NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Biarkan Lukanya Sembuh Lebih Dulu

Adhan tiba dengan langkah tergesa-gesa, napasnya sedikit tersengal. Ia mengangkat tangan sebagai isyarat permintaan maaf. "Maaf, aku membuat kalian menunggu."

Claudia tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Tidak lama kok, kami baru aja sampe. Nunggunya cuma sebentar juga."

Adhan bukannya tidak mempercayai ucapan Claudia, bibinya. Hanya saja, dia tidak tega dan merasa bersalah karena telah membuat Serena menunggu meski hanya sedetik saja. Padahal, dia baru sembuh dari demamnya yang tinggi.

Serena yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara. "Mbak Claudia benar, Mas. Kami baru menunggu sebentar di sini."

Baru saat itu ekspresi Adhan sedikit melunak. "Syukurlah kalau gitu."

Perhatian Adhan tiba-tiba teralihkan pada tas yang Serena bawa dalam dekapannya. "Mbak, saya akan membawa tasmu sampai ke mobil," ucap pria itu seketika membuat Serena terkejut.

"Tidak perlu sampai seperti itu, Mas. Tas ini tidak berat, saya bisa membawanya sendiri."

Namun, Adhan tetap bersikeras. "Saya tahu kamu nggak nyaman. Tapi saya sudah terbiasa melakukan ini untuk Mbak Claudia. Apalagi kamu sedang sakit, jadi saya nggak bisa mengabaikannya begitu saja."

Claudia tersenyum samar. Alasan itu masuk akal-dan sepenuhnya jujur. Sejak dulu, Adhan memang selalu bersikap sopan padanya, tak pernah sekalipun menolak ketika diminta bantuan. Bahkan tanpa diminta pun, ia selalu sigap mengulurkan tangan, entah untuk membawakan barang, membukakan pintu, atau sekadar memastikan Claudia tidak kerepotan. Baginya, sikap itu adalah bagian dari act of service-cara sederhana untuk menunjukkan perhatian dan kepedulian.

"Adhan memang selalu begitu dari dulu, Serena," ujar Claudia, membantu Adhan untuk keluar dari masalah pertasan ini. "Adhan suka membantu Mbak, membawakan tas Mbak. Itu sudah jadi kebiasaannya. Bukankah sulit mengubah kebiasaan seseorang, kan? Lagi pula, nggak ada salahnya memanfaatkan jasa taksi online ini secara maksimal. Apalagi tarifnya gratis."

Dengan santai, Claudia menyerahkan tasnya juga pada Adhan. Pria itu tidak menunjukkan raut tersinggung sama sekali meski dianggap sebagai jasa taksi online gratis.

Serena terdiam saat melihat Adhan mengambil tas Claudia, dan mengalungkannya di bahu sebelah kanan. Pria itu kembali menatapnya lagi sambil menengadahkan tangan, meminta Serena untuk menyerahkannya juga. Tak ingin memperpanjang perdebatan, Serena akhirnya membiarkan Adhan membawa tasnya. Dia tidak punya tenaga lebih untuk berdebat dengan orang lain saat ini.

Akhirnya, masalah tas terselesaikan. Mereka bertiga berjalan menuju tempat parkir beriringan. Mobil Adhan sudah menunggu di sana.

Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Serena hanya diam. Matanya menatap jendela, larut dalam pemandangan yang melintas di sepanjang perjalanan. Hati kecilnya terus meronta-ronta, berharap untuk bisa segera sampai di apartemen, dan beristirahat di tempat yang lebih nyaman daripada ruangan rumah sakit yang penuh aroma antiseptik.

Adhan sesekali melirik ke arah kaca spion, mengamati Serena yang tampak lelah. Ia akhirnya membuka suara. "Mbak Re. Kamu benar-benar baik-baik saja sekarang? Kalau ada yang kamu butuhkan, katakan saja."

"Saya baik-baik aja, Mas. Saya nggak butuh apa pun. Saya cuma mau cepet sampe apartemen."

Claudia yang memahami ketidaknyamanan Serena menepuk lengan keponakannya. "Adhan, jangan banyak tanya. Serena nggak nyaman. Kamu fokus nyetir aja."

Adhan melirik sekali lagi ke arah kaca spion dalam, merasa bersalah karena sekali lagi membuat Serena merasa tidak nyaman. "Maaf, Mbak. Saya nggak bermaksud."

Serena menunjukkan reaksi yang tidak terduga. Ia mengepalkan jarinya di atas pangkuan. "Jangan meminta maaf, Mas." ucapnya lirih.

Adhan terdiam, begitu pula Claudia. Hanya suara mesin mobil yang terdengar. Serena mengalihkan pandangan ke luar jendela lagi, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang bergemuruh dalam dirinya.

Selama ini, tak ada seorang pun yang pernah meminta maaf padanya. Tidak ibunya yang berselingkuh. Tidak ayahnya yang menikah lagi. Tidak Brian yang terus menyakitinya. Tapi, kenapa kata maaf yang paling ingin dia dengar dari orang yang menyakitinya, malah diutarakan oleh orang lain dengan begitu mudah. Serena benar-benar lelah dengan semua ini, terutama pada dirinya sendiri.

Adhan tidak menyela sama sekali. Dia mencoba memahami Serena sebanyak mungkin. Tetapi, dia menyadari bahwa dia tidak punya hak atau melewati batas terlalu banyak. Dia bukan siapa-siapa Serena, dan gadis itu sudah membangun tembok tinggi di sekelilingnya, dari yang bisa orang lain bayangkan.

Saat tiba di apartemen, Serena membuka pintu dan mempersilakan mereka masuk. Hawa dingin langsung menyapa bulu kuduk. Meski begitu, apartemen Serena masih terlihat rapi seperti terakhir kali dia pergi meninggalkannya.

Saat memasuki apartemen, Adhan mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Tempat itu terasa sepi dan dingin, wajar mengingat kamar ini tidak berpenghuni selama satu hari satu malam. Namun, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang membuatnya merasa sedikit asing.

Bukan hanya karena suasana hening yang menyelimuti ruangan, tetapi juga karena ia tidak pernah membayangkan akan berada di apartemen seorang wanita seperti ini. Meskipun Claudia ada di antara mereka, tetap saja, ini adalah pengalaman yang baru baginya. Ada ketegangan halus yang merayap di dadanya, membuat jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.

Pandangan Adhan kemudian tertuju pada beberapa bingkai foto yang tertata rapi di atas meja. Ia melangkah mendekat, matanya menelusuri satu per satu gambar yang terpajang di sana. Hingga akhirnya, satu foto membuatnya terpaku.

Serena tampak begitu cantik, senyum bahagianya begitu alami, memancarkan kebahagiaan yang tulus. Namun, dadanya terasa sesak saat menyadari siapa yang berdiri di sampingnya—Brian. Sosok pria yang selama ini ia ketahui sebagai tunangannya.

Namun, belum sempat ia mengamati lebih jauh, Serena mengambil bingkai itu, dan membaliknya di atas meja. Wajahnya berubah, menunjukkan ketidaksukaan yang begitu kentara.

Adhan agak terkejut sebenarnya, dia pikir kemarahan Serena itu ditunjukkan padanya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Serena lupa membuang barang-barang yang berkaitan dengan Brian. Lebih tepatnya, dia tidak sempat, karena sakit yang tiba-tiba datang melanda.

Setelah Adhan dan Claudia pergi, Serena harus segera membuang barang-barang yang berhubungan dengan Brian. Dia tidak ingin menyimpan kenangan apa pun bersama pria itu. Perasaannya sudah tidak ada lagi, mati—tak lagi bersisa. Yang ada hanya rasa sakit, muak dan dendam. Perasaan yang paling Serena benci karena menguras sebagian dari energi hidupnya.

"Mbak dan Mas mau minum apa? Biar saya siapkan," tawar Serena kemudian.

Claudia melambaikan tangan dengan cepat. "Tidak perlu menjamu kami. Kami hanya sebentar di sini, Ingin memastikan bahwa kamu akan baaik-baik saja setelah kami pulang."

Serena paham arah perkataan Claudia, dan dia menghargai kekhawatiran yang ditunjukkan oleh wanita itu. "Aku benar-benar baik sekarang, Mbak. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

Claudia menatapnya dengan tatapan lembut. "Baiklah, Mbak percaya padamu, Serena. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan sungkan  menghubungi Mbak kapan saja. Kamu sudah menyimpan nomor Mbak, kan?"

Serena mengangguk pelan.

Sebelum pergi, Claudia dan Adhan memastikan semua kebutuhan Serena tercukupi, seperti stok makanan, obat dan yang lainnya. Claudia berpesan supaya Serena bisa minum obat tepat waktu, dan meminum obat yang diresepkan dengan dokter sampai habis meskipun keadaannya sudah mulai sehat.

Serena mendengarkan setiap arahan Claudia dengan baik. Di balik matanya, Claudia sudah menjelma sebagai sosok ibu yang figurnya telah lama menghilang.

Setelah memastikan kebutuhan Serena tercukupi, dan menyampaikan semua yang ada di hatinya, Claudia akhirnya bisa bernapas lega. "Baiklah, nggak apa-apa kalau Mbak akan sering menjengukmu nanti?

Serena mengangguk sekali lagi. "Aku akan menyambut kedatangan Mbak dengan senang hati."

Sementara Adhan hanya diam saja di pojok ruangan. Dia tahu, membuka suara hanya akan membuat Serena tidak nyaman. Dia hanya akan mengamati dari jauh, selama Serena baik-baik saja.

Tak ingin mengambil waktu Serena terlalu banyak, mereka pun pamit, meninggalkan gadis itu untuk beristirahat sebanyak yang ia mau.

Namun, bukannya langsung pulang, Adhan membawa Claudia ke apartemen nya, setelah dipaksa oleh Claudia yang belum pernah masuk ke sana sejak Adhan pergi meninggalkan rumah. Mumpung dia ada di sini, jadi lebih baik dia melihat bagaimana keponakannya itu hidup sendiri tanpa dirinya.

Begitu mereka duduk, Claudia menatapnya dengan ekspresi curiga. "Kebetulan macam apa ini? Apa kamu sudah lama mengincar Serenaku?"

Adhan mengernyit. Tak percaya kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut bibinya. "Serenaku? Sejak kapan dia jadi Serenamu?"

Claudia mengangkat bahu. "Sejak kau meninggalkannya untuk kujaga. Aduh, adikku ini benar-benar nekat. Bisa-bisanya suka sama wanita, sampai tinggal sebelahan. Kamu nggak ngapa-ngapain Serena, kan? Apa kamu pasang kamera pengawas di apartemennya? Awas aja kalo kamu macam-macam sama Serena."

Adhan mendesah. "Aku ini masih waras, Mbak. Nggak gila sampe harus masang kamera pengantai. Kayaknya Mbak kebanyakan baca novel dark romance."

"Syukur deh kalau kamu masih waras. Jadi, kenapa kamu bisa tinggal sebelahan sama Serena?"

"Aku juga nggak tahu kalau tetanggaku itu Serena. Aku pernah bertemu di Taman Baca Lily. Saat itu dia sedang menangis, dan aku merasa sumpati. Aku akhirnya meninggalkan kacamata dan topi milikku padanya, berharap itu bisa membantu. Siapa yang akan menyangka, kalau wanita random yang pernah bantu, akan jadi tetanggaku?"

Claudia menatapnya dengan curiga. "Bahkan di Taman Baca Lily? Dia sedang menangis?" Ia mengembuskan napas, tampak memikirkan sesuatu yang berat.

Adhan membuka kulkas dan mengambil minuman dingin untuk bibinya. Namun, ia menyadari ekspresi Claudia berubah. Ada sesuatu yang menggelayut di wajahnya.

"Ada apa, Mbak? Mbak khawatir dengan Serena?" tebaknya.

Claudia mengangguk. "Iya, aku sangat khawatir. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis semalang itu dalam hidup ini."

Adhan diam, mendengarkan dengan saksama.

"Gadis itu menyimpan luka yang begitu dalam. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku jika berada di posisinya. Orang tuanya bercerai karena ibunya selingkuh, lalu ayahnya menikah lagi. Dia tidak punya saudara. Punya tunangan, tapi tunangannya malah menyakitinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi Serena dan tunangannya sudah putus. Meski Serena nggak bilang apa-apa, tapi aku tahu bahwa tunangannya itu menyakitinya. Dia pasti trauma dengan yang namanya cinta. Itu menjelaskan kenapa dia memasang tembok yang begitu tinggi di sekelilingnya."

Adhan merasakan sesuatu bergetar dalam dirinya-sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Selama ini, ia sudah berusaha meyakinkan diri untuk menyerah, menerima kenyataan bahwa Serena bukanlah miliknya, terlebih karena ia tahu Serena masih memiliki pasangan. Namun, segalanya berubah ketika Claudia tanpa sengaja mengungkapkan bahwa Serena telah putus dengan tunangannya.

Saat itu, seolah ada alarm dalam dirinya yang berbunyi, membangunkannya dari keraguan. Ini mungkin kesempatan yang selama ini ia pikir tidak akan pernah ada. Meski menyadari bahwa situasinya tidak mudah, bahkan mungkin terasa sedikit egois bagi Serena yang baru saja melewati masa sulit, Adhan tidak bisa mengabaikan dorongan hatinya. Mungkin, inilah jalan yang Allah berikan kepadanya—kesempatan untuk memperjuangkan cintanya, bukan dengan memaksakan, tapi dengan menunjukkan ketulusan yang selama ini ia pendam.

"Adhan." Claudia menatapnya tajam. Tiba-tiba suasana di antara mereka menjadi lebih serius. "Jika kau benar-benar menyukai Serena, biarkan dia sembuh dulu dari lukanya. Aku yakin, tidak mudah baginya untuk bisa keluar dari itu semua. Dia butuh waktu untuk sembuh. Jika kau terlalu mendesak, dia justru akan semakin menjauh."

Adhan mendengar setiap perkataan Claudia dengan tak kalah serius.

"Jangan terburu-buru. Beri dia waktu," lanjut Claudia. "Kalau kau benar-benar ingin bersamanya, pastikan dia bisa menerimamu dengan hati yang utuh."

Adhan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap langit-langit, menghela napas panjang, menyadari bahwa perjuangannya baru saja dimulai.

Bersambung

Minggu, 24 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!