Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Yang Tak Sengaja
Sabtu pagi, Lobi Hotel Nirwana
Hari itu, Bandung berembus lembut. Angin pagi menyusup lewat sela-sela pintu kaca hotel yang sudah terbuka sejak pukul enam.
Nada berdiri di dekat meja housekeeping, mengecek daftar tugas pagi di clipboard lusuhnya. Ia memakai masker, tapi matanya tetap memancarkan fokus seperti biasa.
Awal bulan ini dia dipromosikan menjadi kepala cleaning service, sebuah pencapaian yang cukup luar biasa setelah tiga tahun bekerja di hotel itu.
Sampai ia mendengar suara seseorang memanggil dari arah belakang.
“Nada?”
Nada mendadak menoleh. Suara itu terlalu familiar, mungkin karena sering muncul di mimpinya dulu.
Di depannya berdiri pria jangkung dengan kemeja putih yang digulung di lengan. Rambutnya rapi, tapi sedikit awut karena angin. Abyan.
Nada terdiam. Otaknya meledak oleh kata-kata yang ingin ia ucapkan tapi semuanya mentok di tenggorokan.
Abyan tersenyum. Tidak formal. Tidak sok akrab. Tapi cukup untuk membuat lutut Nada melemas setengah detik.
“Assalamu’alaikum,” sapanya, agak kikuk.
“Wa’alaikumsalam” Nada menjawab tanpa membuka masker, pelan. Dia menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda hormat.
Abyan tertawa pendek. “Masih inget?”
“Tentu Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Nada formal, dengan cepat dia kembali menguasai hatinya, menyadari jika yang berdiri di hadapannya kini adalah atasannya, bos besar di hotel tempatnya bekerja, bukan lagi Bang By yang sedang KKN di kampungnya. Nada sadar itu.
Melihat respon nada hati Abyan mencelos, benarkah gadis di hadapannya itu sudah melupakannya?
“Sa …saya butuh kopi.” Akhirnya ucap Abyan, dia akan mengikuti permainan Nada kali ini.
“Baik Pak, akan saya buatkan.” Tanpa menunggu jawaban Nada berbalik menuju pantry untuk membuat kopi.
Sejujurnya jantung Nada saat ini berdebar kencang, hampir saja dia kelepasan, memanggil atasannya itu seperti dulu saat mendengar panggilan lembut menyebut namanya.
“Zi …Ziya …” teriakan Dela mengalihkan focus Nada, dia menoleh memberi kode pada rekannya itu jika di sana ada Abyan.
“Eh … Pak Abyan. Maaf Pak saya kira cuman ada Ziya, maaf kalau saya tidak sopan teriak-teriak.” Dela menangkupkan kedua tangannya di depan dada meminta maaf atas kegaduhan yang dibuatnya.
“Santai saja.” Jawab Abyan ringan.
“ Ini kopinya, Pak.” Nada datang melerai ketegangan Dela, namun bukannya tenang, gadis itu malah semakin membulatkan matanya saat Abyan menerima secangkir kopi dari Nada.
“Kok bisa Pak Dirut minta kopi ke sini?” gumamnya dalam hati, Dela mengedarkan pandangannya, barangkali pantry yang dimasukinya salah, namun papan nama yang menempel di dinding meyakinkannya jika dia tidak salah, itu adalah pantry lantai tujuh, tempat para karyawan.
“Padahal di lantai lima belas pantry nya lebih lengkap ya? Kenapa bisa ke sini.” Batinnya lagi tak habis pikir.
“Kamu …” suara Abyan menghentikan gejolak pikiran Dela.
“Saya Dela Pak, bagian cleaning service …” perkataan Dela terjeda karena dia menyadari tatapan Abyan kini mengarah pada Nada.
“Zi …” sikut Dela, sejak tadi Nada hanya menunduk.
“Saya Ziya, Pak. Penanggung jawab kebersihan untuk lantai tujuh sampai lima belas.”
“Begitu?” Abyan mengernyit, matanya menyipit membaca name tag yang tergantung di leher Nada.
“Ziya” gumamnya.
“Jadi kamu kepala cleaning service yang baru?” tanyanya terdengar mengintimidasi di telinga Dela, gadis itu sampai bergetar melihat tatapan tajam Abyan, namun berbeda dengan Nada yang terlihat tetap tenang.
“Kalau begitu kamu ikut saya, ada yang harus saya sampaikan.” Abyan meninggalkan pantry di lantai tujuh, dia memasuki lift khusus pimpinan yang akan membawanya ke lantai paling atas Gedung hotel itu.
“Masuklah!” titahnya saat melihat Nada berhenti di depan lift yang terbuka. Dia ragu untuk masuk mengingat lift itu adalah lift khusus pimpinan.
Rooptop ternyata menjadi tujuan Abyan, di atas sana ada sebuah taman buatan yang tidak bisa dinikmati oleh sembarang orang, hanya tamu VVIP atau keluarga yang bisa memasuki area itu.
“Masih ingat?” Abyan berdiri tepat di hadapan Nada, dia menatap dalam mata teduh yang pernah membuatnya luluh hingga jatuh cinta pada gadis SMA tiga tahun yang lalu.
Perlahan Nada membuka maskernya. Dia menatap Abyan sejenak.
“Cuma orang pelupa yang gak ingat siapa yang pernah minta tolong digorengin telur setengah mateng jam dua pagi di posko.” Abyan tertawa, agak keras. Hatinya lega, ternyata Nada masih mengingatnya.
“Itu salah satu malam terbaik waktu KKN.” Nada mengangguk pelan.
“Waktu itu semua terasa sederhana.”
Mereka saling diam. Sunyi. Tapi tidak canggung. Hanya terlalu banyak kenangan yang tiba-tiba menumpuk, tapi belum tahu dari mana memulainya.
“Kerja di sini sejak kapan?” tanya Abyan.
“Tiga tahun lebih,” jawab Nada.
“Kenapa gak pernah keliatan?”
Nada mengangkat bahu.
“Mungkin karena saya memang berusaha gak keliatan.” Abyan menyipitkan mata.
“Kenapa?” Nada menatapnya lurus.
“Karena saya takut. Takut kelihatan jadi orang yang beda. Takut ketemu Pak Dirut, tapi ternyata gak kenal lagi.” Abyan terdiam. Pandangannya lembut, nyaris menggelayut ke wajah Nada seperti ingin membaca lebih dalam.
“Jadi… kamu sengaja menghindar?” Nada menahan senyum.
“Saya tidak punya kepentingan apapun untuk tampil di hadapan, Bapak.” Abyan menunduk, lalu tertawa kecil.
“Iya, fair point. Tapi jujur, aku gak nyangka kamu kerja di sini.” Nada membetulkan tali celemeknya.
“Ternyata kita hidup di dua dunia yang beda, Pak. Mungkin gak nyangka itu wajar.” Abyan tampak merenung sejenak.
“Tapi kadang, dua dunia bisa ketemu di satu titik. Tanpa sengaja.” Nada tersenyum.
“Seperti pagi ini?”
“Seperti kamu nyenggol pundakku waktu bawain karpet,” jawab Abyan, geli. Nada melotot kecil.
“Eh, itu gak sengaja!”
“Iya, iya. Tapi efeknya nyata. Deg-degan.” Nada menggeleng cepat, tapi tidak bisa menyembunyikan tawa kecilnya.
Lima Menit Kemudian – Di Bangku Taman Rooptop Hotel
Mereka duduk berdua, berjarak satu bangku. Nada mencopot sarung tangannya, menghela napas pelan.
Abyan menatap taman yang baru selesai disiram petugas kebun.
“Aku sempat lupa gimana rasanya tenang kayak gini,” ucapnya. Nada menoleh.
"Bapak kan selalu kelihatan tenang.”
“Di luar, iya. Di dalam? Lagi perang sipil tiap hari.” Nada tertawa pendek.
“Nad, bisakah seperti dulu?”
“Maksudnya?”
“Panggil aku seperti dulu.” Pinta Abyan,
“Tapi sekarang kita berbeda.”
“Aku tidak berubah.” Abyan memelas,
“ Baiklah, hanya saat berdua.”
“Oke.” Abyan senang, bibirnya tersenyum lebar.
“Abang masih suka nulis diari?” Abyan memutar wajahnya cepat.
“Lho, kamu tahu?” Nada menyeringai.
“Aku anak pembantu posko, Abang. Semua rahasia mahasiswa KKN bocor di dapur.” Abyan tertawa terbahak.
“Ya Tuhan, harga diriku…” Nada menatapnya sejenak.
“Tapi serius, Abang masih suka nulis?”
Abyan mengangguk.
“Masih. Tapi lebih banyak buat diri sendiri. Kadang cuma biar gak gila.”
Nada ikut mengangguk.
“Aku juga nulis, kadang. Tapi isinya lebih ke... ngeluh.”
“Boleh baca?” Abyan menoleh. Nada pura-pura melotot.
“Rahasia negara. Dilarang keras.” Mereka kembali tertawa. Lalu, tiba-tiba Abyan menjadi serius.
“Kamu bahagia, Nad?” Pertanyaan itu menggantung di udara. Nada mengangguk.
“Aku berusaha bahagia. Dan kadang, cukup.”
“Cukup?”
“Iya. Gak harus luar biasa. Yang penting, gak pura-pura.” Abyan tampak kagum.
“Kamu… beda.” Nada tersenyum.
“Abang juga. Tapi tetep suka teh tarik basi waktu KKN?”
“Hey!” Abyan tertawa keras.
“Itu racun yang paling kurindukan!”
Di Dalam Hotel – Ruang Meeting
Arya masuk membawa dua gelas kopi dan duduk di sebelah Rendi.
“Gue baru dari ruangan Pak Dimas. Jadi beneran, lamarannya dua minggu lagi. Lo siap jadi pengiring pengantin?” Rendi menatapnya. Pak Dimas adalah orang kepercayaan Kakek Akbar.
“Emang lo yakin Abyan setuju?”
“Udah fix, Bro. Kakeknya udah bicara. Indira juga oke. Mereka tinggal nunggu Abyan angguk.” Jelas Arya, Rendi mengangkat alis.
“Abyan tuh bukan orang yang asal angguk.” Arya menyesap kopinya.
“Tapi dia anak cucu keluarga besar. Ada tradisi. Dan bisnis keluarga ini gede, Ren.” Rendi menatap kosong ke arah jendela.
“Tapi kamu tahu nggak? Kadang orang yang paling kelihatan baik-baik aja, justru paling banyak berkorban buat hidup yang bukan pilihannya.” Arya menoleh.
“Maksud lo?” Rendi berdiri.
“Gue gak tahu apakah Abyan bakal bilang ‘iya’. Tapi gue tahu satu hal… pagi ini dia senyum lebih tulus dari biasanya.” Arya nyengir.
“Kenapa? Dapet saham baru?”
“Enggak. Ketemu gadis lama. Dan kelihatannya… itu bukan sekadar nostalgia.”
Sore Hari — Kamar Abyan
Abyan berdiri di depan jendela, memandangi langit yang mulai menguning. Di tangannya, selembar kertas kecil dengan gambar bunga kering terselip di pinggirnya. Surat lama dari Nada — yang dulu ia simpan di kotak kecil bersamaan dengan kenangan KKN.
“Semoga langkahmu selalu diberkahi.”
Langkah itu kini membawanya kembali pada seseorang yang tak pernah benar-benar hilang dari memorinya.
Nada. Gadis yang tidak pernah menyatakan apapun, tapi selalu hadir di tiap cerita yang ia tulis diam-diam.
Ketukan pelan di pintu memecah lamunannya.
“Bos,” suara Rendi. Abyan membuka pintu.
“Gue tahu lo banyak mikir sekarang. Tapi boleh gue bilang satu hal?”
“Silakan.”
“Kalau ada orang yang membuat lo lupa waktu, dan lo bisa jadi diri sendiri sepenuhnya saat bersamanya… mungkin, dia bukan orang yang harus lo lepas lagi.” Abyan tersenyum.
“Maksud lo?”
“Ziyanada,” jawab Rendi singkat. Abyan diam. Lalu tertawa.
“Gue bahkan belum bisa ngajak dia ngobrol lebih dari sepuluh menit.”
“Ya makanya ajak ngobrol lima belas menit.”
Malam Hari — Jalan Depan Hotel
Nada berjalan pulang bersama Rosa. Mereka melangkah pelan menyusuri trotoar kecil.
“Nad, kamu tadi ngobrol sama Kak Abyan ya?” tanya Rosa penasaran. Nada mengangguk.
“Gak sengaja. Eh… iya, mungkin sengaja, campur tangan semesta.” Rosa tertawa.
“Kamu senyum-senyum mulu dari tadi.” Nada menepuk lengannya.
“Biasa aja, Ros.”
“Tapi kamu seneng kan?” Nada terdiam. Lalu berkata pelan,
“Aku… lega.”
“Karena?”
“Karena ternyata perasaan itu gak salah. Dulu aku kira aku cuma cewek kampung yang mimpi ketinggian. Tapi ternyata, dia juga inget aku. Bahkan ngajak duduk bareng.” Rosa menggenggam tangan Nada.
“Aku bilang juga apa. Dunia boleh ribet, tapi rasa yang tulus gak butuh logika.” Nada menatap langit malam.
“Kalau memang takdir, semoga kita gak cuma saling mengenal. Tapi dapatkah kita saling menemukan?.” gumamnya ragu.
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak