-olah sedang mengukur sesuatu dari kedalaman hati ketiganya.
"Siapa yang mau diramal?,"
Mereka bertiga saling pandang sambil terkekeh,
"Kamu aja, Yas," goda Raras.
"Tidak ah. Kamu saja, atau Ayu," balas Dhiyas.
Dhiyas berusaha menolak tapi tangan Ayu sudah lebih dulu mendorong pundaknya,
"Sini jagungnya aku pegang," Ayudiah mengambil jagung bakar dari tangan Dhiyas.
Mau tidak mau, Dhiyas terpaksa duduk di hadapan wanita peramal itu. Raras dan Ayudiah tertawa-tawa kecil di belakangnya. Dhiyas pura-pura cemberut.
Wanita peramal itu mengambil tangan Dhiyas. Sentuhannya dingin, tapi mantap. Jemarinya berhenti di telapak Dhiyas sejenak, lalu kartu-kartu di atas kain digeser perlahan.
Perempuan itu menarik napas pelan sebelum membalik kartu pertama. Ujung jarinya menyentuh kertas tua itu seolah menyentuh kulit hidup.
“Hati,” katanya lirih.
Ia menatap Dhiyas tanpa berkedip,
“Hatimu penuh… bukan oleh satu rasa, tapi oleh rasa yang belum sempat diberi nama. Kau mencintai dengan cara memendam. Kau setia, tapi kesetiaanmu akan diuji oleh pilihan yang tak kau minta,"
Dhiyas menelan ludah. Kata hati itu jatuh tepat di dadanya, terlalu tepat. Suasana iseng dan canda mulai berubah tenang dan agak tegang.
Perempuan itu lalu menggeser kartu kedua. Kali ini ia berhenti lebih lama, seolah ragu untuk membuka. Ketika kartu itu akhirnya terbuka, wajahnya mengeras,
“Peperangan besar,” ucapnya pelan, tapi berat.
“Bukan hanya perang dengan senjata. Ini perang yang menyeret banyak jiwa, negeri melawan negeri, manusia melawan manusia. Dan kau…” Jemarinya mengetuk kartu itu sekali, “Kau berdiri terlalu dekat dengan pusaran itu,"
Lampu minyak bergetar, bayangannya menari liar di wajah Dhiyas. Di belakangnya, Raras dan Ayu menahan napas. Sudah tidak ada lagi candaan di wajah mereka bertiga.
Lalu kartu ketiga.
Perempuan itu tidak langsung bicara. Ia hanya menatap simbol di kartu itu lama sekali, hingga udara di sekeliling terasa beku. Ketika akhirnya ia mengangkat wajah, suaranya nyaris berbisik,
“Kematian.”
Ayu refleks menutup mulutnya. Raras memucat.
Perempuan itu melanjutkan, lebih pelan, lebih hati-hati,
“Bukan kematianmu,” katanya. “Tapi kematian yang akan mengubah hidupmu. Seseorang yang kau cintai… atau sesuatu dalam dirimu sendiri, akan mati. Dan setelah itu, kau tak akan pernah menjadi perempuan yang sama,"
Ia menutup kartu-kartu itu satu per satu, lalu melepaskan tangan Dhiyas,
“Takdir tidak datang untuk ditakuti,” katanya datar, “Ia datang untuk dipersiapkan,"
Dhiyas terperanjat. Seperti ada sesuatu yang menghantam hatinya.
"Di sini kalian rupanya," suara Yudistira mengagetkan.
Raras berpaling,
"Iya, kami iseng nyuruh Dhiyas diramal,"
"Ya ampun kalian ini," Yudistira mengecilkan suaranya, "Ini musyrikin,"
"Coba iseng saja kok," Raras cemberut.
Dhiyas mencoba mengembalikan fokusnya. Berusaha tegar dan tidak terpengaruh ramalan barusan. Setelah membayar, Dhiyas bangkit dari tempat duduknya,
"Oh ya, Ras, ada yang Yudistira mau sampaikan," Dhiyas berusaha sumringah.
Raras menatap Yudistira dengan tatapan bertanya. Wajah Yudistira memerah. Senyum kecil tersungging di sudut bibirnya.
"Katakan saja," Dhiyas setengah berbisik. Raras mengernyitkan keningnya.
Yudistira berdehem lalu mendengus,
"Raras...Aku tahu mengatakan hal ini di pasar malam seperti ini merupakan hal yang aneh. Tapi aku juga bingung harus memilih kapan dan di mana yang tepat,"
Yudistira mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah kotak. Di dalamnya terbaring cincin emas polos, tak berkilau berlebihan, tapi tampak kokoh. Yudistira menatap Raras,
"Maukah kamu menikah denganku, Ras?,"
Raras terkejut. Dia menutup mulutnya dengan tangan.
Ayudiah di sampingnya juga tak kalah terkejut. Senyumannya langsung melebar melihat sahabatnya dilamar.
Senyuman Dhiyas juga langsung mengembang. Sesaat dia lupa soal lamaran tadi.
Mata Raras berkaca-kaca sambil mengangguk dia menjawab,
"Aku mau," diiringi tepuk tangan Dhiyas dan Ayudiah.
Yudistira mendekati Raras.
"Sini jagungnya aku pegang," Ayudiah kini menggenggam tiga jagung bakar sekaligus di tangannya.
Yudistira mengulurkan tangannya mengambil tangan Raras dan memasangkan cincin polos itu ke tangan Raras.
Wajah bahagia Raras tak terbendung. Haru dan bahagia melebur. Dhiyas dan Ayudiah juga merasakan kebahagiaan itu.
Tak jauh dari situ, peramal wanita tadi tak luput menatap Dhiyas terus sedari tadi. Sesuatu dalam diri Dhiyas membuatnya menatap tak berkedip. Tatapannya tajam tapi sarat kesedihan. Mengasihani takdir Dhiyas.