NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masa lalu

Bunyi benturan kepala Naya ke atas meja membuat Pak Basir seketika menatap ke bangku paling belakang. Putra pun spontan menoleh, menatap Naya yang tengah mengusap-usap kepalanya yang mungkin akan memar.

Jam pelajaran usai. Semua siswa keluar sambil berbisik-bisik, mengomentari kegaduhan yang dibuat Naya. Di saat itulah Naya merasa semakin dipandang aneh. Ia memilih keluar paling akhir. Saat kelas telah sepi, barulah ia beranjak.

Begitu keluar dari dalam kelas, Naya seketika terpaku. Hampir saja ia berpapasan dengan segerombolan anak perempuan centil dari kelas lain. Anak-anak itu sedang mengerumuni Pak Basir, terang-terangan menggoda sang guru, meminta diajarkan les privat.

Naya memandang mereka dengan rasa sebal. “Masih bisa tertawa-tawa ternyata?” desisnya sambil menatap satu per satu.

Terakhir, matanya menatap Pak Basir yang tanpa malu menanggapi godaan itu dengan candaan pula. Ia tertawa lebar.

Terlihat ramah dan humble, tapi Naya jelas tidak menyukainya.

......................

“Hati-hati di sana, Mas. Jangan lupa minum air putih yang banyak. Jaga kesehatan, ya. Assalamualaikum …”

Tantri menutup telepon setelah selesai berbincang dengan suaminya. Wanita yang sudah mengenakan setelan kantor itu turun dari tangga, mendekat ke meja makan, di mana sudah ada Ikbal berseragam sekolah.

Roti berselai cokelat dan susu panas telah tersedia di meja, disiapkan oleh asisten rumah tangga. Tantri langsung mengambil bagiannya, menguyah perlahan sambil mengangkat tangan, menatap jam. Masih ada 20 menit sebelum berangkat kerja.

“Kemarin si Ratna ke sini, Ma,” ucap Ikbal.

“Kenapa emang?” tanya Tantri, matanya menatap sang putra kebanggaan dengan penuh perhatian.

“Masa dia bilang kita nikmati harta orang tuanya. Gak bener, kan, Ma?”

Mendengar pertanyaan itu, Tantri tersedak, terbatuk-batuk. Susu di gelasnya pun diteguk sampai habis, tak terasa panasnya karena kepanikan yang tiba-tiba muncul. Bisa-bisanya Ratna bicara sembarangan, pikir Tantri dalam hati.

“Ya enggaklah. Udah, gak usah ditanggapi. Kamu pergi sekolah sana, udah siang.”

Sambil berdecak, Ikbal berdiri, menarik tasnya dari kursi samping. Tak lupa ia bersalaman, lalu pergi menggunakan sepeda motor matic kesayangannya.

Jarak yang lumayan jauh membuatnya menempuh perjalanan sekitar lima belas menit. Kendaraan roda dua itu memasuki area SMA Nusa Buana, sekolah yang lumayan populer karena banyak murid berprestasi di bidang non-akademik, meski sempat ternoda oleh satu kasus di masa lalu.

Setibanya di sekolah, Ikbal memarkir motornya di tempat yang telah disediakan. Teman-teman satu gengnya ternyata sudah menunggu. Ia menyuruh mereka masuk ke kelas lebih dulu, sementara dirinya ingin singgah ke ruang mading terlebih dahulu. Agas aktif di dunia fotografi, sehingga ia juga mengikuti ekstra kulikuler mading—Majalah Dinding.

Ruangan masih sepi. Hanya ada satu siswi yang asyik dengan laptopnya.

Ikbal menghampiri, menengok dari samping.

“Lu searching apaan, Gibran?” tanyanya.

Tanpa menoleh, Gibran menjawab, “Gue pengen ngangkat kasus sekolah kita yang dulu, yang sempat rame. Fakta atau gosip, terus korbannya bunuh diri atau dibunuh.”

“Lah, bukannya guru kita melarang bahas-bahas hal begituan? Lagian, mereka bilang semua itu cuma hoax,” sahut Ikbal.

Gibran berdecih. “Lu percaya itu hoax?”

“Beritanya aja gak ada di media.”

“Lu lupa, pemilik yayasan kita anak jenderal? Bisa aja dihapus semua bukti di media,” kilah Gibran.

Ikbal menarik kursi di depan meja, duduk dengan siku menempel ke permukaan meja, jemarinya meraba dagu. “Lu gak takut apa? Bisa-bisa pihak sekolah ngeluarin lu, Gibran.”

“Yang rapi lah mainnya,” jawab Gibran tenang.

Malas menanggapi lebih lama, Ikbal mengambil tasnya dan keluar dari ruangan. Bell berbunyi, menandakan waktu belajar berjalan lancar seperti biasa sampai jam pulang tiba. Hari itu tak ada kegiatan tambahan, sehingga Ikbal memilih langsung pulang.

“Gue duluan, ya, Bro!” pamit Ikbal pada dua temannya.

“Lu gak nongkrong dulu di kantin Bu Nonik?” tanya Gibran.

“Kagak. Gue pengen pulang. Badan gue lemes dari tadi, gak tau kenapa. Kayaknya emang gak enak badan,” tolak pemuda berkostum jaket bomber hitam itu.

Setelah berbasa-basi sebentar, Ikbal menoleh ke kanan dan kiri, memastikan jalan aman untuk menyeberang. Namun, siapa sangka, saat motornya berbelok, ban mendadak licin. Motor tergelincir ke samping dan menabrak tiang listrik, sementara Ikbal terseret beberapa meter dari tempatnya.

Orang-orang di sekitar langsung berlarian, begitu pula dua temannya, Pian dan Gibran, yang segera menghampirinya. Helm Ikbal terlepas, dan terlihat bercak darah di keningnya.

Seorang pria yang memeriksa detak jantungnya berseru, “Alhamdulillah, aman-aman. Ini cuma pingsan saja. Cepat bawa ke klinik depan!”

Tubuh Ikbal pun diangkat. Beruntung, klinik berada tepat di seberang sekolah, sehingga mereka tidak kesulitan mencari pertolongan medis.

......................

Sebuah mobil hitam mengkilap baru saja memasuki pelataran depan rumah Tantri. Sepasang suami-istri berusia di atas lima puluh tahun buru-buru turun dari mobil. Wajah keduanya tampak cemas, namun lebih kentara pada sang istri.

“Niar!” panggil wanita bernama Yeni, menyeruak masuk, diikuti Pak Edi di belakangnya.

“Loh? Ibu?” Tantri muncul dari bagian dalam rumah. “Perasaan tadi kita baru ngobrol di telepon,” ujarnya.

“Ya iya, Ibu langsung ke sini pas dengar Ikbal celaka. Di mana sekarang cucu Ibu?” tanya Yeni sambil melangkah masuk.

Tanpa menunggu jawaban, wanita itu langsung menuju kamar tempat cucunya berada. Sementara Pak Edi menanyakan kabar Tantri lebih dulu sebelum menengok Ikbal.

“Kamu baik-baik saja ngurus perusahaan, Ni?” tanya Pak Edi.

“Ya… sejauh ini masih oke, Yah. Semua ke-handle, kok,” jawab Tantri singkat. Pak Edi mengangguk bangga.

“Terus Ikbal gimana? Apa lukanya parah?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!