Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 25.
Tak disangka, tak diduga, dua puluh dua menit terbuang sia-sia. Bukannya mendapatkan hasil yang baik, Anindya malah dibuat kesal karena keputusan Malik begitu menyebalkan.
Genap 20 foto tercantik Anindya kirimkan. Semuanya perdana dibagikan hanya kepada Malik. Caca si kepo saja bahkan belum pernah melihat foto-foto mantap itu karena Anindya bertekad hanya ingin menunjukkannya kepada orang yang tepat—dan ternyata, bukan Malik orangnya.
Oke, mengingat kepribadian Malik yang sedingin es di Kutub Selatan, Anindya akan cukup maklum jika lelaki itu tak dapat memilih satu di antara 20 foto paripurna. Meski dia sudah effort sampai take berkali-kali hanya untuk mendapatkan hasil terbaik, Anindya tidak akan ngamuk jika setidaknya Malik mau memberikan penilaian yang objektif. At least berikan saja beberapa kandidat terkuat beserta alasannya, biar nanti Anindya sendiri yang membuat keputusan final tentang foto mana yang keluar jadi juara.
Masalahnya, yang membuat Anindya naik pitam adalah keputusan Malik menyodorkan foto alternatif lain sebagai gantinya.
Bukan foto artis KPop, bintang BL Thailand, apalagi gambar hewan lucu menggemaskan. Malik justru memilih satu anomali karakter Dino berwarna kuning mentereng dengan perut buncit dan bibir cemberut. Katanya lucu. Sementara Anindya menafsirkannya lain. Dia rasa Malik sedang ingin meledek. Hendak mengatainya gendut dan tukang ngambek, hanya saja dengan cara yang anti-mainstream.
“Lucu, kok.”
“Lucu dari Hongkong!” semprotnya. Loud speaker ponselnya menyala keras. Terlalu malas menempelkan benda pipih itu ke telinga dan memilih memelototi foto Malik di layar.
“Dia dari Tiongkok sih kalau nggak salah.”
"Mas Malik ih!” kesalnya. Rasa-rasanya ingin dia gigit kepala Malik sampai terbelah dua. Biar bisa dia intip cara kerja otaknya.
“Udah, pakai yang itu aja. Bagus, kok.”
“Nggak mau!”
“Kenapa nggak mau? Tadi kan kamu yang minta saya bantu pilih.”
“Si gembrot ini nggak ada dalam pilihan!” Ngotot, urat-urat di lehernya sampai keluar berjamaah. Perih terasa di pangkal tenggorokan. Akibat terlalu memaksakan kinerja pita suaranya yang berharga.
Dari seberang telepon, terdengar Malik mengembuskan napas berat. Kesannya seperti lelah sekali menjalani kehidupan. Seperti Anindya baru saja menindasnya. Memberinya beba berat untuk dipikul di bahunya yang kekar.
Tak mau kalah, Anindya membalasnya dengan decakan keras. Enggan membiarkan Malik playing victim padahal dirinyalah yang sedang dibuat kesal. Persetan status mereka yang baru baikan tadi sore. Tak apa, Anindya siap berperang lagi melawan lelaki itu. Toh cara baikannya juga gampang.
“Kamu mau tahu nggak kenapa saya pilih Dino kuning itu daripada 20 foto yang kamu kirim?”
“Nggak,” sahut Anindya terus terang. Dia sudah siap-siap, kalau jawaban Malik ngelantur, akan dia sambangi lelaki itu, lalu dia ajak duel sekalian.
Masa bodohlah sudah tengah malam. Masa bodoh badannya lebih kecil dan mungkin saja akan kalah. Meski babak belur, Anindya rasa akan lega kalau berhasil memukul Malik setidaknya sekali di wajah.
“Karena foto-fotonya terlalu cantik. Sayang kalau biarin orang-orang lihat secara gratis.”
Alamak, jang! Serangan jantung sudah Anindya dibuatnya. Lenyap seketika kekesalannya. Berganti pipi memanas merah merona.
Salting mampus, Anindya serabutan menekan tombol merah mengakhiri panggilan. Layar ponselnya pun seketika padam. Namun, bayangan wajah Malik malah tampak jelas di pelupuk matanya. Lengkap dengan senyum manis bagai ditambah gula seratus ton.
“Waaa!!!” teriaknya histeris. Seperti habis melihat seonggok serial killer kejam dengan gergaji mesin di tangan.
Menutup mata dan telinga, Anindya lompat ke kasurnya. Selimut dibentangkan, jatuh menimpa seluruh tubuh yang bergetar.
Kalau di malam-malam yang lain selalu berdoa supaya tidak mimpi buruk, malam ini Anindya mengganti doanya: supaya Malik tidak tiba-tiba muncul dalam mimpi dan membuatnya canggung menemuinya esok hari.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
“Karena foto-fotonya terlalu cantik. Sayang kalau biarin orang-orang lihat secara gratis.”
Sambungan telepon yang semula berisik mendadak berubah hening. Ada jeda waktu beberapa detik sebelum terdengar bunyi bip. Pertanda teleponnya telah diputus secara sepihak.
Malik mengernyit. Memandang heran layar ponselnya yang perlahan padam. Pikirnya, apakah kejujurannya tadi malah membuat Anindya semakin kesal, sampai-sampai tidak ragu menutup telepon? Atau gadis itu malah berpikir dirinya terlalu gombal dan akhirnya ilfeel?
“Padahal cuma ngomong apa adanya.” Ucapnya sambil mengetuk layar ponsel dua kali hingga kembali menyala.
Foto terakhir Anindya masih terbuka di room chat mereka. Malik memandanginya cukup lama. Jarinya pun tidak bisa anteng. Mencubit layar hingga fotonya terzoom. Lalu ia tersenyum. Merasa hatinya perlahan nyaman memandang sepasang mata indah Anindya yang berbicara banyak hal.
Di balik tingkahnya yang absurd dan bikin pusing, Malik harus akui mata Anindya menyimpan daya tarik tersendiri yang sulit ditolak. Bak sebuah kotak Pandora yang ketika terbuka, isinya adalah begitu banyak cerita. Kata tidak akan mampu mewakilkannya. Jadi ia presentasikan melalui gambaran visual memanjakan mata.
“Malik.”
Malik terlonjak memegangi dada. “Astaga!” Ia menoleh cepat. Baru sadar Oma sudah berdiri di samping meja kerjanya. Wanita memandangnya dengan tatapan menyelidik. Bibirnya tersenyum jahil.
“Lagi liatin apa sih? Serius banget kayaknya sampai nggak sadar Oma masuk?”
goda Oma. Bokongnya mendarat pelan di kursi lain dekat sana.
“B-bukan apa-apa.” Malik refleks menelungkupkan ponselnya di atas meja kerja. Gugup, seperti habis ketahuan selingkuh. “Kok Oma belum tidur?”
sambungnya mengalihkan pembicaraan.
“Oma kebangun.”
“Kenapa? Ada yang sakit? Oma ada merasa nggak nyaman?” tanyanya cepat, nadanya khawatir. Takut-takut ada masalah lagi dengan jantung Oma, atau mungkin permasalahan lain yang membuat tidurnya jadi tidak nyenyak.
Oma menggeleng kecil. “Nggak, cuma keinget sesuatu.”
“Apa?”
“Besok jadwal kita ke sana, kan?”
Malik terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Kenapa emangnya?”
"Oma nggak bisa ikut. Besok Oma mau pergi ketemu teman lama Oma. Dia baru datang dari New York.”
“Oh, ya nggak apa-apa. Malik bisa pergi sendiri.”
“Jangan pergi sendiri.”
Malik mengerutkan kening. “Lho, kenapa?”
“Ajak Anindya.”
“Nggak perlu deh kayaknya. Malik pergi sendiri aja.”
“Ajak Anindya,” ulang Oma tegas. “Biar Oma yang bilang besok.”
Malik menghela napas panjang, sudah tahu percuma berdebat. “Oke,” ucapnya pada akhirnya. “Ada lagi?”
Oma menggeleng.
“Kalau nggak ada lagi, Oma balik ke kamar terus tidur. Malik mau lanjut kerja dulu sebentar, habis itu pergi tidur juga.”
Oma langsung menurut. Setelah mengecup pipi Malik sekilas, Oma keluar dari ruang kerja Malik.
Malik sendiri masih merasakan jantungnya berdebar. Efek kaget karena Oma datang tiba-tiba. Begitu detak jantungnya mulai normal, Malik malah teringat lagi pada Anindya.
“Lah ... emangnya Anin bakalan mau?"
Bersambung....