Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejamnya Dunia
Arunika melangkahkan kakinya gontai menuju kosnya, jiwanya terasa hampa. Langit Yogyakarta yang biasanya cerah kini tampak mendung, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimutinya.
Pemecatan dari kampus adalah pukulan telak. Segalanya terasa begitu tidak adil, seolah semesta bersekongkol menghancurkan hidupnya. Ini semua bukan keinginannya.
Ia membuka pintu kamar dengan kunci yang bergetar di tangannya, lalu menjatuhkan diri di atas kasur. Belum sempat ia menenangkan diri, pintu kamarnya terbuka lagi. Yuli, teman satu kosnya, berdiri di ambang pintu dengan wajah prihatin.
"Nika, aku denger-denger... kamu hamil?" tanya Yuli pelan, ada nada iba dalam suaranya.
Arunika tak kuasa menahan tangis. Semua beban yang dipikulnya tumpah ruah. "Iya, Yul," isaknya, "aku hamil, Dan baru saja aku dipecat dari kampus." Ia menceritakan semuanya, dari awal mula ia salah mengira Roy adalah ayah bayinya, hingga pertemuan dengan Pramudya yang dingin dan merendahkan, dan terakhir, pemecatan dari kampus.
Yuli memeluk Arunika erat, ikut merasakan kepedihan sahabatnya. "Nika... kenapa semua ini bisa terjadi sama kamu? Ya Tuhan..."
Mereka berdua terdiam, suara isak tangis Arunika mengisi kamar kos yang sempit. Yuli mengusap punggung Arunika, mencoba memberikan sedikit kekuatan.
Malam harinya, ketika Arunika dan Yuli sedang makan malam, tiba-tiba pintu kamar Arunika diketuk. Ibu Kos berdiri di sana, raut wajahnya tegang dan tidak bersahabat.
"Arunika," panggil Ibu Kos dengan nada dingin. "Saya sudah dengar semuanya. Saya minta kamu pergi dari sini."
Arunika terkesiap. "Pergi? Kenapa, Bu?"
"Kamu hamil tanpa suami, kan?" desis Ibu Kos, suaranya mengandung penghakiman. "Ini kos-kosan keluarga baik-baik, Nika. Saya enggak mau nama baik kos saya rusak gara-gara kamu. Nanti anak-anak kos yang lain ikut-ikutan."
"Tapi, Bu..." Arunika berusaha membela diri, air mata kembali menggenang.
"Tidak ada tapi-tapian!" potong Ibu Kos tegas. "Saya kasih kamu waktu 2x24 jam untuk cari tempat baru. Kalau sampai batas waktu itu kamu belum pergi, saya terpaksa akan menyuruh orang untuk mengeluarkan barang-barangmu."
Ibu Kos berbalik dan pergi, meninggalkan Arunika yang terpaku dengan hati remuk redam. Yuli memeluknya lagi, air mata ikut mengalir di pipinya. Ia iba melihat keadaan Arunika, yang kini harus berjuang sendirian tanpa kampus, tanpa tempat tinggal.
"Nika, aku gimana ya..." Yuli merasa tidak berdaya. Ia ingin membantu, tetapi ia sendiri juga hanya seorang mahasiswi dengan uang pas-pasan.
Dalam benaknya, Yuli tiba-tiba teringat Risa, teman sekamar Arunika yang lain. Yuli tahu, Risa adalah orang yang cemburu pada Arunika karena prestasi akademiknya yang selalu menonjol. Dia juga tahu, Risa selalu merasa tersaingi.
Ada kemungkinan besar, Risa lah yang telah menyebarkan gosip tentang kehamilan Arunika ke seluruh kampus, bahkan mungkin sampai ke Ibu Kos. Yuli mengepalkan tangannya. Ia kesal sekali pada Risa yang tega menjebak temannya sendiri seperti ini. Namun, ia tidak bisa membuktikan apa-apa, dan sekarang, yang terpenting adalah bagaimana Arunika bisa bertahan.
Pertemuan Rahasia Arsen dan Risa
Beberapa hari sebelum badai menerpa Arunika, Arsen duduk gelisah di sebuah kafe. Matanya sesekali melirik pintu masuk, menunggu seseorang. Ia telah membuat janji dengan Risa, teman sekamar Arunika.
Dalam pandangan Arsen, Risa adalah teman baik Arunika, karena mereka tinggal di kos yang sama. Ia tidak tahu bahwa Risa adalah "musuh dalam selimut" bagi kekasihnya itu.
Arsen memiliki beban pikiran yang sangat berat. Arunika, kekasihnya, sedang hamil. Arunika belum menceritakan siapa ayah dari bayi yang dikandungnya, apalagi soal jebakan yang dilakukan Risa. Arsen merasa perlu mencari tahu, dan Risa adalah satu-satunya orang yang ia anggap bisa membantu.
Tak lama, Risa tiba. Ia tersenyum ramah, namun ada kilatan aneh di matanya saat melihat Arsen.
"Arsen, ada apa? Tumben ngajak ketemu," sapa Risa, duduk di kursi seberang Arsen.
Arsen menghela napas. "Risa, aku... aku butuh ngomong serius sama kamu. Ini tentang Nika."
Risa mengangkat alisnya, pura-pura penasaran. "Oh? Ada apa dengan Nika?"
Arsen mencondongkan tubuhnya, berbisik pelan. "Nika... dia hamil, Risa."
Mata Risa sedikit melebar, namun dengan cepat ia menguasai diri. Ia sudah tahu soal ini, dan dia adalah orang yang telah terlibat dengan kehamilan Nika . "Hamil? Serius, Sen? Kok aku nggak tahu?" Risa memasang ekspresi terkejut yang meyakinkan.
"Iya. Dan aku... aku nggak tahu siapa ayahnya. Nika belum mau cerita," kata Arsen, nada suaranya penuh keputusasaan. "Aku kira, karena kalian teman dekat, kamu mungkin tahu sesuatu? Mungkin Nika pernah cerita soal pria lain?"
Risa menggelengkan kepala, bibirnya mengerucut seolah berpikir keras. "Nggak, Sen. Jujur, aku nggak tahu. Nika tuh orangnya tertutup banget kalau soal pribadi. Dia nggak pernah cerita apa-apa soal cowok lain di luar kamu."
Arsen terlihat semakin putus asa. "Aku harus gimana, Risa? Aku sayang banget sama Nika, tapi..."
Risa menatap Arsen dengan tatapan penuh simpati palsu. "Sen, maaf ya, aku jadi ikutan bingung. Tapi... kalau dia hamil dan bukan anak kamu, terus dia nggak mau cerita siapa ayahnya... apa kamu yakin dia pantes buat kamu?"
Risa mulai mengkonfrontasi Arsen, memutarbalikkan keadaan. "Maksudku, ini kan aib, Sen. Dan dia nggak mau jujur sama kamu. Apa kamu rela menanggung semua ini? Bagaimana nanti pandangan orang? Keluargamu?"
Arsen terdiam, kata-kata Risa bagai duri yang menusuk hatinya. Ia memang mencintai Arunika, tetapi keraguan dan rasa malu mulai merayap dalam benaknya. Ia tidak tahu bahwa Risa sedang memainkan perannya dengan sangat baik, menjauhkan Arsen dari Arunika, dan pada saat yang sama, memperburuk citra Arunika di mata Arsen.
"Aku... aku nggak tahu, Risa," jawab Arsen lirih, memijit pelipisnya.
Risa tersenyum tipis, senyum kemenangan yang tersembunyi. "Sen, aku cuma bisa bilang, pikirkan baik-baik masa depanmu. Jangan sampai kamu menyesal."
Arsen hanya bisa mengangguk. Ia tidak tahu bahwa Risa adalah dalang di balik semua kesulitannya, dan pembicaraan ini hanyalah bagian dari rencana Risa untuk menghancurkan hidup Arunika sepenuhnya.
Malam itu, kamar kos Arunika dipenuhi suara gesekan koper dan tas. Dengan hati yang remuk redam, ia membereskan barang-barangnya, dibantu oleh Yuli yang setia mendampingi. Suasana terasa berat, dibumbui isak tangis Arunika yang sesekali pecah.
"Nika, kamu mau pindah kemana?" tanya Yuli pelan, suaranya sarat keprihatinan. Ia melihat wajah pucat Arunika yang kini tak lagi menyimpan binar.
Arunika menghentikan gerakannya, menatap Yuli dengan mata kosong. "Aku... aku juga nggak tahu, Yul.."
Pikiran Arunika berputar cepat, mencari celah di tengah badai yang menerpanya. Pulang ke kampung halaman? Itu bukan pilihan. Bagaimana ia bisa kembali dengan perut membuncit tanpa suami? Ia akan menjadi aib bagi keluarga dan seluruh desa. Pandangan masyarakat di kampungnya masih sangat menjunjung tinggi adat dan kesopanan, dan situasi ini akan menjadi bumerang yang memalukan.
Lalu, bagaimana dengan Tante Rena? Wanita itu adalah adik ibunya, satu-satunya keluarga yang ia punya selain sang ibu yang telah tiada. Selama ini, Tante Rena sudah berkorban banyak untuknya dan almarhum ibunya.
Saat ibunya sakit-sakitan hingga meninggal, Tante Rena lah yang selalu ada, membantu biaya pengobatan dan juga kebutuhan sehari-hari mereka. Mengingat semua pengorbanan Tante Rena, Arunika tidak tega jika harus memberitahu wanita itu tentang kehamilannya. Ia takut kabar ini akan melukai hati Tante Rena yang sudah begitu baik kepadanya. Ia tidak ingin menambah beban pikiran bibinya.
"Aku nggak bisa pulang kampung, Yu," bisik Arunika, suaranya parau. "Dan aku nggak bisa bilang sama Tante Rena. Dia udah banyak berkorban buat aku sama Ibu."
Yuli menggenggam tangan Arunika, merasakan keputusasaan sahabatnya. "Terus, kamu mau kemana? Kamu nggak bisa tidur di jalan, Nika."
Arunika hanya menggeleng, air mata kembali mengalir. Ia merasa benar-benar sendiri di dunia ini, terombang-ambing tanpa arah. Kota Yogyakarta yang dulu ia impikan kini terasa begitu kejam, menelannya bulat-bulat tanpa ampun.