Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25. KABAR BURUK
Langit Boston siang itu tampak suram, tertutup kabut kelabu yang seolah menelan seluruh bangunan kaca Spencer Dynamic. Di lantai tiga puluh gedung itu, ruang kerja Elias tampak lengang namun menegangkan. Suara tuts keyboard bersahut-sahutan dari para staf yang berusaha memerbaiki sistem komunikasi yang hancur akibat badai pemberitaan. Di dinding, layar besar menampilkan berita terkini: Skandal Edward Adams Mengguncang Dunia Korporat - Spencer Dynamic Diserang Isu Manipulasi Data dan Kekerasan Domestik.
Elias duduk di ujung meja panjang, jas hitamnya tampak lusuh karena berhari-hari tanpa tidur. Di hadapannya, tumpukan dokumen laporan proyek baru mereka; Spencer Dynamic Vision System, terbuka separuh, dilingkari catatan-catatan merah dari investor yang menunda kerjasama. Raven, dengan kemeja biru gelap yang lengannya digulung hingga siku, menatap layar tablet di tangannya, ekspresinya menegang.
"Spencer Dynamic Vision System tertunda lagi. Cleo Tech di San Jose menarik dana awalnya," ucap Raven pelan namun tegas. "Mereka bilang, selama nama Adams masih melekat di berita utama, mereka tidak mau risiko. Padahal, proyek itu yang bisa menyeimbangkan laporan kuartal depan."
Elias menatap kosong ke arah jendela tinggi, menatap bayangan dirinya yang dipantulkan kaca. "Kita berusaha membuktikan siapa Edward Adams sebenarnya, tapi yang diserang justru aku," gumamnya rendah. "Laporan tentang kekerasan itu seolah berbalik menyerangku. Padahal aku hanya ingin melindungi Rubiana. Polisi dan hukum benar-benar sudah tidak ada gunanya, mereka para penggila suap."
Raven menurunkan tablet dan menatap Elias. "Kita bisa atasi, Elias. Aku sudah menghubungi pengacara dan tim PR. Mereka sedang menyiapkan klarifikasi publik. Tapi kau tahu, berita viral bergerak lebih cepat dari bukti. Beruntung karena ulah Chiper dadakan beberapa hari lalu yang menghapus semua berita di media hingga Billboard, membuat keadaan menjadi sedikit lebih baik."
Elias menghela napas berat. Di bawah mata hitamnya, ada garis kelelahan yang nyaris permanen. "Kau tahu apa yang paling menakutkan, Raven? Bukan kehilangan proyek, bukan reputasi yang tercoreng. Tapi bayangan kalau orang-orang seperti Edward akan terus berkeliaran bebas. Aku tidak bisa tenang selama Ruby masih di bawah ancaman."
Raven menatapnya lama. Ia tahu, di balik sikap dingin Elias, ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa tanggung jawab, sesuatu yang bahkan Raven sendiri tak ingin berani menyebutnya dengan kata lain selain perlindungan yang berlebihan. Namun sebelum ia sempat menanggapi, suara getar ponsel di meja memecah ketegangan itu.
Nada dering pendek, tajam, dan khas hanya digunakan untuk panggilan dari penjaga rumah utama.
Elias meraih ponsel itu seketika, menatap layar: Thomas - Home Security.
"Mr. Elias?" suara pria bernama Thomas itu dingin seperti biasa, tapi Raven menangkap perubahan kecil pada intonasinya, tegang.
Suara panik menjawab dari seberang, bercampur suara bising dan teriakan latar.
"Sir! Ada ledakan! Sebuah mobil menabrak pagar depan rumah, pagar depan hancur! Mobilnya masuk sampai air mancur lalu meledak!"
Elias terdiam sepersekian detik. Waktu seolah berhenti.Napasnya tertahan di tenggorokan.
"Apa?" suaranya hampir tak terdengar, tapi penuh tekanan. "Kau bilang ... meledak?"
"Y-ya, Sir! Kami sudah mencoba memadamkan api ... tapi-"
"Ruby!" potong Elias cepat, berdiri dari kursinya. "Bagaimana dengan Ruby?!"
"Dia di dalam, Sir! Dia di ruang tamu, kami sudah pastikan dia tidak terluka, tapi dia shock berat! Kami sedang memperketat keamanan sekarang," jawab Thomas.
Elias tak menunggu lebih lama ia mematikan panggilan. Ponsel itu langsung diselipkan ke saku jasnya.
"Raven?" panggil Elias cepat, nadanya mendesak. "Ada ledakan di rumah. Ruby di sana."
Raven langsung berdiri, nyaris menjatuhkan berkas di tangan. "Apa ... ledakan? Astaga, Elias-"
"Mobil menabrak pagar depan dan meledak," Elias memotong dengan nada tegas. "Aku tidak tahu siapa, tapi aku akan tahu. Sekarang."
Raven tidak membuang waktu. Ia meraih jaket kulit hitamnya dan mengikuti Elias yang sudah berlari menuju lift pribadi.
Begitu pintu lift tertutup, keheningan sempat menggantung, hanya napas mereka yang berat terdengar. Elias memejamkan mata sejenak, menahan amarah dan rasa takut yang bergantian menekan dadanya.
"Aku yakin ini bukan sekedar kecelakaan biasa. Ini pasti ulah dari seseorang. Aku aku yakin selama Edward masih bebas, Ruby atau pun kita tidak akan aman," kata Elias.
Raven menatap angka di layar lift yang turun cepat. "Kalau ini bukan kecelakaan, maka kita sedang berhadapan dengan Edward yang ingin membuat peringatan," katanya datar. "Dan aku benci pengirim pesan seperti itu. Pengecut."
Lift berbunyi. Mereka keluar, langsung menuju basement di mana mobil hitam Elias sudah menunggu. Raven mengambil kemudi tanpa diminta.
Sepanjang perjalanan, suara sirine di kejauhan terdengar semakin dekat, mungkin sudah ada warga yang melapor.
Perjalanan dari pusat kota ke rumah Elias hanya memakan waktu dua puluh menit, tapi malam itu terasa seperti dua jam bagi Elias.
Pikiran-pikirannya berputar cepat, Ruby, rumah, pagar, ledakan. Bayangan tubuh kecil gadis itu bergetar ketakutan terus menghantui pandangannya. Ia menggenggam kursi dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Raven," panggil Elias tiba-tiba, "pastikan sistem keamanan rumah di-review. Aku ingin tahu kenapa mobil bisa masuk sejauh itu tanpa alarm aktif."
"Sudah aku duga kau akan bilang begitu," jawab Raven datar sambil menyalip mobil di depannya. "Aku akan tarik data log CCTV begitu sampai. Tapi kau tahu, Elias, ledakan di halaman rumah orang seperti kau bukan hal sepele. Ini bukan kecelakaan lalu lintas biasa. Lagi pula rumah itu berada jauh dari jalan raya, itu wilayah rumah elit, tidak sembarang mobil bisa berlalu-lalang."
Elias menatap jalan dengan rahang mengeras. "Kalau ini pesan dari Edward, maka dia memilih cara yang salah."
Begitu mobil mereka berbelok ke jalan rumah utama, sinar oranye dan merah dari kobaran api langsung terlihat. Asap tebal naik tinggi, bercampur bau bensin dan logam terbakar. Dua mobil pemadam berdiri di depan gerbang, bersama beberapa polisi lokal yang baru datang.
Pagar hitam rumah Elias, yang biasanya berdiri megah dengan ukiran modern, kini remuk, bengkok seperti kawat. Air mancur marmer di tengah halaman pecah dua, airnya bercampur abu dan serpihan kaca.
Elias keluar dari mobil bahkan sebelum mesin berhenti sepenuhnya. Raven menyusul di belakang, segera berbicara dengan petugas keamanan.
"Dimana Ruby?" suara Elias bergetar marah dan cemas. Thomas, penjaga rumah yang tadi menelepon, berlari menghampiri.
"Dia di dalam, Sir! Kami bawa ke ruang tamu, dia tidak luka tapi shock. Ledakan terjadi sangat cepat, mobil itu langsung menabrak pagar lalu meledak, Sir. Kami tidak sempat lihat pengemudinya. Tapi dugaan kami tidak ada pengemudi, karena saat kami lihat dari CCTV mobil itu tidak ada pengendaranya. Kemungkinan yang mengemudi melompat keluar sebelum melakukan tabrakan," jelas Thomas.
Elias langsung melangkah cepat menuju rumah. Sepatu hitamnya menapaki serpihan kaca dan puing marmer yang masih panas.
Begitu membuka pintu besar, hawa panas bercampur debu masuk bersama bau asap yang menyengat.
Di dalam, beberapa penjaga rumah tampak berusaha menenangkan Ruby yang duduk di sofa besar, selimut menutupi tubuh mungilnya. Bahunya gemetar, matanya membesar, kosong dan ketakutan.
"Ruby?" suara Elias pecah, pelan namun penuh gentar. Ia mendekat perlahan, berlutut di depannya. "Hey, aku di sini."
Ruby menoleh perlahan. Wajahnya pucat, matanya panik. "E-Elias ... ada ... ada suara besar di luar ... aku pikir rumahnya terbakar," suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Elias mengulurkan tangan, menyentuh jemari Ruby yang dingin. "Kau tidak apa-apa sekarang. Aku di sini. Tidak ada yang akan menyakitimu."
Ruby menatap wajahnya, air mata mulai menetes. "Apa ini ancaman dari ayahku?"
Elias menarik gadis itu ke dalam pelukannya, menepuk lembut punggungnya. "Sst ... tidak, dengar aku. Kau selamat. Aku janji, tidak ada yang akan menyentuhmu selama aku masih bernapas. Tidak bahkan ayahmu yang brengsek itu," katanya.
Raven masuk beberapa menit kemudian, wajahnya gelap dan serius. "Api sudah dikendalikan. Tapi Elias .. mobil itu bukan mobil biasa."
Elias menoleh, masih memeluk Ruby. "Maksudmu?"
"Nomor plat-nya palsu. Aku cek di database polisi. Tidak ada registrasi yang cocok. Dan ada sesuatu di bawah sasis, sisa-sisa logam yang tampak seperti bahan peledak improvisasi. Aku curiga ini bom rakitan," ujar Raven tidak senang dengan situasi sekarang.
Elias menatapnya tajam. "Bom?"
Raven mengangguk. "Tapi tidak besar. Cukup untuk menciptakan ledakan visual dan kerusakan besar di pagar, tapi tidak sampai menghancurkan rumah. Seperti ... pesan."
Elias perlahan bangkit, wajahnya menegang, tangan masih memegangi pundak Ruby yang gemetar. "Pesan ancaman tentu saja," decihnya.
Raven menatap sekeliling, lalu berbisik rendah, "Aku tidak mau berspekulasi. Tapi waktu kejadian ini terlalu tepat. Setelah skandal Edward Adams, setelah media mulai menggiring opini melawanmu dan sekarang, serangan langsung ke rumahmu?"
Elias memejamkan mata sejenak, menarik napas berat. "Edward, kalau dia pikir dia bisa menakut-nakutiku lewat ini, dia keliru besar."
Raven menatap Elias lekat. "Aku tidak akan menolak kemungkinan itu. Tapi Edward bukan satu-satunya musuhmu. Jangan lupa, proyek Death Eater masih menyisakan banyak pihak yang ingin menyingkirkanmu," bisiknya di bagian akhir, tak ingin sampai Ruby mendengar.
Elias mendekati jendela besar ruang tamu yang retak akibat getaran ledakan. Di luar, api sudah mulai padam, hanya menyisakan kepulan asap tebal dan sinar merah dari sisa bara. Refleksi wajahnya di kaca terlihat gelap, matanya tajam seperti bilah baja.
"Tidak peduli siapa," kata Elias perlahan, "aku akan menemukan mereka dan membuat mereka membalas sepuluh kali lipat atas hal ini."
Ruby masih duduk di sofa, memeluk selimut dengan erat. Elias menatapnya, lalu berjalan mendekat lagi.
"Ruby, dengar aku," ujarnya lembut. "Mulai malam ini, kau tidak akan sendirian lagi bahkan satu menit pun. Aku akan menambah penjaga di sekitar rumah. Aku tidak akan biarkan hal seperti ini terjadi lagi."
Ruby menunduk, bahunya masih bergetar. "Baik."
Elias berlutut lagi di hadapannya, menatap mata gadis itu dengan serius. “Karena mereka takut pada kebenaran, Ruby. Karena mereka tahu, sesuatu yang mereka sembunyikan mulai terkuak. Tapi kau harus ingat, kau tidak sendiri. Kau bersamaku."
Raven yang berdiri di dekat pintu menatap pemandangan itu sekilas, sosok Elias yang selama ini dikenal dingin dan rasional, kini berlutut di depan gadis muda itu dengan tatapan penuh kasih dan amarah bersamaan. Ia tahu, siapa pun yang mencoba menyentuh gadis itu lagi, mungkin sedang menandatangani surat kematian sendiri.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya