Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Di kamar, Yura tidur seorang diri. Teman-temannya sudah paham betul soal kebiasaan tidurnya yang ribet dan gampang terganggu. Bagi Yura, itu justru jadi keuntungan besar di malam seperti ini.
Bukan tidur seperti yang lain, ia justru duduk di lantai, bersandar di tepi kasur. Lampu kamar sudah diredupkan, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang. Kejadian tadi sore terus memutar ulang di kepalanya, seperti kaset rusak yang tak bisa dihentikan.
Apa yang harus gue lakuin… gumam Yura dalam hati, menatap kosong ke depan.
Kak Ardhan bilang gak mau tanggung jawab, tapi anehnya, dia juga rela nganterin ke dokter, tapi itukan paksaan, atau hanya kebohongan? Logikanya bilang jangan percaya, tapi hatinya belum bisa setega itu buat percaya sepenuhnya juga.
Wajahnya mengernyit. "Tapi kok gue begini banget sih?" bisiknya bingung sendiri.
"Gue baru pertama kali ketemu, tapi langsung jatuh hati… ya Tuhan, tolol banget gue." Yura menutup wajah dengan kedua tangannya. Malu sendiri. Kesal sendiri.
"Kek gak ada laki-laki lain aja di dunia ini."
Ia mendengus. "Apa jangan-jangan gue dipelet?" gumamnya makin ngelantur, membuat dirinya sendiri hampir tertawa.
Tapi tawa itu langsung menguap jadi helaan napas berat.
"Udah, Yur… jangan makin tolol karena cinta. Hidup lo masih panjang. Kalau jodoh, pasti datang sendiri, gak usah dipaksa." Ia mencoba menyemangati diri sendiri sambil tersenyum kecil. Senyum itu bangga, sekaligus pahit.
Namun… sekuat apa pun ia mencoba menenangkan diri, wajah Ardhan tetap saja membayang di benaknya.
Malam makin larut. Yura akhirnya naik ke kasur, menarik selimut sampai ke dagu. Matanya terpejam, tapi pikirannya masih ribut. Ia membalik badannya ke kiri, ke kanan, menarik napas panjang, namun tetap saja tidak bisa tidur.
"Bisa-bisanya gue gak bisa tidur karena tuh orang."
Sampai pukul lima pagi, Yura masih saja belum bisa tidur. Rasa kantuk seolah menghindarinya. Yang tersisa hanya lelah, menggantung di tubuhnya tanpa ampun. Dengan langkah lunglai, ia keluar kamar dan duduk di sofa depan TV, membiarkan keheningan pagi menyelimuti dirinya.
Lampu ruang tengah tak ia nyalakan. Ia hanya duduk dalam remang, menatap kosong ke arah layar hitam televisi. Dunia seperti membeku dalam kesunyiannya sendiri.
Sekitar pukul setengah enam, Rizki yang baru bangun membuka pintu kamar dan langsung terpaku.
"ASTAGA!" serunya, sambil memegang dadanya yang nyaris copot karena terkejut. Ia hampir terjatuh ke belakang.
Yura menoleh dan menatapnya sambil memperlihatkan deretan giginya dalam senyum lelah. "Sorry," ucapnya singkat.
"Lo ngapain, gila?" tanya Rizki kesal, lalu langsung berlalu ke kamar mandi.
"Duduk lah, gitu aja lo kaget," sahut Yura ringan, nyaris tanpa emosi.
Tak ada jawaban. Hanya suara air dari dalam kamar mandi. Beberapa menit kemudian Rizki keluar sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil.
"Lo ngapain di situ, sih?" ulangnya heran.
"Yah duduk lah… mau ngapain lagi?"
"Gelap-gelapan pula. Coba nyalain lampu, mikir dikit buat orang lain jangan pagi-pagi bikin jantungan." Rizki mengomel sambil berjalan ke kamarnya, namun sebelum masuk, ia sempat menoleh.
"Jangan tidur lagi lo ya, katanya mau jogging."
"Iya tahu!" sahut Rizki. "Ini gue bangunin Aldin."
Beberapa saat kemudian, Aldin keluar kamar dengan langkah malas dan mata masih setengah tertutup. Ia berjalan lurus, tak menyadari kehadiran Yura. Namun begitu lewat di samping sofa, ia tiba-tiba berhenti mendadak.
"Njir!" Aldin mematung. "Kaget gue! Ngapain sih lo gak nyalain lampu!"
"Mager," jawab Yura singkat, lalu merebahkan diri di sofa, menatap langit-langit.
Tak lama kemudian, Febi muncul dari kamarnya. Ia melihat ke arah Yura, tapi tidak bereaksi berlebihan. Lampu ruang tengah sudah dinyalakan oleh Aldin, jadi ia tidak mengalami 'serangan jantung' seperti dua cowok sebelumnya.
"Lo belum tidur?" tanya Febi sambil berjalan ke dapur.
Yura hanya menggeleng pelan.
"Lo kenapa sih, Yur?"
Yura mengangkat bahu. "Biasa… overthinking receh."
Febi tak bertanya lebih jauh. Ia hanya membuka kulkas, mengeluarkan sebotol air dingin, lalu menyerahkannya pada Yura.
"Minum dulu, biar tenang dikit."
Yura menerimanya dengan senyum lemah. "Thanks."
Tak lama, Hana keluar dari kamarnya dengan langkah setengah sadar, rambut masih berantakan dan mata belum benar-benar terbuka.
"Pagi juga lo bangun," gumamnya pada Yura sambil menguap.
"Gue belum tidur," jawab Yura pelan, mata masih menatap kosong ke langit-langit.
Hana langsung menoleh, menatap Yura sebentar, lalu menggeleng pelan. "Bisa-bisanya... Udah sana tidur," ucapnya sembari melangkah ke kamar mandi.
Yura hanya mendesah, tak menjawab apa pun.
Beberapa menit kemudian, seluruh rumah mulai dipenuhi suara dan langkah kaki. Teman-temannya yang sudah siap jogging mulai melakukan stretching ringan di ruang tengah, tepat di depan Yura yang masih rebahan di sofa.
Yura melirik malas ke arah mereka.
"Malah stretching di sini, sana keluar... bikin berisik aja," omelnya.
"Siapa tau lo kangen sama kita-kita, kan mau ditinggal jogging," celetuk Rizki sambil tertawa kecil. Ucapannya langsung mengundang gelak tawa dari yang lain.
"Ngawur. Sana gih, pergi!" Yura pura-pura kesal sambil melambaikan tangan seperti mengusir ayam masuk halaman.
"Bye, Yur..."
"Hmmm... Hati-hati lo pada," ucap Yura pelan sebelum menutup matanya.
Begitu pintu depan tertutup dan suara langkah kaki menjauh, rumah kembali sunyi. Yura perlahan berdiri dan berjalan kembali ke kamarnya. Badannya terlalu lelah, pikirannya pun mulai terasa berat. Ia hanya ingin tidur, mengistirahatkan tubuh dan hatinya untuk sementara.
Begitu tubuhnya menyentuh kasur, Yura menarik selimut dan memejamkan mata.
"Semoga setelah bangun... bisa lebih baik dari kemarin," gumamnya sebelum akhirnya terlelap dalam kantuk yang sejak semalam tak kunjung datang.
...****************...
Udara pagi masih sejuk saat langkah kaki mereka menyusuri jalur jogging kompleks. Febi, Rizki, Hana, dan Aldin berjalan santai sambil bercanda. Suasana pagi yang cerah dan jalanan yang lengang membuat mereka makin semangat.
“Udah lama juga ya kita gak olahraga bareng gini,” ucap Hana sambil mengikat rambutnya ke atas.
“Iya, tapi sayang Yura gak bisa ikutan," ucap Febi.
"Minggu kemarin Yura masih semangat ikut,” timpal Hana.
“Sekarang malah jadi zombie, gak tidur semaleman,” ujar Rizki dengan nada bercanda.
“Pantesan mukanya kayak mayat hidup,” sahut Aldin cepat.
Tawa mereka pecah seketika. Namun, langkah mereka terhenti saat melihat seseorang berjalan dari arah berlawanan.
Sosok tinggi dengan hoodie abu-abu dan celana olahraga hitam itu perlahan mendekat. Earphone menjuntai di lehernya, dan tatapannya sempat membeku ketika menyadari siapa yang ada di depannya.
Itu Ardhan.
Ia tersenyum tipis. “Eh... pagi,” sapanya sambil mengangguk pelan.
“Pagi,” jawab mereka hampir bersamaan, sedikit canggung.
Ardhan berhenti di depan mereka. “Kalian jogging bareng ya?”
“Iya nih. Yura doang yang gak ikut,” jawab Febi cepat, tak bisa menahan diri.
Ardhan menoleh pelan. Ada perubahan di raut wajahnya. “Yura gak ikut?” tanyanya lagi, memastikan.
“Enggak, katanya capek... semaleman gak tidur,” jelas Rizki, nada suaranya sedikit hati-hati.
Ardhan mengangguk, matanya menatap kosong ke depan. Sejenak, hening menyelimuti mereka.
“Dia... baik-baik aja, kan?” tanyanya kemudian, suara Ardhan terdengar pelan dan tulus.
Mereka saling pandang, seolah bingung harus memberi jawaban seperti apa.
Hana akhirnya bicara, “Yura lagi sensitif... Harusnya gak baik aja ya.”
Ardhan mengangguk pelan, walau sorot matanya masih tampak khawatir. “Tolong bilangin saya minta maaf...”
Febi menatapnya lurus. “Gak deh, Kak. Harusnya Kak Ardhan yang ngomong langsung ke Yura.”
Ardhan sedikit terkejut. “Ngomong soal...?”
“Soal perempuan di rumah sakit itu. Sama yang di Kafebook,” jawab Febi ceplas-ceplos.
Ardhan terdiam, rahangnya mengeras sejenak.
“Jangan harap bisa deketin Yura kalau niatnya gak jelas,” sambung Hana dengan nada tegas, lalu menarik tangan Febi agar segera pergi.
“Duluan Bang,” ucap Rizki menutup percakapan, lalu menyusul yang lain.
Ardhan hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung mereka yang semakin menjauh.
Beberapa langkah kemudian, Hana berbisik ke teman-temannya, “Itu orang kelihatan mikirin Yura banget deh.”
“Ya iyalah, mukanya gak bisa bohong,” sahut Rizki.
“Tapi cowok itu juga yang bikin Yura jadi kayak gitu,” tambah Febi. “Gue gak ngerti sama jalan pikiran mereka.”
Aldin hanya mengangkat bahu, ia pun tak tahu.