NovelToon NovelToon
Kau Dan Aku Selamanya

Kau Dan Aku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Crazy Rich/Konglomerat / Pelakor / Cinta Seiring Waktu / Suami Tak Berguna
Popularitas:6.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Pagi itu udara masih terasa sejuk saat Audy melangkah keluar rumah. Supir kantor sudah menunggu dengan mobil dinas di depan pagar. Ia merapikan tas di bahunya, lalu membuka pintu mobil. Semalam Evan menghubungi Audy, dan meminta kesediaannya untuk menemui Mirna di rumah sakit.

“Pak, kita ke Rumah Sakit Harapan dulu ya sebelum ke kantor,” katanya sambil duduk di kursi belakang. “Tapi kita sebelum kesana kita jemput Yunita dulu.”

“Baik, Bu,” jawab sang supir singkat.

Perjalanan berlangsung tenang. Begitu Yunita naik, mereka ngobrol ringan, mengabaikan jalanan yang mereka lewati dalam perjalanan menuju rumah sakit.

...***...

Ruangan VIP itu hangat, dengan aroma bunga segar yang diletakkan di meja samping ranjang. Mirna, yang masih berbaring meski wajahnya tampak lebih segar, segera berseri ketika melihat Audy dan Yunita masuk.

“Akhirnya saya bisa bertemu kalian. Pasti kalian sibuk, kan? Terima kasih sudah menolongku waktu itu, terima kasih juga sudah repot-repot datang kesini” suara Mirna terdengar tulus, matanya berbinar.

Yunita cepat-cepat menggeleng. “Nggak kok, Bu. Justru kami yang senang bisa lihat Ibu sudah membaik.”

Audy menambahkan dengan senyum hangat, “Benar, Bu. Yang penting sekarang kesehatan ibu.”

Evan yang berdiri di sisi ranjang hanya bisa diam, memperhatikan keduanya. Ada sesuatu di matanya yang membuatnya menatap tamunya sedikit lebih lama, meski buru-buru dia mengalihkan pandangannya saat Mirna berdehem.

“Ehem… Van, tolong ambilkan itu,” kata Mirna pelan.

“Oh, ya Bu.” Evan meraih sebuah amplop kecil dari meja, lalu menyerahkannya ke tangan Mirna.

Begitu melihat gerakan itu, Audy langsung menegakkan tubuh. “Kalau Ibu berniat memberi kami imbalan… maaf, tapi kami harus menolak. Kami menolong ibu tanpa mengharapkan apa pun. Jadi, lebih baik ibu simpan saja.”

Yunita cepat mengiyakan, “Benar, Bu. Kami ikhlas kok.”

Mirna terkekeh kecil. “Padahal kalian belum tahu apa isi amplop ini.”

“Apapun isinya, kami menolak, Bu,” tegas Audy.

Yunita menimpali dengan polos, “Betul, Bu. Kami nggak semata duitan begitu kok untuk cari imbalan hanya karena menolong ibu yang pingsan.”

Audy langsung menyikut lengan sahabatnya itu, membuat Yunita meringis sambil menahan tawa. Seketika ruangan pecah oleh gelak ringan. Bahkan Mirna ikut tertawa sampai matanya berair.

Suasana mencair. Beberapa menit berikutnya, mereka mulai berbincang ringan tentang kesehatan, pekerjaan, dan sedikit tentang hobby mereka masing-masing. Namun akhirnya, waktu memaksa mereka harus pamit.

“Kalau begitu, kami permisi dulu, Bu. Semoga ibu lekas pulih,” kata Audy sambil meraih tangan Mirna dengan hangat.

Mirna menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih sekali lagi ya Nak. Lain kali kita bertemu lagi ya, tapi jangan di rumah sakit”

Audy dan Yunita tertawa, "Tentu saja bu. Lebih baik kita bertemu di restoran sambil makan-makan" sahut Yunita lagi.

Audy dan Yunita pun melangkah keluar, meninggalkan Mirna dan Evan di ruang rawat yang kembali hening.

Evan berdiri di sisi ranjang, masih menatap pintu yang baru saja tertutup. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran ada sesuatu yang tak bisa dia jelaskan, tapi jelas membuat irama jantungnya berdetak tak karuan.

...***...

Ruangan VIP itu kembali hening setelah Audy dan Yunita pamit. Hanya suara monitor detak jantung dan langkah Evan yang terdengar, ketika ia membetulkan posisi selimut di tubuh Mirna.

“Van,” suara Mirna lirih memecah keheningan.

Evan menoleh. “Iya, Bu?”

Mirna menatap ke langit-langit ruangan, seolah sedang mencari bayangan masa lalu yang jauh. “Perempuan tadi… yang namanya Audy. Dia mirip sekali dengan Mbak Kirana. Kakakku.” Senyum tipis namun getir terbit di bibirnya. “Mungkin kalau Kirana punya anak, anaknya akan seperti dia.”

Evan berhenti sejenak, lalu menghela napas pelan. “Ibu sudah mencari ke mana-mana selama tiga puluh tahun terakhir, tapi hasilnya tetap nihil. Saya yakin Bu Kirana sudah bahagia dengan keluarganya. Semoga suatu saat kalau ada kesempatan, Ibu bisa bertemu kembali.”

“Semoga ya Van…” bisik Mirna.

Dia terdiam sebentar, lalu tiba-tiba menoleh pada sekretaris yang sudah dianggap seperti anaknya itu. “Oh ya, tadi kamu dengar kan, mereka kerja di perusahaan konstruksi itu. Bukankah mereka pernah mengirim proposal kerja sama ke kita?”

Evan menyipitkan mata. “Ibu mau menyetujui kerja sama itu?”

“Kenapa tidak?” Mirna terkekeh kecil. “Perusahaan mereka punya kredibilitas baik. Memang rancangan proyeknya belum sempurna, tapi itu bisa didiskusikan nanti.”

Evan menghela napas, jelas khawatir dengan antusiasme bosnya yang satu ini. “Ya, terserah Ibu saja. Tapi yang jelas, Ibu harus sembuh dulu. Itu yang paling penting.”

Mirna menyeringai, matanya nakal meski tubuhnya lemah. “Van…”

“Iya, Bu, Apalagi?”

“Kelihatannya kamu tertarik sama salah satu dari mereka, ya? Yang mana? Yunita apa Audy, tapi sepertinya Audy sudah menikah, kalau melihat cincin kawin di jarinya. Jadi kamu jangan sama dia.”

Seketika wajah Evan memerah. Kacamata yang dikenakannya melorot sampai ke batang hidung karena kaget. “Hah? Ibu ini… jangan bercanda. Siapa yang tertarik? Nggak ada, Bu! Lagian saya juga mana tertarik sama istri orang.” katanya gugup.

Mirna tergelak kecil. “Sudahlah, bilang saja. Kalau kamu mau, aku bisa bantu jodohin kalian. Kamu itu sudah tiga puluh lima tahun, Van. Udah waktunya menikah. Sampai kapan kamu mau terus-terusan ngurusin orang tua seperti aku?”

Evan menggeleng cepat, berusaha menutupi rasa malunya. “Saya akan ngurus Ibu terus. Itu bentuk bakti saya. Ibu sudah menampung anak yatim piatu seperti saya, ngasih saya kehidupan yang lebih baik. Kalau nggak ada Ibu, mungkin sekarang saya udah jadi preman Tanah Abang.”

Kata-katanya membuat Mirna terdiam sesaat, lalu senyum tipis mengembang di wajahnya.

Evan menambahkan dengan nada bercanda, “Lagipula, memangnya kenapa kalau saya belum nikah? Ibu juga sampai sekarang masih belum nikah, kan?”

Mirna langsung memejamkan mata, malas meladeni ocehan itu. “Duh, sudah, aku ngantuk. Kamu diam saja,” serunya, berusaha mengakhiri percakapan.

Evan hanya tersenyum kecil, lalu menarik kursi dan duduk di samping ranjang. Dia menatap wajah Mirna yang perlahan terlelap, sementara pikirannya sendiri masih dipenuhi bayangan wajah Yunita—wajah yang tadi tanpa sengaja membuat hatinya bergetar sejenak.

...***...

Sementara itu, di kantor perusahaannya sendiri, Chandra menatap marah kepada dua orang tamu yang datang menemuinya. Di hadapannya kini ada dua orang pengacara bersetelan rapi, Gilang dan Sinta, meletakkan map cokelat berisi dokumen di atas meja kerjanya. Dokumen tentang penarikan investasi, serta pengajuan gugatan cerai dari Audy.

“Apa-apaan ini?!” Chandra membentak, wajahnya memerah. “Memangnya siapa yang mau bercerai?”

Sinta tetap tenang, suaranya datar namun tajam. “Pak Chandra, jangan memperkeruh keadaan. Lebih baik kita selesaikan urusan ini dengan cepat. Pak Chandra tentu tidak mau masalah ini sampai keluar ke publik, bukan? Silahkan tanda tangan, dan semuanya akan selesai tanpa ada masalah.”

Gilang menambahkan, “Lebih baik Anda bekerja sama. Jika tidak, kami siap mengajukan gugatan perdata mengenai hak kepemilikan saham, sekaligus penarikan investasi yang selama ini Anda halang-halangi.”

Kalimat itu menghantam Chandra lebih keras daripada pukulan mana pun. Dia terdiam, terpaku, bibirnya bergerak tanpa suara. Fakta pahit itu memang tidak bisa dibantah: hasil legal due diligence membuktikan Audy memang memiliki sekitar 48% saham di perusahaan miliknya itu. Hampir separuh. Dan kabar yang beredar, rekan bisnisnya sudah bersiap membeli saham tersebut. Jika sampai itu terjadi, Chandra bisa didepak dari kursi empuk yang dia banggakan—dari perusahaannya sendiri.

“Beri saya waktu,” akhirnya ia mengalah, nadanya melemah. “Saya ingin membicarakan ini dengan Audy.”

Gilang dan Sinta saling bertukar pandang, lalu Sinta berkata pelan namun tegas, “Maaf, Pak. Bu Audy sudah tidak ingin Bapak mendekati atau menghubungi beliau secara langsung. Jika ada yang ingin Anda sampaikan, silakan melalui kami.”

Chandra meraih pinggiran meja, lalu menggebraknya dengan keras hingga gelas kopi bergetar. “Kalian tahu apa tentang aku dan Audy? Kami belum resmi bercerai! Keluar dari ruanganku! PERGI!!!!”

Kedua pengacara itu tidak terprovokasi. Mereka berdiri dengan tenang, merapikan berkas-berkas. Gilang memberi senyum tipis penuh sindiran. “Kami akan kembali dua hari lagi untuk mengambil dokumen yang sudah Anda tandatangani. Semoga Bapak bisa kooperatif. Permisi.”

Pintu tertutup. Keheningan kembali. Namun kali ini bukan keheningan tenang, melainkan keheningan penuh tekanan. Chandra merosot di kursinya, rambutnya berantakan karena ulah tangannya sendiri.

Saat itulah Tiara, sekretaris cantik dengan pakaian ketat, masuk dengan langkah gemulai sambil membawa berkas. Wajahnya dipoles senyum menggoda, berharap bisa mencairkan suasana.

“Pak, ini ada laporan yang—”

“Keluar!” bentak Chandra, membuat Tiara terlonjak kaget.

Dia mencoba bertahan, tersenyum canggung. “Tapi, Pak—”

“Aku bilang keluar!” Chandra menghantam meja sekali lagi. Tiara tak berani menatapnya lama-lama, buru-buru menyingkir.

Begitu pintu tertutup rapat, Chandra menunduk, menekan pelipisnya dengan jari gemetar. Napasnya tersengal.

“Sial…” gumamnya serak. “Aku terlalu meremehkan Audy selama ini.”

"Bisa-bisanya dia memperlakukanku seperti ini. Aku harus ketemu dia" ucap Chandra yang langsung berdiri dari kursinya, meninggalkan meja berantakan dibelakangnya.

...****************...

1
Syiffa Fadhilah
dion harus lebih bejuang lagi untuk meyakinkan audy, karena trauma pernikahan yang berakhir perceraian itu sangat menyakitkan.
Widya Herida
lanjutkan thor ceritannya bagus
Widya Herida
lanjutkan thor
Sumarni Ukkas
bagus ceritanya
Endang Supriati
mantap
Endang Supriati
engga bisa rumah atas nama mamanya audi.
Endang Supriati
masa org penting tdk dpt mobil bodoh banget audy,hrsnya waktu dipanggil lagi nego mau byr berapa gajinya. nah buka deh hrg. kebanyakan profesional ya begitu perusahaan butuh banget. td nya di gaji 15 juta minta 50 juta,bonus tshunanan 3 x gaji,mobil dst. ini goblog amat. naik taxi kwkwkwkwkkk
Endang Supriati
audy termasuk staff ahli,dikantor saya bisa bergaji 50 juta dpt inventaris mobil,bbm,tol,supir,by perbaikan mobil di tanggung perusahaan.bisa ngeclaim entertaiment,
Endang Supriati
nah itu perempuan cerdas,sy pun begitu proyek2 sy yg kerjakan laporan 60 % sy laporkan sisanya disimpan utk finslnya.jd kpu ada yg ngaku2 kerjja dia,msmpus lah.
Syiffa Fadhilah
good job audy
Syiffa Fadhilah
sukur emang enak,, menghasilkan uang kaga foya2 iya selingkuh lagi dasar kadal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!