Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.
Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.
Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia
Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.
Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.
Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.
WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Celaka 13.
***
Di meja makan, keluarga ini memang nggak terbiasa duduk kaku tanpa suara. Momen makan bareng selalu jadi ajang paling pas buat ngelepas penat, bercanda receh, atau minimal saling curhat meski cuma sepotong-sepotong. Kayak sekarang misalnya––baru aja sendok belum sepenuhnya nyentuh piring, tiba-tiba Pak Mora sudah nyodorin sebuah kotak beludru ke atas meja.
Kotak itu langsung bikin suasana agak janggal. Brea spontan celingukan, keningnya berkerut.
"Apa ini, Yah?" tanyanya penuh curiga.
"Hum… bentar lagi umur kau genap dua puluh lima kan? Seingatku, ulang tahunmu Minggu depan. Jadi… anggap aja ini hadiah ulang tahun yang ku kasih duluan," jawab Pak Mora, nadanya santai, tapi gerakan tangannya mendorong kotak itu ke arah Brea terasa agak kikuk.
Tanpa sengaja, matanya bersirobok dengan tatapan istrinya. Mayang menatapnya penuh was-was, kayak ada pesan diam yang langsung bikin jantung Mora ketar-ketir.
"Kenapa, Mayang? Kau tengok aku macam gitu? Iri kau kuberi kado buat anakku?" sindirnya setengah getir, sambil memaksa senyum. Bahkan Brea pun jadi ikut menoleh ke arah ibunya.
Mayang menarik napas dalam, lalu menggeleng pelan sebelum akhirnya bersuara.
"Nggak mungkinlah aku iri sama anakku sendiri, Yah. Aku cuma heran… ayah yakin mau kasih kalung itu sekarang? Nggak mau dipikir lagi dulu?"
Nada tenangnya nggak bisa nutupin kegelisahan. Dia tahu persis asal-usul perhiasan itu. Dimitry, nama itu langsung terlintas di kepalanya. Dan juga makna yang sengaja atau tidak, ikut menempel di balik kotak kecil tersebut. Suaminya sudah menceritakan semuanya.
"Ya yakinlah. Anak kita bentar lagi sudah dua puluh lima. Dia sudah dewasa. Wajar kalau dikasih warisan keluarga," balas Pak Mora, suara agak kecut, tapi mulutnya tetap luwes melintir kenyataan seenaknya.
"Warisan?" Brea langsung sigap meraih kotak itu, lalu membukanya tanpa basa-basi. Dan matanya langsung melotot.
"Iya, itu… warisan. Dari… almarhum nenekmu. Pernah dikasih ke mamakmu sebagai hantaran. Dan sekarang jadi punyamu," jelas Pak Mora terbata, jelas bohong, tapi dia tetap berusaha santai. Dari seberang meja, Mayang cuma bisa menggeleng kecil, pasrah.
Dalam hati, Mayang cuma mendesah. 'Gerung… gerung… Jago kali kalau disuruh bohong sama anaknya, dasar suamiku satu ini.'
Brea menimang-nimang kalung itu, matanya sempat berkilat heran.
"Tapi Yah, kalau ini beneran warisan keluarga… kok aku nggak pernah liat Mamak pakai? Lagian modelnya lebih kayak perhiasan masa kini, bukan jadul kayak barang nenek-nenek dulu."
Pak Mora langsung terkekeh kering. "Hehehe… itu karena dulu aku terlilit hutang. Jadi sempat digadaikan sama Mamakmu buat bayar utang."
"Dan baru belakangan ini sanggup kutebus lagi," lanjutnya, makin lihai menumpuk kebohongan dengan kebohongan. Mayang di samping cuma bisa memijit pelipis dalam hati. Kepala rasanya penuh asap.
"Hum, gitu toh," ucap Brea sambil asik membongkar isi kotak, jarinya cekatan ngulik tiap sudut.
"Heh! Ngapain kau balik-balik kotaknya gitu? Nggak takut rusak?!" sergah Pak Mora dengan wajah horor.
"Bukan kubalik-balik, Yah. Aku cuma cari suratnya aja. Biasanya kalau perhiasan kan ada suratnya di dalam kotak. Lah… ini kok nggak ada?" jawab Brea polos.
"Owalahh… kupikir kau udah 'kureng' sampai kotak perhiasan pun kau obrak-abrik," kata Pak Mora ketawa garing, berusaha nutup kepanikan.
"Suratnya udah nggak ada, Nduk. Mamak teledor, pernah kebawa, terus kecuci di kantong daster, hancur deh," potong Mayang cepat, nadanya enteng.
Pak Mora sampai bengong. Tumben kali istrinya ini mau ikut terlibat dalam sandiwara kebohongannya.
Brea mengedikkan bahu, enteng aja menimpali.
"Bilang dong dari awal. Tau gitu kan aku nggak perlu mikir kalung ini ada diamonnya apa nggak."
Pak Mora hampir keselek nasi waktu dengar kalimat terakhir anaknya.
“Diamon apanya?!” suaranya naik satu oktaf, bikin jantung Brea kebat-kebit.
“Ya... ini kan berkilau kali, Yah. Aku jadi kepikiran aja. Jangan-jangan bukan kalung biasa, tapi ada diamond-nya.” Brea nyeletuk santai sambil ngangkat liontin ke arah lampu ruang makan.
Mayang langsung nyelot, “Kita ini siapa sih, Nak? Mana sanggup beli kalung berlian, apalagi segede itu.” Nada suaranya tenang, tapi jelas tujuannya cuma satu: jangan sampai Pak Mora keceplosan ngomong yang aneh-aneh.
Pak Mora buru-buru raih gelas, teguk air setengah, lalu nyeplos,
“Bea, dengar baik-baik. Itu kalung biasa. Biasa! Harganya nggak seberapa, cuma platina, terus ada batu akik lumayanlah. Jadi nggak usah kau mikir macem-macem.”
Brea manyun, tapi tangannya masih asik ngelus-ngelus liontin.
“Kalau kata Ayah murah, ya sudah murah lah. Tapi sumpah, modelnya kece kali. Cocok nih aku pakai ketemu klien tiap hari.”
“Ya baguslah! Pakai tiap hari. Tapi jaga baik-baik. Jangan sampai hilang, jangan sampai kegores, jangan sampai—”
“Nah loh,” sela Brea sambil nyempitkan mata, “barusan Ayah bilang murah. Kok sekarang kayak takut banget kalung ini sampai ke gores? Itu perlakuan buat barang mahal, lho.”
Pak Mora sempat terdiam sepersekian detik. Otaknya kebut nyari alasan.
Akhirnya keluar juga, “Ya takut rusak lah! Zaman sekarang debu jalanan ngeri, Bea. Bisa bikin kalung murah pun keliatan jadi... makin murah.”
Brea ngakak nggak ketahan. “Astaga, Yah… alasanmu tuh paling nggak masuk akal sedunia. Baru kali ini aku dengar orang takut kalung murah keliatan makin murah.”
Mayang langsung tutup wajah dengan tangan. Malu sendiri dengerin bohong absurd suaminya. Dalam hati dia bergumam, Ya Allah, semoga aja anak ini nggak tau siapa sebenarnya yang nitip kalung itu.
Akhirnya Mayang nyeletuk juga, nadanya agak hati-hati.
“Ck… ayahmu itu cuma takut kamu rusakin kalung warisan, Nduk. Meski harganya nggak seberapa, tapi ada historis keluarga. Jadi ya, harus dijaga baik-baik.”
Brea langsung nyeletuk, walau bibir manyun.
“Beres, Mak. Aku kan jago soal beginian. Masih inget kan kotak pensil pemberian Mang Uda Irham? Sampai sekarang masih mulus tuh. Jadi tenang aja, kalung ini aman di tanganku.”
Sekejap dua orang tuanya saling lempar senyum lega.
“Inget, harus dipakai tiap hari ya. Biar almarhum nenekmu senang, liat cucunya sayang sama barang pemberiannya.” tambah Pak Mora, sok bijak.
Mayang cuma geleng-geleng. Dalam hati nyeletuk: Pintar betul kau, Bang… bikin alasan kayak air ngalir.
Dua hari berlalu, semenjak oprasi Aurora di lakukan.
Tapi penangkapan Renggo masih buntu. Semuanya serba abu-abu. Seolah makhluk bernama Renggo itu ibarat siluman ghoib, kadang terasa keberadaannya, tapi sekali dicari, sudah lenyap entah ke mana.
“Kek mana? Kalian belum capek standby, kan?” tanya Pak Mora lewat telepon ke Saloka.
Keamanan Brea memang dijaga Tim Khusus Aurora. Sedangkan Pak Mora? Dia memilih terjun langsung ke Tim Sergap, memburu Renggo. Setiap petunjuk sekecil apa pun ia datangi. Bahkan beberapa anggota sudah mengintai kediaman Renggo di Medan sana.
“Baru dua hari, Om. Belum bisa dibilang capek. ini sih biasa,” jawab Saloka santai.
“Om sendiri gimana? Ada petunjuk baru?” tanya Saloka balik.
“Belum. Semuanya makin nggak jelas. Semua jejak udah ku datangi, tapi nihil. Anak setan itu kayak punya pelindung iblis,” geramnya, sampai giginya bergemeletuk.
“Tenenet,,,,! Cintai ususmu, minum Yakult tiap hari!”
Tapi suara marah Pak Mora langsung tenggelam, kalah oleh lantangnya pedagang Yakult keliling sedang mengayuh sepeda yang kebetulan melintas di depan Saloka. Situasi tegang mendadak berubah absurd.
Saloka menghela napas panjang, matanya tetap awas menatap pedagang Yakult itu, yang… ternyata, masih sama saja kayak orang yang kemarin.
“Sabar aja dulu, Om. Yang penting kita terus gerak. Aku juga bakal terus jaga di sini sampai dia tertangkap,” ucap Saloka, setengah yakin, setengah pasrah.
Sekarang, dua orang yang bertelepon itu persis seperti manusia kehabisan petunjuk.
Sementara itu, di samping rumah, Brea sedang melamun. Ada beberapa klien yang pending apoitment dua hari berturut-turut. ini aneh, tapi dia nggak tau letak anehnya di mana. makanya dia cuma bisa melamun.
Tapi lamunannya terpotong waktu ia melihat pedagang Yakult datang. Minuman yang terlalu sering ia minum itu, stoknya sudah habis di kulkas.
“Buk! Beli Yakult!” Teriak Brea memanggil.
Wanita paruh baya itu berhenti, tersenyum seperti biasa, lalu mulai masuk ke halaman rumah.
“Beli dua pack ya, Buk,” ucap Brea sambil merogoh kantong celana. Dia ingat tadi memasukkan uang ke kantong kanan, tapi setelah diraba… ternyata kosong.
“Bentar ya, Buk, aku ambil uangnya dulu,” katanya lagi, lalu masuk ke dalam rumah.
Hari ini, pedagang Yakult itu diam saja. Gak membalas perkataan Brea, padahal biasanya ramah. Malah kadang-kadang suka curhat sambil ngaso di teras. Tapi Brea gak menyadari keanehan itu.
Tak lama, Brea keluar lagi sambil membawa uang.
“Ini buk, uangnya…” ucapnya, menyerahkan selembar uang lima puluh ribu.
Wanita itu menerima, lalu Brea membuka salah satu botol Yakult, dan meminumnya langsung di depan Ibu itu. Yang masih tersenyum tipis, sementara tangannya yang lain mengaduk-aduk dompet mencari uang kembalian.
Brea mengulurkan tangan, siap menerima uang kembaliannya… tapi tiba-tiba, dia tertegun.
Senyuman ibu itu… tatapan mata itu… entah kenapa rasanya beda, tapi juga terlalu familiar. Sorotnya tajam, bikin bulu kuduknya merinding.
‘Aku pernah lihat sorot mata kayak gini… tapi di mana ya?’ pikir Brea, jantungnya mulai berpacu. Tapi bodohnya, ia tetap menunggu kembalian dari si ibu, nggak sadar tubuhnya sedang diincar.
Dan dalam sekejap, lengan Brea sudah ditangkap.
“Diam kamu! Kalau mau selamat, jangan bersuara sedikit pun,” bisik si pedagang Yakult—dengan suara berat bariton yang jelas bukan suara ibu itu bisanya.
Brea langsung bringsut, hampir menjerit, tapi sebuah moncong pistol mendadak menempel di pinggangnya. Rasanya dingin, dan mematikan.
“Easy… babby… Diam, ya. Kalau nggak mau pinggangmu meletup sekali tembak,” ucapnya, lirih namun mengancam.
Sekujur tubuh Brea langsung merinding. Ia kenal suara itu.
“Ka… kamu?” suaranya tercekat, nyaris gak terdengar.
Pistol itu ditekan makin keras ke pingganh Brea. Bunyi “klik” terdengar saat pelatuknya digerakkan.
Renggo!
Yah ternyata itu dia, lagi menarik paksa tubuh Brea ke depan.
‘Ya Allah… kenapa sepi banget di sini?’ batin Brea, panik. Ia menoleh, berharap ada orang lewat buat minta tolong, tapi nihil.
Lalu, rasa pening menyerang kepalanya sekali lagi. Pandangannya mulai kabur. Samar. Dan… oh jangan lagi… sensasi ini, mirip malam penculikan itu. Tubuhnya limbung, kesadaran lenyap, buminya mendadak gelap.
Sekejap setelah Brea terkulai, Renggo yang lagi menyamar dengan topeng kulit menyerupai pedagang Yakult biasanya, mulai bergerak cepat. Ia membuka tas besar bermerek Yakult yang ternyata kosong, gak ada isi Yakult sama sekali.
Dan sialannya,,,, Tubuh mungil Brea malah muat, waktu di masukkan ke dalam tas besar itu.
Renggo tersenyum tipis, dari balik topeng, "Tidur yang nyenyak, sayang. Perjalanan kita masih panjang." Katanya dengan suara yang sama yang dulu berbisik di telinga Brea. Membuat gadis itu tersentak ketakutan bahkan dalam ketidaksadarannya.
***