Lama menghilang bak tertelan bumi, rupanya Jesica, janda dari Bastian itu, kini dipersunting oleh pengusaha matang bernama Rasyid Faturahman.
Sama-sama bertemu dalam keadaan terpuruk di Madinah, Jesica mau menerima tunangan dari Rasyid. Hingga, tak ingin menunggu lama. Hanya berselisih 1 minggu, Rasyid mengitbah Jesica dipelataran Masjidil Haram.
Namun, siapa sangka jika Jesica hanya dijadikan Rasyid sebagai yang kedua.
Rasyid berhasil merobohkan dinding kepercayaan Jesica, dengan pemalsuan jatidiri yang sesungguhnya.
"Aku terpaksa menikahi Jesica, supaya dia dapat memberikan kita putra, Andini!" tekan Rasyid Faturahman.
"Aku tidak rela kamu madu, Mas!" Andini Maysaroh.
*
*
Lagi-lagi, Jesica kembali ketanah Surabaya. Tanah yang tak pernah ingin ia injak semenjak kejadian masa lalunya. Namun, takdir kembali membawanya kesana.
Pergi dalam keadaan berbadan dua, takdir malah mempertemukanya dengan seorang putra Kiyai. Pria yang pernah mengaguminya waktu lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Kamu tidak ikut turun?" tegur Bu Hilma memicing.
"Aku akan mencari istriku lagi! Ibu cepat turun!" setelah memastikan pintu tertutup lagi, Rasyid langsung melajukan mobilnya kembali.
"Anak itu benar-benar keras kepala," geram Bu Hilma. Merasa pusing, ia lantas masuk kedalam.
Karena teramat rindu dengan istrinya itu, Rasyid kini berniat mengunjungi cafe yang biasa ia datangi dengan Jesica dulu. Meskipun tidak terlalu sering, namun Rasyid sangat menikmati moment tersebut.
Sementara dilain tempat, entah ngidam atau hanya sekedar rindu, Jesica mengajak sahabatnya Ester, untuk sekedar menghabiskan waktu sore hari.
Tujuan Jesica ke Cafe, melihat sunset sambil menikmati susu hangat. Karena ia sedang hamil, jadi ia tidak diperbolehkan Dokter meminum coffe.
~Special Moment Cafe~
Sesuai namanya, ~Special Moment Cafe~ disana Rasyid duduk sambil memandang secangkir latte hangat. Air mata itu jatuh kembali tanpa ia minta.
Degh!!!!
Jesica yang masih berdiam didalam mobil, kini terpaku menatap seorang pria yang tengah duduk dalam keadaan rapuh itu. Penampilan pria itu tampak berantakan dengan kumis serta jenggot yang sudah tumbuh agak banyak.
Air mata Jesica juga ikut jatuh.
Ester mengerjab beberapa kali. Memastikan dengan benar, jika pria disebrang itu adalag suami sahabatnya. Ia menoleh kearah Jesica, yang kini hanya mampu menunduk, terisak dalam tangisnya.
"Aku rasa ... Dia sangat terpukul dengan kepergianmu!" seru Ester merasa ikut sesag.
Disana, Rasyid kini hanya dapat menatap wajah istrinya dibalik layar ponsel yang ia simpan. 'Sayang, kembalilah! Aku sangat merindukanmu,' batinya terisak dalam, sambil mengusap layar gawainya.
"Kita pulang saja, Ester!" lirih Jesica memalingkan wajahnya kearah jendela. Ia tak mampu menatap kedepan. Meski ada rindu yang tertahan, Jesica sekuat hati mencoba mengikhlaskan.
Ester memundurkan mobilnya lagi. Dengan cepat, ia melajukan, meninggalkan cafe itu.
Rasyid baru menoleh kearah parkir. Namun setelah itu ia bangkit. Puas menyalurkan kerinduannya, ia juga ikut pergi.
Selama perjalanan menuju pesantren, Jesica sejak tadi hanya diam. Ia menjatuhkan pandanganya kearah perut buncit, yang kian hari semakin bertambah besarnya.
'Sayang ... Maafin Mamah, ya?! Bukan maksud Mamah menjauhkan kamu dari Papah. Tapi ... Kehadiran Mamah bagaikan bencana dikehidupan wanita lain. Mamah juga nggak ingin dipisahkan sama kamu.'
"Jes, kita pulang saja ya! Di sini bukan rumahmu. Kamu layak untuk bahagia dan dicintai. Lupakan semua kenangan di negara ini. Pulihkan luka-lukamu disana," sebelah tangan Ester mengusap lengan Jesica, ia kini menoleh sekilas, lalu kembali menatap lurus kedepan.
Jesica tertunduk, "Aku juga pasti akan kembali. Tapi aku nggak tahu pastinya kapan?
Jesica tercengang, kala melihat seorang pria dewasa, kini sudah duduk berhadapan dengan Kiyai Ismail. Disana juga ada Huda Yahya yang ikut menjamu tamunya.
"Assalamualaikum ..." ucap Jesica bersama Ester.
"Walaikumsalam ...." jawab orang didalam. Semuanya ikut bangkit, tak halnya pria asing itu.
Jesica menatap Ester, namun gadis itu seolah memalingkan wajahnya. Mungkin saja, Ester sudah tahu rencana orang tua Jesica.
"Nak Jesica, Nak Ester ... Ayo sini duduk dulu!" Kiyai Ismail menyeru kedua wanita itu untuk duduk disebrang.
Huda sejak tadi menatap Jesica. Perasaanya seakan tidak tenang, mengingat pria dewasa tadi sudah mengutarakan niatnya.
"Om Ken? Sejak kapan Om tiba?" Jesica menatap Pria dewasa itu.
"Nona ... Sudah saatnya Nona kembali! Saya diperintahkan Tuan dan Nyonya, untuk menjemput Anda!" Pria bernama Kenzi itu menatap Jesica dengan wajah seriusnya.
Jesica yang masih terkejut, kini menatap kearah Kiyai begitu juga Pria tampan yang duduk di sebrangnya. Tatapan Huda Yahya jelas sekali terluka. Sejujurnya ia ingin melarang, dan menahan Jesica agar tetap bersamanya. Namun, ia tidak memiliki hak lebih terhadap wanita hamil itu.
"Nak ... Semua keputusan ada sama kamu! Mau menahan pun, orang tuamu lebih berhak dari pada Abah. Jika kota ini terasa melelahkan untuk kamu jalani ... Maka pulanglah dengan hati yang ihklas. Kabarkan lah kebahagiaan ini kepada orang tuamu!" ujar sang Kiyai menatap sendu kearah wanita hamil itu.
"Assalamualaikum ...." ucap salam Umi Khadijah begitu masuk kedalam.
"Walaikumsalam ... Umi sudah pulang," Huda menghampiri Ibunya, dan menariknya untuk kedepan terlebih dahulu.
Pria berusia 35 tahun itu menceritakan semuanya, perihal kedatangan ajudan keluarga Jesica dari Singapore.
Umi Khadijah lantas segera masuk. Ia kini sudah duduk di sebelah Jesica. "Umi pasti akan dukung keputusanmu, Nak! Jika sudah seperti ini ... Orang tuamu lebih berhak dari pada Umi. Umi hanya berpesan, jaga diri dimana pun kamu berada. Jika anakmu sudah lahir, ajaklah main ke pesantren ini. Rumah Umi selalu terbuka lebar untukmu."
Jesica tak sampai hati, begitu ia masuk dalam dekapan Umi Khadijah. "Terimakasih, Umi! Terimaksih untuk waktu berharga ini. Jesica pasti akan ingat kebaikan keluarga Umi." Air mata Jesica sudah menganak.
Huda bangkit, ia tidak sanggup melibat adegan didepannya. Dadanya berdesir nyeri, mengingat perpisahan itu sebentar lagi terjadi. Ia saat ini duduk diteras belakang sendirian. Tertunduk merutuki kebodohannya, yang tidak pernah mampu mengungkapkan isi hatinya itu.
Adzan magrib sudah berkumandang. Kenzi yang Nonis, ia hanya mampu duduk diteras depan rumah Kiyai, sambil memandang para santri serta santriwati berjalan menuju masjid disebrang jalan.
Pria berusia 30 tahun itu tidak setua yang Jesica panggil dengan sebutan 'Om'. Kenzi memiliki wajah yang mirip sekali dengan oppa-oppa korea, karena orang tuanya keturunan Tionghoa.
Dari salah satu santriwati yang lewat, ada yang mampu menggetarkan jantung Kenzi, begitu gadis muda itu tersenyum segan melewati rumah sang Kiyai.
'Duh, kok jadi aku ya, yang malas pulang! Disini suasananya tenang banget. Pantesan Nona betah!' batin Kenzi tersenyum sendiri.
*
*
"Ad, kita mampir sholat saja disini! Sepertinya baru di mulai sholat magribnya," ucap Rasyid kepada sang sopir, kala mereka berhenti didepan sebuah masjid.
"Baik, Den!" Adnan membelokan mobilnya, memasuki halaman Masjid Al-Hikmah.
Setelah dari cafe tadi, Rasyid masih saja mencari istrinya, meski selalu hasilnya nihil.
"Allahu Akbar ...."
Sholat yang di imami Gus Farhan keponakan sang Kiyai, kini berlangsung dengan khusyuk.
Rasyid sudah menggulung kemeja, serta celananya bersiap untuk akan wudlu, namun disaat ia reflek menghadap belakang, yang dimana terdapat pintu dibagian saf wanita, Rasyid agak menghatamkan pandanganya, kala ia samar-samar melihat wajah istrinya yang tertutup para jamaah wanita.
"Aden ... Anda lihatin apa? Ayo buruan wudlu, nanti keburu tertinggal rakaat sholatnya," tegur Adnan yang membuat Rasyid seketika menoleh.
'Mungkin karena aku terlalu rindu. Ya Allah ....' Tak menunggu lama, Rasyid langsung meneruskan wudlunya, dan bergegas masuk untuk sholat.
Karena tertinggal satu rakaat, jadi Rasyid dan Adnan masih terus melanjutkan sholatnya, hingga rakaat terakhir. Sementara pria yang kini duduk didepan sang Imam, yang tak lain Huda Yahya, ia tampak menyalami para santri dibelakangnya, hingga tatapanya dibuat terbuka oleh pria yang sedang bersimpuh duduk paling belakang.
Deg!!
jangan lupa mampir dan react balik yaaa. thank you